Permulaan

2416 Kata
"Kau berselingkuh !" Wajah pria itu memerah, matanya melotot tajam. Juga jangan lupakan betapa teracung telunjuk dia arahkan kedepan mukaku. Aku menatapnya lurus, entah harus bereaksi seperti apa. Namun daripada aku harus menangis, justru wajahku mengeras layaknya batu. Mendingin layaknya bongkahan glester. Menurutku tuduhannya tidak masuk akal.   "Katakan apa maumu ?" Jika biasanya orang akan memilih untuk mempertanyakan atau memberi kejelasan dari kesalahpahaman. Aku justru sebaliknya, merasa lelah dengan drama aku menanyai keinginannya. Wajahnya beku. Kemarahan nya makin tersulut. Aku belum pernah melihat Grigorri semarah ini. Dia bukan tipikal pria yang bertindak dengan hati. Biasanya dia bisa membaca situasi dengan kepala dingin. Namun malam ini dia seolah dirasuki sesuatu.   "Bukannya memberiku kejelasan, kau justru menanyakan apa mauku ? Bagaimana bisa hatimu sekeras batu ?" Dia berteriak. Kalap. Sebelah tangannya dia gunakan melemparkan vas bunga beling, membiarkan benda tak bersalah itu berubah menjadi puing. Sementara aku yang dia maki tak bergeming. Masih pula berdiri dalam posisi yang sama.   "Apa dengan penjelasanku akan bisa memuaskanmu ? Apa kau bisa menjamin kau akan percaya pada apa yang aku katakan ?" Kali ini wajah Grigorii terluka. Dia tak habis pikir jika aku justru malah menantangnya balik. Balas menatapnya sengit dan tak mau mengalah. Sebab sejak awal tindakannya sudah diluar nalar. Dan aku malas memperdebatkan hal yang ujungnya saja tidak jelas. Grigorii kali ini melemas, tangannya yang mengepal mulai terlepas dan berayun gontai disisi tubuhnya.   "Kurasa kita harus bercerai." Kali ini aku merasa dadaku nyeri. Dihimpit sesuatu yang kasat mata hingga kemudian merobek segalanya. Kecewa, tentu saja. Hal ini sebetulnya masih bisa diperbaiki. Tapi Grigorii mungkin merasa jika hubungan kami sudah tak bisa dilanjutkan. Aku menghela napas panjang, kemudian menatapnya tenang. Air mata yang seharusnya menggenang di pipi tak tumpah ruah seperti yang seharusnya. Dia justru tertahan didalam d**a. Memenuhi setiap rongga membuatku kesulitan bernapas. Sejatinya ini lebih buruk. Tak baik bagi hatinya.   "Aku akan menerima perceraian." Selanjutnya hanya ada bunyi bedebam pintu. Grigorii memutuskan untuk undur diri lebih dulu meninggalkan aku. Tidak ada lagi pembicaraan sejak saat itu. Kami berpisah layaknya pasangan yang sudah tak bisa dipersatukan.   Sejatinya aku dan Grigorii tidak pernah saling mencintai, namun hubungan rumah tangga kami nyaman dan damai. Kami menikah karena pihak keluarga ingin memperluas cakupan bisnis. Dan kebetulan keluarga Grigorii terkhusus ayahnya amat mengagumi caraku mengelola bisnis milik keluarga kami. Tentu saja, aku menyelamatkan keluarga kami yang diambang kebangkrutan dan berhasil kembali berjaya dalam waktu dua tahun saja. Tentu itu merupakan prestasi membanggakan dan orang semacam ayah Grigorii tak mungkin melepaskan aku sebagai mangsanya. Hubunganku dengan Grigorii juga tidak buruk seperti dalam beberapa tayangan drama televisi. Meskipun kami dijodohkan kami tidak saling membenci. Sebaliknya kami berteman dengan baik, karena baik aku maupun Grigorii kami saling memahami pemikiran masing-masing. Aku telah berlaku layaknya kolega bisnis yang membanggakan, sekaligus istri yang baik meski aku tak bisa mempersembahkan cinta yang orang sebut-sebut sebagai pondasi rumah tangga. Ya, setidaknya hal tersebut bertahan selama empat tahun kebersamaan. Sebelum Grigorii membawa perempuan lain dalam hidupnya.   Aku sangat tahu diri dengan kelemahanku. Aku tak bisa memberinya kasih sayang dan cinta, karena itulah aku tak mengganggu kehidupan pribadinya. Namun semakin lama, Grigorii makin mengesampingkan diriku dan memberikan seluruh kehidupannya pada perempuan itu. Sekretaris pribadinya. Sudah hal lumrah bagi sang bos untuk mengencani sekretarisnya. Namun biar begitu, skandal tentu akan merusak reputasi makanya Grigorii selalu berhati-hati didepan publik tapi tidak didepanku. Grigorii selalu bersikap layaknya dia,dan melunak jika berhadapan dengan perempuan itu. Dia menjadi pria yang lemah. Meski awalnya dia tidak jujur terhadap ketertarikan pribadinya pada sang sekretaris.   "Rosèlind, aku bercerai." "Itu tidak mungkin ! Bagaimana bisa ?" Mata wanita itu terbelalak, botol bir yang dia genggam ikut menggebrak meja. Dia terkejut dengan kabar yang kusampaikan. Namun, lama kelamaan raut wajahnya berubah menjadi masam. Malam itu aku menemui Rosèlind untuk sekadar menceritakan soal perceraianku. Selain keluarga dia adalah individu yang kuanggap paling dekat dan berharga. Karena itulah dia adalah orang pertama selain keluargaku yang tahu soal ini.   "Karena wanita itu ?" Dia mendecih, sedangkan aku tidak melakukan tindakan apapun. Tidak mengiyakan tidak pula menentang. Merasa prediksinya tepat dia mengujar lagi, giginya bergemetak marah.   "Sudah kubilang, dia si rubah. Kenapa kau tidak menyingkirkan dia sih ? Kau itu terlalu pengasih makanya dia melunjak." Bukan karena aku terlalu pengasih, tapi jika aku melakukannya Grigorii tidak akan senang terhadapku. Dan aku tak ingin melibatkan perasaan pribadiku terhadap pekerjaan. Itu bukan tindakan seorang direktur professional.   "Lalu sekarang bagaimana nasibmu ? Kau kembali kerumah orangtuamu ?" "Aku akan berbisnis lagi." Kini Rosèlind mendelik tajam, tak mengira akan jawabanku.   "Bisa-bisanya kau mengurusi bisnis saat rumah tanggamu berada dalam kehancuran. Aghta, mengapa diotakmu-" Aku meletakan telunjukku dibibirnya. Isyarat agar dia mau menghentikan ocehannya.   "Maksudku aku akan menikah lagi." Kali ini Rosèlind membulatkan matanya, dia sekarang menganggapku kehilangan akal.   "Menikah lagi ? Dengan ?" "Leivh Alexei." Rosèlind terkejut lagi, seolah obrolan yang keluar dari mulutku layaknya rollercoaster yang sanggup memutar balikan perasaannya.   "Kau gila, tapi aku suka kegilaanmu." Dia tersenyum bangga seolah menggenggam seluruh dunia. Kemudian dia menggenggam kedua tanganku, parasnya melembut dan menatapku dengan teduh.   "Semoga pernikahan keduamu bisa mengajarkanmu cinta. Percayalah rumah tangga dengan cinta akan menguatkanmu. Kamu berhak bahagia Aghta. Aku sangat bersyukur dengan keputusanmu. Meski itu artinya kau tidak akan jadi bos ku lagi."   "Terimakasih." Aku memang terlalu lugu dan naif berpikir jika aku akan menghabiskan hidupku dengan Grigorii. Karena nyatanya pernikahan kami hanya bertahan selama empat tahun. ***   Aku hampir seharian berkutat dengan pekerjaan, perusahaan kami memang sedang diambang kejayaan sampai seluruh karyawan ikut sibuk karenanya. Belum lagi karena asisten pribadiku undur diri lebih dulu, sehingga pekerjaanku bertambah berat. Mencari tambahan pekerja akan menjadi solusi, namun berat bagiku karena aku tak punya waktu untuk menyeleksi. Karenanya aku akan mengosongkan satu jadwalku untuk berfokus memilih asisten baru. Tentu saja dengan segala kriteria yang harus sanggup dia samakan dengan karakterku. Entah dia pria atau wanita aku tak peduli. Aku mengetikan pesan diponselku. Meski aku sendiri tak yakin Grigorii akan membacanya atau tidak.   -kurasa aku akan mencari asisten baru, Rosèlind memang bagus dalam bekerja. Namun dia butuh patner untuk mengimbanginya. Kuharap kau tidak tersinggung karena aku memutuskannya secara tiba-tiba. Bilang pada Ustin jika Rosèlind akan menjadi wakilku dalam perekrutan nanti. Percayalah dia tahu kriteria seperti apa yang kubutuhkan-   Pukul satu dini hari, sudah lebih dari kata larut dan itu artinya aku harus mengendurkan seluruh syaraf tubuhku terlebih dahulu. Besok masih ada segunung aktivitas yang menunggu. Aku harus lebih fit dari siapapun. Aku mengecek ponselku, ada banyak panggilan tak terjawab dan kebanyakan itu adalah dari relasi bisnis. Tidak ada urusan pribadi disana. Bahkan Grigorii tidak mengirimku satupun pesan pribadi. Aku mafhum, sejak awal dia memang bukan pria yang romantis. Tak heran dia tak begitu mempedulikan aku. Pun aku tak terlalu membutuhkan perhatian darinya meski dia suamiku.   Aku mengambil tas tanganku dalam lemari meja kerjaku, kemudian mulai berkemas untuk pulang dan tidur. Supir pribadiku sudah kusuruh pulang, aku kasihan jika membuatnya harus menunggu diriku yang bekerja. Sir Boris sudah terlalu baik dengan menjemputku setiap pagi dan memastikan aku tak terlambat. Kontribusi pria itu sudah cukup memuaskanku, karenanya aku tak ingin merepotkan dirinya lebih jauh. Langkah kakiku mulai ku arahkan menuju basement, suara ketukan dari heels ku menemani dalam sunyi senyap. Beberapa lampu sudah dimatikan oleh cleaning service. Suasana memang agak mencekam mengingat hanya ada aku yang masih tersisa di tengah bangunan kantor yang tinggi menjulang. Jika saja aku tipikal orang yang fanatik soal mistis, mungkin aku sudah ketakutan. Namun syukurlah aku tidak terlalu memikirkan itu dan mencoba untuk realistis setiap saat.   Aku menatap sekeliling, aku ingat jika Sir Boris memarkirkan mobilnya dipaling ujung. Dan sialnya tidak ada satupun kendaraan disana. Kosong melompong. Apa mungkin Sir Boris lupa soal pesanku yang memintanya pulang dengan taxi ? Aku merogoh ponselku, betapa cerobohnya karena batreinya sudah diambang batas. Saking sibuknya aku lupa untuk sekadar memastikan batrei ponselku penuh setiap saat. Kembali lagi aku mengupayakan sesuatu, barangkali ada uang kertas yang bisa digunakan untuk membayar ongkos. Tapi tidak ada. Yang ada hanya kartu kredit, dan aku masih memiliki akal, tak mungkin membayar ongkos taxi menggunakan kartu kredit. Kesialan bertambah sudah. Asisten benar-benar sangat dibutuhkan, karena aku bahkan tak bisa mengurus diriku sendiri dengan benar. Tidak ada yang bisa dimintai pertolongan. Akhirnya meski lelah aku melangkahkah kaki. Memaksakan diri menembus jalanan untuk menemukan mesin atm. Terhuyung-huyung bukan karena mabuk namun karena lelah dan kantuk menyatu menjadi satu. Aku masih cukup sadar untuk tidak berbaring dijalanan. Itu hanya akan membuat reputasiku jatuh. Betapa melelahkannya menjaga sebutan tak kasat mata itu.   Rasa nyeri menjalar kian kuat, meski berjalan lebih dari dua puluh menit tak ada satupun mobil yang lewat. Adapun yang lewat tak ada yang sudi memberikan dia tumpangan, mereka berlalu begitu saja. Hingga aku mulai merasa putus asa. Aku mengulurkan tangan ketika melihat mobil pribadi melaju dengan kecepatan sedang. Aku sudah tak lagi memikirkan harga diri, yang aku inginkan hanyalah pulang dan tidur. Menggoyangkan tanganku sekuat mungkin untuk menghentikan laju, akhirnya Tuhan menjawab do'anya. Mobil terhenti. Kaca kemudi turun dan memperlihatkan seorang pria berkaca mata hitam menampakan muka.   "Permisi bisa antarkan saya, saya sedang kesulitan tidak ada taxi yang mau berhenti. Saya akan membayar anda jika anda bersedia. Sebelum pulang anda bisa mengantarkan saya ke atm." Tak ada jawaban, aku takut pria itu mengabaikan aku yang kini sudah putus asa. Pria itu memberi isyarat dengan menggerakan sedikit kepalanya ketempat duduk disampingnya. Gesture kecil yang entah mengapa membuat hatiku terangkat lega.   "Terimakasih." Aku segera menuju pintu kedua dan berusaha membukanya. Namun terkunci. Apa apaan pria ini. Bukankah dia memberi tumpangan ?   "Permisi tuan, pintu belakang anda terkunci." "Aku bukan supirmu. Duduklah didepan." Suaranya bersahabat, tapi anehnya terdengar menyebalkan. Aku berjalan memutar menuju kursi penumpang. Aku sedikit melirik dia berseringai kecil. Entahlah mungkin hanya firasatku.   "Pergi ke jalan X." Aku segera berlaku layaknya aku terhadap Sir Boris. Namun pria itu tak memutar perseneling untuk menjalankan kendaraannya. Masih stagnan dan membuatku beku dalam kecanggungan.   "Tuan ?" Aku menghela napas, kini aku merasa sedang dipermainkan oleh pria antah berantah. Sebetulnya dia niat menolongku tidak sih ?   "Leivh Alexei." Pria itu berujar, kacamata hitam yang membingkai matanya menghilang. Aku bahkan tak memperhatikan kapan pria itu membuka kacamatanya. Namun yang pasti tatapannya sekarang tatapan seorang pria yang tengah berusaha menciptakan moment menggoda. Aku tahu itu dari insting. Anggapan jika dia mungkin mengira aku adalah perempuan hiburan malam tak akan bisa kulewatkan. Aku cukup memaklumi karena keadaanku sekarang. Tapi aku tak bisa lagi menurunkan harga diri untuk membenarkan hal itu meski hanya sebuah anggapan.   "Maaf ?" Aku berujar, nada suaraku terdengar tersinggung. Pria itu mendelik sedikit kemudian terkekeh.   "Namaku." Katanya, sebelum akhirnya mulai menjalankan mesin mobilnya.   "Iya." Aku lega. Akhirnya aku bisa terlepas dari situasi ini. Karena pria itu sudah memindahkan fokusnya ke jalanan.   "Namamu ?" Lagi-lagi dia berujar, membuatku agak kaget ditengah kesibukanku mencari mesin atm.   "Perlukah kita berkenalan disaat saya membutuhkan pertolongan ?" Adalah jawaban paling masuk akal yang bisa kuberikan padanya. Sementara lagi-lagi pria itu terbahak.   "Perlukah anda menolak perkenalan terhadap orang yang berniat memberi pertolongan ?" Sial ! Dia memutar kembali jawabanku. Wajahnya menoleh sebentar untuk sekadar memberiku kerlingan nakal.   "Aghta." Meski sebal. Namun aku memberitahukan namaku juga. Pria itu diam dan tersenyum.   "Sangat menyenangkan mengenalmu Aghta." Katanya lagi, dan kini dia membawaku ke jalan yang mulai kukenali. Namun aku tak mempertanyakan dan lebih fokus menghentikan obrolan.   "Bisakah anda melajukan mobil anda sekarang ?" Ini kalimat sindiran yang kuberikan padanya. Sebab laju kendaraan ini seperti siput. Sangat pelan dan membosankan.   "Kamu sangat tidak sabaran." Dia terkekeh lagi. Aku heran. Mengapa dia selalu tertawa terhadap apa yang aku katakan. Meskipun itu sama sekali tidak ada unsur kelucuan.   "Kemana kau ingin kuantar atm ? Rumah ? Atau kita ke hotel saja ? Mau makan malam dulu ?" Dia memainkan nada suaranya, bermain-main. Aku mendelik padanya kali ini.   "Ke atm saja."   "Bukankah akan lebih bagus jika langsung kerumah ? Perempuan berjalan sendiri ditengah malam bukan ide yang baik." Sudah tahu begitu kenapa banyak tanya. Ingin sekali kuujarkan padanya. Namun itu diluar daripada watak ku. Akan sangat aneh jika aku mengatakannya dengan jelas.   "Saya tidak nyaman bicara dengan orang asing." Kataku dingin.   "Mau permen ? Atau kacang ? Aku ada cemilan." Lagi-lagi dia tak menanggapi serius apa yang aku katakan. Lama-lama kesabaranku menipis.   "..." "Oh.. kau tidak suka ya ? Mau ke minimarket ?" Aku tidak tahan lagi dengan segala ocehannya. Ayolah perjalan ke rumah tidak selama ini biasanya. Sir Boris bisa mengantarku dalam lima belas menit tapi pria ini seolah sedang mencoba mempermainkan aku dengan tingkahnya yang so lucu.   "Tuan-"   "Leivh" Dia memandangku lagi. Tapi aku tak repot untuk menoleh padanya.   "Baik, Leivh tolong antar saya ke atm terdekat saja. Saya akan naik taxi."   "Setelah mendapat tumpangan kau justru malah naik taxi ? Apa perempuan memang seribet itu ?"   "Apa anda memang orang yang tidak mengenal kewaspadaan pada orang asing dengan terus berbicara tanpa henti ?" Akhirnya tanpa sadar aku mengeluarkan uneg uneg dalam hatiku. Aku merasa bersalah namun disisi lain juga lega. Pria disampingku nampak tak tersinggung, dia mengedikan bahunya sebentar. Sebelum akhirnya aku sadar kemana dia membawaku. Jalanan ini sudah sangat familiar.   "Aku tahu kau bukan orang jahat Aghta. Jika kau berniat melakukan sesuatu kau pasti akan menyahuti semua perkataanku supaya aku lengah. See, kau bahkan malas meladeniku." Ketika aku hendak mempertanyakan pengetahuannya. Dia tersenyum lima jari kearahku.   "Kita sampai." "Apa ? Bagaimana bisa ?" Setengah tak percaya. Sejak awal aku menuntunya untuk pergi ke jalan x. Jalanan yang banyak tersedia mesin ATM. Namun pria asing ini justru mengantarku sampai kerumah tanpa aku memberi tahu alamatnya.   "Seharusnya kau merhasiakan identitasmu dengan baik. Kehidupan pribadimu terlalu jelas Nona Aghta istri dari CEO perusahaan besar Grigorii." Oh, aku tahu. Infotaiment pasti sudah menyebarluaskan informasi pribadiku.   "Perkenalkan aku Leivh Alexei, pria yang akan mengalahkan perusahaan suamimu." Aku terkejut seketika. Membatu ditempat. Pria ini adalah mangsaku. Namun pertemuan tak terduga ini bahkan membuat kesiapanku menghadapinya nol besar. Sulit dipercaya. Ketika aku membatu mendengar hal itu. Pria itu dengan cekatan mendekatiku. Jarak kami sangat minim. Sesekali dia dengan usil menghembuskan napasnya hingga menggelitik wajahku. Merasa tak ada pergerakan. Dia tersenyum dan merentangkan tangannya keatas. Pria itu hanya membantuku melepaskan sabuk pengaman. Betapa bodohnya aku yang terpukau karena kedekatan kami yang singkat. Aku sangat malu dan tanpa tedeng aling-aling langsung membuka pintu mobil dan bergerak keluar tanpa repot menoleh apalagi sekadar berujar 'terimakasih'. Segala kata telah menghilang dari muka bumi. Aku tak bisa memproses apapun selain memikirkan cara terbaik untuk mengubur rasa malu yang menjalar. Kemudian mengambil langkah lebar menjauhi mobil pria itu. Mengacuhkan kehadirannya.   "Pertemuan pertama kita sangat berkesan Miss Aghta. Selamat malam. Mimpi indah." Yang jelas aku tak tahu ada perkataan itu diakhir pertemuan kami.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN