Part 10 Bodyguard

1003 Kata
Keesokan paginya, ketika Malea sibuk menyiapkan sarapan di dapur, bel apartemen mereka berbunyi. Darren yang saat itu sedang mengeringkan rambutnya, hanya mengenakan jubah mandi, berjalan membuka pintu dan mempersilakan pria yang diperkirakan berusia awal 30-an yang memakai setelan jas hitam dan berkacamata hitam itu masuk dan duduk di hadapan Darren. Dengan tegap dan posisi sedikit kaku, ia duduk di kursi tepat di hadapan Darren. Malea memperhatikan mereka dari arah dapur, sambil bertanya-tanya tentang pria yang berpenampilan seperti bodyguard itu. “Malea kemarilah, perkenalkan dia Danny. Mulai hari ini dia akan bekerja disini sebagai bodyguard-mu.” Pria itu membuka kacamata hitamnya dan berdiri memperkenalkan diri. “Apa? Bodyguard?” Malea tersentak menatap Darren dan pria yang akan menjadi bodyguard nya itu secara bergantian. “Kenapa?” Malea tak habis pikir dengan jalan pikiran Darren, untuk apa dia menyewa bodyguard?. “Tentu saja, aku tak mau ambil risiko gadis satu miliarku kabur begitu saja.” Ucapan Darren membuat Malea bersedih, ternyata itu alasannya. Memang apa yang yang Malea harapkan, hah? Ia memaki dirinya sendiri. Berharap Darren jatuh hati padanya?, Malea menyadari kebodohannya. “Aku tidak akan kemana-mana Darren kalau itu yang kau takutkan.” Seru Malea sambil mengentakkan kaki dengan rasa kesal, melangkah menuju kamar dan menguncinya. Sulit sekali membaca isi pikiran Darren. Di sisi lain, pria itu akan menunjukkan kelembutannya. Kemudian di saat yang lain, Darren akan bersikap dingin dan sulit didebat. Sepertinya menjadi wanita peliharaan itu tidak semudah yang ia bayangkan. *** Danny—bodyguardnya berdiri diluar pintu apartemen. Malea mengintipnya dari balik pintu. Pria itu begitu serius menjalani tugasnya. Malea bahkan memikirkan bagaimana cara pria itu pergi ke toilet, atau seperti apa rasanya berdiri kaku bak patung Pancoran disana. Beberapa tamu apartemen lain menatap Danny dengan rasa penasaran. Malea hanya terkikik ketika pasangan suami-istri yang sudah renta menyapanya penuh canda. “Kau tidak lapar?” Malea membuka pintu apartemen dan menawarkan makanan untuk bodyguardnya itu. Danny tak mengabaikan tawarannya. Darren sudah memperingatkan agar ia tidak meninggalkan Malea walau hanya sedetik-pun. Malea harus selalu berada di bawah pengawasannya selama Darren tidak ada. Tuntutan pekerjaan itu memang tinggi, tapi tentu saja Darren memberikan gaji yang cukup fantastis untuknya. Ia pun menyanggupi pekerjaan itu, meski ia harus menahan diri dari rasa lapar dan dahaga, serta keinginan untuk ke kamar mandi. “Hei, aku berbicara padamu!” Malea menggerutu kesal karena kebaikan hatinya, tidak direspon sama sekali. “Ah, terserah kau sajalah.” Ia mengentakkan kakinya, kesal karena bodyguardnya itu justru mengabaikannya, padahal Malea merasa kasihan padanya karena seharian ini dia tidak makan dan minum. Malea berusaha mengabaikan pria itu. Ia membanting pintu keras tepat di hadapannya. Lalu semenit kemudian ia membuka pintu apartemen itu lagi. Merasa bersalah ia menarik tubuh Danny masuk ke dalam apartemen dan mendorongnya ke meja makan. “Hei, aku tahu kau cuma menjalankan tugas bosmu. Tapi kau juga butuh makan dan istirahat. Jadi duduklah, aku sudah memasakkan makan siang buatmu.” Dengan lihai Malea menyendokkan nasi serta lauk pauk di atas piring lalu menyajikannya kepada pria itu. Tak lupa ia menuangkan air di gelas. Danny menatap makanan di hadapannya. Malea menunggu pria itu memakannya. “Makanlah, atau aku akan bilang pada bosmu kau tidak bekerja dengan baik!” Ancamnya. “Kau akan mengatakan itu?” Tanya Danny sedikit terkejut. “Tentu saja! Kau kan bekerja jadi bodyguardku, lalu apa yang terjadi kalau kau sendiri tidak makan, hah? Apa kau sanggup melindungiku jika terjadi sesuatu yang buruk padaku?” Sejenak Danny terdiam memikirkan perkataan Malea. “Pokoknya cepat habiskan sebelum bosmu pulang siang ini. Dia itu pria yang sulit ditebak.” Malea beranjak dari kursinya menuju kamar dan menguncinya rapat. Danny yang memang sudah lapar dan haus segera menyantap makananya lalu kembali bekerja. Malea tersenyum kecil mengintip pria itu menyantap makanannya dengan rakus. Sore harinya, Darren pulang ketika Malea sedang asyik menonton pertandingan sepakbola di channel olahraga televisi prabayar. “Kau sudah pulang?” Tanyanya sambil fokus pada tayangan tersebut. Ia sangat bersemangat ketika tim kesayangannya hampir mencetak gol, tapi gagal. “Iya. Tidak ada hal penting yang bisa kukerjakan.” Jawab Darren berbohong. Padahal ia punya segudang pekerjaan untuk membangun bisnisnya agar semakin besar lagi. Tapi entah kenapa, kehadiran gadis kecil yang sibuk menonton pertandingan bola itu, membuatnya ingin secepatnya pulang dan menghabiskan waktu bersama dengannya. Malea membuat hidupnya sedikit lebih berwarna. Darren hanya memperhatikan gadis itu dari kejauhan. Keceriaan Malea seolah menular padanya, hingga tanpa ia sadari seulas senyum tipis muncul di wajahnya. Malea kecewa ketika tim kesayangannya tidak memenangkan pertandingan. Ia mematikan siaran televisi tersebut lalu beranjak mendatangi Darren dengan senyum terpasang di wajahnya. Dari senyumnya yang penuh arti itu, Darren menatapnya curiga. “Ada apa? Kau ingin apa?” Seolah bisa membaca isi pikiran Malea, Darren bertanya terlebih dahulu. Malea membelalakkan mata, sedikit terkejut dengan sikap Darren yang seolah tahu isi pikirannya. Ia pun ragu, “Darren, ada yang ingin kusampaikan.” “Apa?” “Besok... bolehkah aku pergi keluar sebentar. Tidak lama, cuma dua jam. Aku janji akan kembali setelah dua jam. Please....?” Malea memohon padanya dengan wajah penuh harap. “Memangnya kau mau kemana?” Tanya Darren singkat, hatinya terasa berat untuk mengizinkan gadis itu pergi walau hanya dua jam. “Ada hal yang harus kukerjakan.” “Apa itu?” Darren penasaran hal yang harus dikerjakan gadis itu. “Apa kau bekerja?” Tanya Darren serius. Karena ia tak ingin Malea-nya bekerja selain menjadi peliharaannya. Ia harus memikirkan bagaimana caranya agar Malea hanya bekerja untuk dirinya. “Aku tidak bisa mengatakannya padamu. Tapi saat ini kumohon padamu, izinkan aku pergi besok, ya?" Malea merengek seperti anak kecil. "Boleh ya...? Ya...? Ya...?” Malea menatapnya penuh harap. Tatapan mata itu membuat Darren tak tega menolak permintaannya, dengan berat hati ia pun akhirnya mengizinkan Malea pergi. “Dua jam, lewat dari itu aku akan memanggil polisi.” Ujar Darren memberi peringatan. “Benarkah?” Malea tersenyum gembira, ia tak percaya Darren akan mengizinkannya pergi. “aku janji, Darren. Dua jam aku akan segera kembali.” Ujarnya sambil membuat simbol ‘V’ dengan kedua jarinya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN