Part 2 Penawaran

1714 Kata
Rapat dewan direksi yang dihadirinya membuatnya muak. Padahal rapat tersebut baru saja dimulai oleh kata sambutan dilanjutkan dengan presentasi dewan direksi keuangan mengenai anggaran biaya dan target laba perusahaan. Lima menit bahkan belum berlalu tapi Darren sudah bosan menghadirinya. “Sebaiknya rapat harus dihentikan sekarang juga!” Ia menggebrak meja dengan kesal. Suasana rapat berubah mencekam sekaligus menegangkan ketika Darren menatap dingin mereka satu per satu. “Aku membayar kalian bukan untuk mendongeng seperti ini. Kurasa kalian juga bukan orang biasa. Beberapa dari kalian bahkan lulusan kampus terkenal di luar dan dalam negeri. Tapi kenapa presentasi kalian sangat membosankan!” Maki Darren merasa tidak puas dengan kinerja para dewan direksinya. “Ini yang kalian maksud dengan rapat direksi, hah?!” Darren murka, sehingga tak satupun dari mereka berani memandang wajah bos besar mereka. Siapa yang tidak mengenal Darren Veryando Gunawan? sang CEO muda yang diberkahi kemampuan analisis bisnis yang tidak diragukan lagi. Laki-laki ini selain memiliki wajah tampan, kekayaan yang terhitung lagi jumlahnya, assetnya berada tidak hanya di Indonesia, tapi juga merambah ke luar negeri. Sebagai CEO yang berusia hampir 32 tahun, ia menjadi satu-satunya CEO termuda yang berhasil menjalin kerjasama dengan perusahaan dari negara-negara besar, karena itu dia terkenal di kalangan pebisnis Asia maupun Eropa. Meski begitu, laki-laki ini seorang workaholic sejati. Kesehariannya hanya dihabiskan untuk membangun bisnisnya agar semakin besar dan makin besar lagi. “Tapi, tuan Darren...” sekretarisnya, Leo mencoba memberikan penjelasan meski dengan suara terbata-bata. Terlihat jelas ia pun gentar menghadapi bosnya. “Leo, kau tahu waktuku sangat berharga jika kugunakan hanya untuk mendengarkan mereka berdongeng.” Seru Darren sarkastik, suaranya yang dingin mampu menciutkan nyali Leo hingga laki-laki itu tak berani berkomentar lagi. Leo tahu ia tak bisa berdebat dengan bosnya ini. Ia membutuhkan pekerjaan. Satu-satunya hal yang bisa membuatnya bertahan menjadi sekretaris Darren adalah gajinya yang fantastis. “Sekarang aku akan hentikan rapat tak berguna ini. Aku tak mau tahu, besok kalian harus siapkan laporan yang aku butuhkan. Kalau tidak? Bersiaplah kalian angkat kaki dari sini!” Darren tak mengenal komproni, siapa pun yang tidak disukainya pasti akan langsung ia ungkapkan. Karena itu, ia ditakuti sekaligus dihormati karyawannya. Meskipun terkenal dingin dan tak memiliki belas kasih, Darren terhitung bos yang loyal terhadap semua karyawannya. Hampir semua orang yang bekerja padanya mendapatkan kesejahteraan yang layak untuk kehidupan mereka. Oleh sebab itu, mereka lebih memilih bertahan bekerja di perusahaan Darren. Darren beranjak dari kursinya dan segera meninggalkan ruang rapat tanpa permisi. Menimbulkan tanda tanya besar di benak para dewan direksi karena bos besar mereka 'walk out' dari rapat begitu saja. *** Biasanya Darren pulang kantor menjelang tengah malam seperti rutinitasnya sehari-hari. Tapi, entah kenapa bayang wajah gadis kucing liar itu terbersit dalam benaknya, membuatnya penasaran apa yang diinginkan gadis itu. Darren tersenyum melihat kegiatan yang dilakukan gadis itu melalui layar monitor yang terhubung dengan kamera pengawas apartemennya. Layar tersebut menampilkan kesibukan Malea ketika membersihkan semua sudut ruangan apartemen Darren yang tentu saja selalu bersih. Satu hal yang menjadi prioritas utama Darren dalam hidupnya adalah kebersihan. Darren selalu mensterilkan sesuatu yang dianggap kotor, ia mengidap Mysophobia (phobia kotor). Phobia itu sudah ia derita sejak kecil, ketika ibunya meninggalkannya karena dia lebih memilih hidup bersama pria miskin yang dicintainya dibandingkan tinggal bersama Darren dan ayahnya di rumah megah mereka yang bak istana. Darren pernah tinggal bersama ibunya di sebuah rumah kumuh yang jauh dari kata layak. Berkali-kali Darren coba bersihkan tetap saja banyak kotoran menempel di lantai. Begitu pun kecoa dan cicak yang berlalu lalang seperti hewan peliharaan di sekitar mereka. Sejak itulah Darren mengidap penyakit Mysophobia. Dia akan selalu membersihkan dirinya dan menjauhkannya dari kotoran yang dianggapnya membawa penyakit. Darren memilih tinggal bersama ayahnya dibanding ibunya dan suami barunya. Awalnya Darren membenci ibunya karena wanita itu lebih memilih pria miskin dibandingkan dirinya dan ayahnya. Darren menyalahkan wanita itu sampai ia tahu kebeneran tentang penyakit yang diderita ibunya yang menyebabkan beliau menghembuskan napas terakhir di usia Darren yang masih belia saat itu. Darren menatap gawainya lagi, terlihat Malea sedang meringkuk manja di sofa sambil memeluk selimut yang dibawanya dari kamar. Melihat gadis kucing liarnya terlelap, Darren memutuskan pulang ke apartemennya, meski jam tangannya menunjukkan pukul satu siang. *** Malea tak terbiasa tinggal di apartemen mewah dan luas milik Darren. Ia pun memutuskan membantu pria itu membersihkan apartemennya sebagai balas budi atas kebaikannya mengizinkan dirinya tinggal di sini untuk sementara waktu sampai ia memiliki tempat untuk dituju selain rumahnya. Ia sengaja menghindar bertemu ayahnya karena bayang-bayang itu masih membekas di pikirannya, menyisakan trauma yang cukup dalam di hatinya. Malea meringis ketika mengoleskan salep di beberapa bilur yang membekas di lengan dan kakinya. Setelah mengobati lukanya, ia tak tahu lagi harus melakukan apa. Ia pun lantas berbaring di sofa sambil merenungi peristiwa yang terjadi padanya beberapa hari belakangan. Suara kenop pintu mengusik lamunan Malea, ia terduduk dan terkejut melihat pria itu muncul secara tiba-tiba, menatap Malea dengan tatapan intens. Ia beranjak dari sofa dan menghampiri sang pemilik apartemen. “Kau sudah pulang?” Sapa Malea, merasa risih melihat Darren memandanginya dengan intens dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. “Kau belum berganti baju?” Tanya Darren sambil menyipitkan kedua matanya melihat penampilan gadis itu dengan kaus lusuh yang dikenakannya sejak semalam. Malea hanya menggeleng sekilas, lalu mengikuti Darren yang berjalan cepat menuju sebuah ruangan yang berisi lemari pakaian. Darren mengobrak-abrik isi lemari sambil memilih pakaian yang sekiranya cocok dikenakan gadis bertubuh mungil yang berdiri tepat di belakangnya, “ini pakailah!” Ia melemparkan kaus katun berwarna abu-abu yang dengan gesit gadis itu berhasil menangkapnya. Darren meninggalkan Malea sendirian di ruang lemari, ia pun mencopot dasi, kemudian melepaskan jasnya dan menaruhnya di gantungan. Beberapa menit kemudian Malea bergabung dengannya, gadis itu terlihat sedikit lebih bersih dibanding sebelumnya. “Duduklah.” Darren menyuruh gadis itu duduk di sofa tepat di hadapannya. Dengan patuh, Malea mengikuti perintahnya. Dia duduk gelisah di hadapan Darren ketika pria itu menatapnya semakin intens. “Aku sudah melakukan apa yang menjadi tanggung jawabku semalam. Lagipula bukan salahku jika menabrakmu. Karena setahuku kau sendiri yang melompat ke jalan dan menghalangi mobilku!” Kata Darren memulai pembicaraan yang seharusnya ia lakukan semalam untuk memperjelas situasi mereka. Darren tidak ingin menjadi korban kelicikan gadis liar ini. Ia bukan tipe pria bodoh yang akan mudahnya terjebak oleh akal bulus gadis yang terlihat lugu. “Aku tahu,” sahut Malea dengan suara lemah. Ia tak tahu lagi harus berkata apa agar Darren memberinya kesempatan lagi untuk tinggal hanya sementara. “Tapi bisakah kau beri aku waktu... hanya beberapa hari saja. Tidak! Sehari atau mungkin dua hari sampai aku memiliki tempat tinggal.” Malea memasang wajah iba, berharap pria di hadapannya ini akan luluh, tapi ternyata pria itu jauh dari harapannya. Pria itu sangat dingin, bahkan tampak acuh, hatinya mungkin terbuat dari batu karena ia bahkan sama sekali tak tersentuh oleh permohonan Malea yang diungkapkan dengan tulus. “Tidak!” Sergah Darren tanpa pikir panjang. “Aku tidak peduli! Jadi sebaiknya kau lekas pergi dari sini.” “Kumohon, Tuan. Beri aku tempat tinggal untuk kali ini saja...?” Ia memohon dengan sangat, kedua tangannya bersedekah meminta belas kasihan. “Aku butuh tempat tinggal sampai...” “Dasar perempuan licik!” Belum sempat Malea melanjutkan kata-katanya, Darren telah lebih duli berasumsi. “Kau tahu...? Ada banyak sekali wanita di luar sana yang memohon untuk tinggal bersamaku. Sebagian dari mereka bahkan menjebakku. Tapi aku bukan pria bodoh!” Darren menangkup wajahnya sambil tersenyum miring. Malea tercekat ketika pria itu menatapnya, dingin. Tatapannya bahkan sanggup membekukan matahari sekali pun. Ia mendesis putus asa. “Kau kira dengan wajahmu yang polos itu bisa menipuku, hah? Kau salah besar! Dasar perempuan murahan!” Darren menghempaskan wajah Malea. Ia mengelap tangannya dengan saputangan, seolah jijik setelah menyentuh Malea. “Apa maksudmu?” Malea terprovokasi, harga dirinya terluka oleh hinaan dan cacian yang dilontarkannya. “Aku hanya butuh tempat tinggal bukan berarti aku murahan!” Ia membela dirinya. “Terus apa yang harus kupikirkan tentangmu, hah?” Malea tak mampu menjawab untuk membela dirinya dan ia benci itu. “Aku tahu kau pasti berpikiran buruk tentangku, tapi aku tak punya pilihan lain. Izinkan aku tinggal hanya untuk sementara waktu. Aku akan mencari pekerjaan, atau bisakah kau memberiku pekerjaan?” Malea menawarkan dirinya dengan putus asa. “Memangnya pekerjaan apa yang bisa kau kerjakan?” Darren bergumam misterius, sorot matanya berbinar terang, tampak tertarik mendengar penawaran tersebut. Malea tergeragap, tak tahu apa yang harus ia katakan. Pendidikannya yang hanya tamat SMA, tidak memberinya banyak kemampuan selain menjadi pelayan bar, penjual lotre, sales rokok atau membersihkan rumah. Satu-satunya kemampuan yang bisa ia banggakan hanyalah memasak, tapi sepertinya laki-laki ini tidak membutuhkan kemampuannya. Malea sudah mengecek dapurnya yang bersih dan rapi, sepertinya ia tidak pernah menggunakan area tersebut. “Aku bisa bersih-bersih,” Darren menahan pekikannya sambil tersenyum sinis. “Jika hanya itu yang bisa kau kerjakan, aku punya ratusan pekerja yang bisa kuperintahkan.” Gumamnya. Malea mengerang, “aku juga bisa masak!” Ujarnya penuh percaya diri, berharap pria ini akan mempertimbangkan tawarannya. Darren menggelengkan kepala, “Aku tidak membutuhkan itu. Karena aku bahkan lupa kapan terakhir kali aku makan di meja makan itu.” Malea mendesah putus asa memikirkan nilai positif pada dirinya yang bisa ditawarkan. “Aku bisa menyanyi. Suaraku sangat merdu, kau mau mendengarnya?” Malea menarik napas panjang. Dengan antusias ia ingin memamerkan kemampuannya, tapi Darren malah membungkam mulutnya. “Aku tidak mau mendengarnya. Lagipula aku hanya perlu membeli tiket konser penyanyi terkenal dan menonton mereka secara langsung.” Malea kehabisan akal, segala hal yang ia tawarkan ditolak oleh pria sombong ini. “Aku tidak tertarik pada semua yang kau tawarkan!” “Apa kau tidak mau mengubah pikiranmu?” tanya gadis itu pasrah. “Tidak!” Jawab Darren, cepat. “Tapi aku punya satu tawaran untukmu...” Darren mendekat perlahan membuat Malea siaga. Gadis itu memiliki sepasang mata coklat yang terang dan menghangatkan. Darren menatap jauh ke dalamnya dan terbersitlah sebuah ide gila di benaknya. “Apa itu...?” Tanya Malea sekuat tenaga menahan rasa takutnya. Apapun yang ditawarkan pria itu, Malea akan menerimanya. Karena ia tak punya pilihan lain saat ini. “Aku ingin kau jadi peliharaanku, kucing liarku!” Malea membelalakan mata lebar-lebar merasa terkejut. Darren menggeram menahan gejolak hasrat yang mendadak muncul ke permukaan. Dan sialnya kenapa harus gadis liar ini yang ada di dekatnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN