bc

We Are Family Indigo

book_age12+
2.1K
IKUTI
14.2K
BACA
like
intro-logo
Uraian

Terlahir kembar dengan kemampuan istimewa membawa Arden dan Aretha terus menjalani kehidupan penuh dengan lika liku.

Kehadiran makhluk tak kasat mata bukan lah hal yg aneh bagi mereka. Dengan kemampuan istimewa yang mereka miliki, mereka terus berjuang bertahan hidup bersama sama. Dukungan ayah bunda mereka yg sama istimewanya dengan mereka, membuat keluarga mereka selalu kompak setiap saat.

•Indra Saputra

•Khaerunnisa

•Arden Diarta Anarya

•Aretha Dianah Aryani

chap-preview
Pratinjau gratis
Part 1 Masuk SMU
Pagi ini, aku dan Kak Arden sudah ada di pelataran parkir SMUN 2. Kami sudah terdaftar sebagai siswa siswi baru. Dan ini adalah hari pertama MOS. Kami adalah kakak beradik kembar pengantin yang memiliki kemampuan istimewa. Kak Arden tidak bisa melihat langsung kehadiran sosok tak kasat mata, hanya bisa merasakannya. Tetapi dia akan mengalami demam terlebih dahulu sebagai pertanda. Sedangkan aku, mampu dengan mudah melihat sosok makhluk astral di sekitarku. Kemampuan kami saling berkaitan, dan tentunya kami saling membutuhkan. Saat aku melihat makhluk astral, aku akan kembali normal hanya dengan sentuhan dari kakakku. Para makhluk gaib akan lenyap saat tangan kami saling menggenggam. Di sisi lain, demam kak Arden akan mereda karena genggaman itu. Ikatan yang sungguh unik, bukan? Tentu saja. Hal ini disebabkan oleh kedua orang tua kami yang memiliki kemampuan serupa. "Kak, aku ke sana dulu ya," tunjukku saat melihat sahabatku, Kiki, turun dari mobil. Kak Arden menatap sekilas ke arah wanita berambut pendek ikal di ujung sana, lalu mengangguk. Keakraban Kiki dan aku sudah lama terjalin. Sejak kami sama-sama duduk di bangku SD. Celotehan tercipta dengan mudahnya dari mulut kami berdua. Mulai hal penting sampai tidak penting kami bahas. Dari pertanyaan menu sarapan tadi pagi sampai pembahasan Coki, anjing Kiki, yang telah hamil. "Pasti si Coklat yang hamilin, soalnya mereka beberapa hari ini sering bareng, Tha!" tutur sahabat kentalku ini dengan semangat menggebu, menggandeng tanganku menuju kerumunan siswa-siswi baru yang lain. Sebuah papan pengumuman menjadi pusat perhatian beberapa pasang mata di sini. Jadwal kegiatan serta pembagian kelas untuk siswa-siswi yang MOS, menjadi hal penting yang kamu cari. "Hore! Kita sekelas!" seru kami berdua sambil loncat-loncat bahagia. Mirip anak kecil yang mendapat mainan baru. SMUN 2 adalah salah satu sekolah favorit. Banyak anak lulusan SMP yang bercita-cita masuk ke SMU ini. Ada sebuah kebanggaan sendiri menjadi siswa di sini. Terlepas dari banyaknya isu mistis yang beredar. Maklumlah, bangunannya bekas peninggalan Belanda. Struktur bangunannya pun masih sama, belum banyak berubah. Hanya ada tambahan bangunan baru. Seperti masjid, beberapa ruangan untuk aula dan tambahan ruang kelas karena muatan siswanya selalu penuh seiring bertambahnya waktu. Ada sekitar dua puluh satu kelas di sekolah ini. Mulai dari kelas satu sampai kelas tiga. "Kita kelas 1-7, tapi di mana ya, Ki?" tanyaku menyapu pandang ke segala arah. Kiki yang ada di sampingku pun, turut serta meletakkan telapak tangan kanan di atas dahi. Mencari letak kelas kami. Seketika Kiki membelalakkan mata melihat dua orang yang sepertinya ia kenal. "Eh, duo k*****t!" umpat Kiki dengan senyum jail. "Hah? Siapa duo k*****t?" tanyaku memperjelas perkataan Kiki barusan. Tanpa menjawabnya, Kiki menyeret tanganku menghampiri dua laki-laki di ujung koridor. "k*****t!" teriak Kiki sambil melambaikan tangan pada dua orang bertubuh tinggi yang sedang mencari sesuatu. Kiki mendekat. Tentu denganku juga. "Lah, elu, Ki?" seru salah satu dari pria itu. Dengan perawakan lebih tinggi satu jengkal denganku. Rambutnya cepak dan bermata sipit. Dia sedikit terkejut melihat kedatangan kami yang tiba-tiba. Lain halnya dengan laki-laki yang satunya, dia berperawakan hampir sama tetapi memakai kacamata minus di matanya. Dia justru langsung membuang muka, sepertinya muak. Biasanya eskpresi itu yang kulihat di film-film. "Elu lagi! Heran! Kenapa sih kita ketemu mulu?" sindir teman Kiki dengan pertanyaan bernada sinis. Berbeda dengan Kiki yang terus melebarkan senyum sambil menempel di antara dua laki-laki itu. Aku memandang aneh kelakuan Kiki. menjijikkan, batinku dalam hati. Yah, walau sebenarnya aku sudah hafal tingkahnya sejak dulu. Kiki yang tersadar, mendekatiku dan gantian bergelayut manja di lenganku. "Kenalin, ini Aretha yang sering gue ceritain itu. Tha, ini Danu sama Dion," tunjuk nya pada mereka berdua. Dua laki-laki tadi menatapku sambil mengangguk paham. Begitu juga aku yang bergantian menatap mereka dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Kalian kelas berapa?" tanyaku santai. Tanpa perlu adat berkenalan dengan jabat tangan rasanya. "1-7. Kalian?" tanya Danu mengamati beberapa kelas di dekat kami. "Lah, sama!" tukas Kiki antusias. "Nah. Itu tuh!" Sebuah kelas yang ada di ujung koridor dekat kamar mandi, kini menjadi pusat perhatian kami berempat. "What? What ... What?"cerocos Kiki dengan gaya alay bin lebay. Dion yang risi melihatnya, hanya melirik tajam lalu menutup mulut Kiki sambil berlalu. Danu dan aku mengikuti mereka hingga sampai depan kelas. Ada papan kecil di atas pintu yang bertuliskan angka 1-7. Dan benar, tempat inilah tujuan kami. "Kok dekat toilet? Fengsuinya nggak asyik nih," cetus Dion melirik bangunan di samping kirinya. "Gaya lu, fengsui-fengsui segala!" ejek Kiki masuk ke kelas mengikutiku dan Danu yang sudah berjalan lebih dulu. Bel yang berdering tadi, otomatis membuat seluruh siswa masuk ke kelas masing-masing. Sekalipun ini hari pertama MOS, tidak ada acara perpeloncoan seperti yang marak di TV. Selain karena sudah dihapus dari seluruh peraturan sekolah, juga agar kegiatan MOS jauh lebih efektif. Dan hanya akan diisi dengan kegiatan yang lebih bermanfaat. Langkah kaki berderap di luar. Seorang pria berkemeja putih dengan celana hitam, masuk kelas. Aku langsung terperenyak saat melihat pria yang kukenali itu. "Om Feri ..." gumamku dengan ekspresi tidak percaya. Om Feri adalah sahabat bunda dan beberapa kali mampir ke rumah. Hanya saja aku tidak tahu kalau ternyata pria yang kini ada di hadapanku adalah wali kelasku. "Mampus gue!" umpat ku berbisik sambil menekan pelipis. Kepalaku kini berdenyut membayangkan gerak-gerikku yang akan selalu diawasi orang tua ku nanti. Melalui Om Feri tentunya. Di belakang Om Feri, ada beberapa senior yang akan memandu jalannya MOS hari ini. Yah, itu terlihat jelas dari seragam mereka yang mang memakai baju identitas sekolah. Sebagai wali kelas, Om Feri mulai mengabsen murid-murid. Aku mulai menunduk, mencoba menyembunyikan wajahku. Walau pada akhirnya, namaku disebut. "Aretha?" panggil Om Feri lalu mengedipkan sebelah mata. Aku mendengus sebal sementara Om Feri membentuk tangannya seperti sebuah pistol. Ia seolah-olah menembak ku sebagai tanda peringatan. "Belum apa-apa kamu udah masuk blacklist, Ta?" ejek Kiki diiringi kekehan kecil, yang memang mengerti maksud wali kelas kami tersebut. Memang aku sedikit aktif saat SMP dulu. Yah, aktif dipanggil guru maksudnya. Entah sudah berapa kali aku dipanggil ke ruang BP. Berbeda dengan kakakku memang, Kak Arden. Yang tidak pernah membuat masalah. Tenang, sabar dan cuek. Perpaduan yang cocok dari kedua orang tua kami. Bel istirahat berbunyi. Danu mengajak makan di kantin sekolah. Ia berencana mentraktir kami dengan semangkuk bakso dan segelas es teh. Kebetulan dia berulang tahun hari ini. "Itu Arden, Tha?" tunjuk Kiki dengan dagunya ke arah segerombol siswa yang baru saja masuk ke kantin yang sama. Kak Arden hanya menaikkan sudut bibirnya melihatku yang sedang meneguk es teh. Dia memang sangat cuek dan dingin kelihatannya. "Arden siapa?" tanya Danu sambil menoleh ke arah yang aku tatap. Namun, belum sempat aku menjawab, sebuah gelas jatuh dan pecah berserakan. Kiki berteriak karena terkejut sambil mengibas-ngibaskan roknya yang basah. "Gimana sih? Basah semua kan jadinya?" omel Kiki dengan tatapan tajam ke seorang siswa. Orang itu hanya melirik sekilas, lalu pergi begitu saja. Melihat hal itu, aku langsung beranjak. Aku menarik tangan pria itu dengan tatapan membunuh. "Nggak sopan!" ucapku sinis. Menatap tajam pria jangkung berambut cepak di hadapanku. Roni Kausar. Terlihat dari name tag yang tertempel di saku bajunya. Musuh pertama ku di sekolah kurasa. "Apa sih? Gitu aja jadi masalah? Ya udah, gue minta maaf!" tukas laki-laki tadi. Aku melempar tangan itu dengan kasar. "Mulut kamu dijaga ya! Nggak punya sopan santun! Punya otak nggak sih? Jangan-jangan nggak punya otak juga! Minta maaf kok nggak ikhlas banget! Situ pikir situ oke? Mentang-mentang kakak kelas, gitu? Sok kecakepan banget!" makiku tanpa tendeng aling-aling. Roni mendekat dengan wajah yang sudah tersulut emosi juga. Dan aku tidak takut padanya. "Untung cewek, yah! Kalau nggak ..." ucap Roni dengan mengatupkan rahangnya, menahan emosi. "Kenapa emang kalau aku cewek? Hah? Kamu pikir aku takut?" tantangku. "Nggak akan!" Kembali aku berbisik tepat di depan wajah Roni. Tantanganku sepertinya berhasil membuat emosi Roni memuncak yang sejak tadi tertahan karena merasa kalau lawannya seorang wanita, tetapi dia tidak tau bagaimana Aku. Aku mencengkeram kerah kemeja Roni. Sebuah hantaman tepat mengenai ulu hati Roni. Ia terhuyung ke belakang karena gerakanku yang tanpa basa basi. Roni mengatur napas, sambil menekan perutnya yang nyeri, ia juga sepertinya sedang mengatur strategi menyerang balik. Saat ia akan balik menyerang, tiba-tiba ada sebuah tangan yang mencengkeram kuat tangan Roni. Kekuatan Roni yang tidak seberapa, sangat mudah ditaklukkan Kak Arden. Yah, Kak Arden kini menjadi tameng untuk melindungiku. Roni mulai menatap Kak Arden benci. Teman-teman Kak Arden yang awalnya duduk di meja tadi, lantas ikut berdiri. Perkelahian terjadi antara dua kubu. Kubu Roni, melawan kubu Kak Arden yang sama kuatnya. Lima lawan lima. Sepertinya adil. Selama beberapa menit kejadian itu membuat seisi kantin ramai. Hingga datanglah, seseorang sambil berkacak pinggang. Teriakannya sungguh memekakkan telinga, membuat beberapa penonton gratis di sini pergi tunggang-langgang. "Kalian semua balik ke kelas sekarang juga! Bukannya melerai, malah nonton!" teriak Om Feri pada penonton di sekitar kantin. Seketika suasana kantin hening, hanya meninggalkan sepuluh orang yang sudah babak belur ditambah dua wanita, yaitu aku dan Kiki. "Kalian ikut saya ke kantor!" Yah, sesuai dugaan. Inilah akhirnya. ________ Ceramah panjang lebar sudah membuat telinga kami panas. Dengan berjejer di depan kantor guru, cukup menjadikan kami aktor dadakan di sekolah. Aku yakin beberapa guru sudah menandai kami sebagai anak-anak yang patut diwaspadai. Ceramah ini berakhir dengan jabat tangan semua orang. Walau Roni terlihat masih menatap benci ke arah kami, tetapi sekarang semua orang anggap masalah ini selesai. "Ganti dulu tuh rok Kiki. Basah. Nanti masuk angin," suruh Kak Arden setelah barisan dibubarkan. Karena masalah barusan, kami tentu tidak bisa masuk kelas. Itu hukuman langsung dari Om Feri. Dan kami harus merelakan poin kedisplinan berkurang. Yah, itu konsekuensi kedua yang harus kami terima. Memilih duduk di kantin sambil meneruskan makan adalah ide yang brilian. "Jadi kalian kembar?" sontak pertanyaan itu terlontar dari mulut Dedi, salah satu teman Kak Arden. Mereka berlima satu kelas, di kelas 1-1 yang merupakan kelas unggulan paralel di sekolah. Kak Arden, Dedi, Doni, Radit, dan Ari. "Kenapa? Aneh? Nggak mirip kah?" tanyaku sambil memeluk lengan kakakku yang duduk di samping. Semua mata menatap kami dan reaksi mereka sama. Mengangguk ragu, sambil melahap bakso yang sudah mereka pesan tadi. Sesekali meneguk es teh karena cabai sambal yang dituangkan ke mangkuk bakso terlalu banyak. Obrolan ringan tercipta di meja ini. Dan aku senang. Setidaknya ini lebih baik daripada harus berdiam di kelas. Mendengar ceramah atau apa pun itu dari senior. "Kirain Arden udah punya pacar," cetus pria yang duduk di ujung. Namanya Radit. Yah, aku masih berusaha menghapal nama-nama mereka. "Arden punya pacar? Itu luar biasa," kata Kiki sambil tertawa mengejek. "Memangnya kenapa? Dia ... homo?" bisik Ari dengan pertanyaan yang membuat mata Kak Arden melotot. "Gue dengar, ya! Enak aja homo!" elak Kak Arden. "Kakakku ini cuek banget. Belum pernah deh, dia dekat sama cewek. Yah, semoga aja dia normal," sindirku yang mendapat jitakan dari kakakku. "Memangnya kamu udah punya pacar?" Aku menatap ke Radit dengan aneh. "Eh, nggak ada pacar-pacaran! Masih kecil juga," omel Kak Arden memotong pembicaraan ini. "Siap, Bos!" Aku meletakkan tangan di pelipis pertanda hormat padanya. Kami melanjutkan makan sambil mengobrol. Saling memperkenalkan diri dan menceritakan kehidupan pribadi masing-masing agar saling mengenal lebih jauh. Aku memeluk lenganku sendiri. Angin yang berembus menerpa wajah serta tubuhku, membuatku merasakan ada sesuatu yang lain di sekitar kami. Aku menyapu pandang ke sekeliling. Hingga tatapanku tertuju pada sebuah ruangan besar tak jauh dari kantin. "Itu ruangan apa?" tanyaku tanpa mengalihkan pandangannya dari tempat itu. "Itu aula. Kenapa?" tanya Ari. "Aula? Oh ... eum, nggak apa-apa kok." Rasanya tidak nyaman saat melihat tempat itu. Ada sesuatu yang lain di sana. Kak Arden ikut melihat ke aula lalu beralih padaku. "Dek, abisin dulu makannya." Aku pun tersenyum lalu segera memakan habis bakso yang makin lama makin dingin.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Romantic Ghost

read
164.5K
bc

AHSAN (Terpaksa Menikah)

read
305.9K
bc

CUTE PUMPKIN & THE BADBOY ( INDONESIA )

read
113.9K
bc

DIA, SI PREMAN KAMPUSKU ( INDONESIA )

read
473.9K
bc

Suamiku Bocah SMA

read
2.6M
bc

Enemy From The Heaven (Indonesia)

read
61.4K
bc

The Ensnared by Love

read
105.4K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook