Mata Aluna terbuka ketika tentetan dering chat mengganggu tidurnya yang nyaman. Ia mengerang menggapai ponselnya dan seketika kantuknya lenyap begitu melihat siapa yang mengirimnya pesan.
Hey pemalas, bangun!
Pasti belum bangun
Hari ini kita kuliah lho..
Astaga, pasti kamu masih tidur
Alunaaaaa
Ia tersipu membaca pesan yang tampak biasa bagi orang lain tapi begitu berpengaruh untuk suasana hatinya.
Tring!
Ah, akhirnya bangun. Selamat pagi Aluna
Sontak Aluna menggepengkan bibirnya seperti bebek karena menahan senyum. Ibu jarinya dengan lincah mengetik balasan untuk Dhimas.
Pagi-pagi udah berisik banget sih
Aku masih mau rebahan tau
Sent!
Tring!
Hahaha, mulai sekarang pagimu tidak akan tenang. Aku bakal bangunin kamu tiap pagi
Aluna mendesis.
Curang!
Aku mau tidur lagi
Tring!
"Astaga cepatnya", gumam Aluna.
Tidak booleh!
Bangun, siap-siap lalu sarapan, aku jemput kamu jam 7.
Aluna terbelalak kaget. Mau apa dia jemput jam tujuh?, pikirnya
Ngapain jemput pagi-pagi? Kuliah juga masih jam 11 siang
Sent!
Ia melihat Dhimas sedang mengetik balasan untuknya. Pria itu sangat lincah dalam hal membalas pesan.
Tring! Tuhkan.
Jalan-jalan, mumpung masuk siang. Nanti sekalian ke kampus bareng. Oke?
Jadi sekarang bangun wahai nona pemalas, jam 7 aku jemput. Tidak ada protes. See you!
Aluna melirik jam menunjukan pukul enam pagi, berarti satu jam lagi pria itu akan menjemputnya.
Baiklah, aku siap-siap dulu
Sent!
"Ck, padahal masih mau tidur", gumam Aluna seraya menahan senyum.
Ia beranjak dari tempat tidurnya yang nyaman untuk bersiap mulai dari menyiapkan modul kuliah sampai dengan pakaian yang akan ia kenakan hari ini. Setelahnya, ia melanjutkan aktifitasnya dengan mandi dan memakai riasan tipis untuk wajahnya. Ia tersenyum melihat hasil akhirnya.
Aluna melihat jam menunjukan pukul tujuh pagi, terdengar suara dering pesan di ponselnya.
Dhimas: Aku sudah di depan
Tanpa membalas Dhimas, Aluna bergegas menarik tasnya dan keluar dari kamar. Ternyata di ruang tengah sudah ada mamanya yang tengah menyiapkan sarapan.
"Loh? Kamu mau kemana pagi - pagi? Kan kuliahnya siang, sayang", tanya Nanda kaget.
Aluna menampilkan deretan giginya pada Nanda.
"Diajak main, Ma. Boleh ya? hehehe", jawabnya.
Nanda menatapnya penuh sekongkol.
"Sama Babang Dhimas ya?", godanya.
"Pastinya", balas Aluna.
Nanda terkekeh sambil menepuk pipi putrinya pelan.
"Ya sudah, hati - hati di jalan ya, jangan sampai telat kuliah. Terus, kapan - kapan ajak Dhimas masuk", ucap Nanda.
Aluna tersenyum dan mengangguk.
"Siap, Boss! Luna berangkat dulu ya, Ma", pamit Aluna.
Nanda mengangguk sambil melambaikan tangannya.
"Ok, have fun!", seru Nanda.
Aluna berjalan keluar rumahnya dan kaget melihat Dhimas yang tengah menunggu dengan sebuah motor.
"Wiih, motor hasil ngepet dari mana nih?", saut Aluna ketika telah keluar dari pagar rumahnya.
Dhimas tertawa mengajak Aluna salam dengan kepalan tangan dan Aluna membalasnya.
"Enak aja, maaf - maaf nih, aku gak level ngepet, mainku langsung rampok", balas Dhimas.
Aluna tertawa sambil menerima helm yang diberikan oleh Dhimas.
"Sama aja, Maemunah", ucap Aluna.
"Yee, bisa aja nih Sukardi", balas Dhimas
Aluna tertawa, "Ini mau kemana sih? Kok pakai motor segala, motor balap lagi, mau beli lontong balap apa gimana?", tanya Aluna sambil menaiki motor tersebut.
Dhimas mendengus geli, "Mau nyari gudeg, udah siap belum?", tanya Dhimas.
"Udah, jauh amat mau nyari gudeg doang ke Jogja, nanti telat kuliah", jawab Aluna.
"Gak liat apa di kanan sama kiri udah ada om jin lagi siap - siap bawa kita terbang", baas Dhimas sambil menjalankan motornya.
Aluna tidak bisa tidak tertawa, semakin hari obrolannya dengan Dhimas semakin santai dan mereka bebas membuat candaan yang mungkin orang lain mendengarnya tidak lucu tapi lucu bagi mereka.
"Dhim, jangan rem mendadak ya! Ini kamu punya motor keren doang, tapi buat boncengan masih kalah jauh sama motor matic yang gede itu!", seru Aluna seraya menunjuk sebuah motor N*ax di depan mereka.
"Maksudnya gini?", tanya Dhimas sambil mengerem mendadak tanpa menghiraukan teriakan Aluna yang kaget. Tubuhnya terseret ke depan dan menubruk punggung Dhimas.
"Dhimas!", seru Aluna kesal menepuk pundak Dhimas dengan kencang.
Dhimas tertawa, tangannya menarik tangan Aluna untuk berpegangan pada perutnya. Sontak Aluna kaget dan hendak menarik kembali tangannya namun ditahan oleh Dhimas.
"Pegangan, kamu nggak punya pegangan lain di motor ini selain aku. Mana tangan satunya", ujar Dhimas seraya mengadahkan tangannya, perlahan Aluna menerima tangan pria tersebut dan kaget karena Dhimas menariknya untuk memeluk perut Dhimas.
Aluna berusaha keras menahan rasa geroginya saat ini, semoga detak jantungnya yang kencang dengan begitu memalukan tidak terdengar oleh Dhimas.
"Kamu udah sarapan?", tanya Dhimas.
"Belum, Dhim", jawab Aluna.
"Yaudah, sarapan dulu ya", seru Dhimas.
"Nah, dari tadi dong, cacing diperutku udah main orkes melayu dari tadi", seru Aluna.
Dhimas tertawa sambil menepuk - nepuk tangan Aluna yang berkait di perutnya.
"Ngapain nepuk - nepuk? Nggak kenyang ditepuk gini doang!", seru Aluna berusaha membuat suasana diantara mereka tidak canggung.
"Seenggaknya itu si cacing dapat tambahan perkusi biar gak capek - capek banget", balas Dhimas.
Aluna tertawa Dhimas membalas candaannya dengan baik.
"Buruan makan, lapeeeer", seru Aluna.
"Iya, Cing!", balas Dhimas.
Keduanya tertawa dan terus bercanda selama perjalanan, akhirnya mereka berenti di sebuah pujasera yang cukup ramai. Aluna memperhatikan Dhimas yang membuka helmnya sambil mengurai rambutnya dengan cepat. Setelahnya pria tersebut mengabil alih helm di tangan Aluna yang masih terpana tanpa disadari oleh Dhimas.
"Ayo", ajak Dhimas.
Aluna mengangguk, "Ayo", balas Aluna.
Mereka berjalan beriringan memasuki pujasea tersebut.
"Mau makan apa, Cing?", tanya Dhimas.
Aluna tertawa, "Aku yang lapar, bukan Cing", jawab Aluna.
"Yang lapar cacing kamu, bukan kamu, jadi aku nawarin mereka", balas Dhimas.
"Tapi kan yang ngunyah aku", elak Aluna.
"Tapi ujungnya nutrisinya diambil si cacing", ujar Dhimas.
"Ih, nggak ya, si cacing mah aku kasih dikit doang, sisanya masuk lambung", ujar Aluna.
"Bisa aja jawabnya, kang gendang", ledek Dhimas.
"Yee, sa ae kang perkusi", balas Aluna.
Dhimas tak kuasa menahan tawanya dan menarik Aluna dalam rangkulannya.
"Jadi mau makan apa?", tanyanya.
Aluna memperhatikan berbagai jenis kios yang menjual berbagai makanan yang tampak lezat. Ia bergumam sambil menepuk - nepuk dagunya.
"Aku mau nasi kuning komplit itu", jawab Aluna.
"Oke, aku juga mau itu", saut Dhimas.
"Ngikut - ngikut aja sih", ketus Aluna ditengah iringan jalan mereka.
"Maaf - maaf aja nih, nasi kuning is my life", elak Dhimas.
Aluna mendesis menahan tawanya.
"Bu, nasi kuning komplitnya dua, air mineral dua", pesan Dhimas.
"Sama kopinya satu", tambah Aluna.
"Sama teh manis hangatnya satu", imbuh Dhimas.
"Mbaknya ngopi masnya ngeteh?", tanya Ibu penjual.
"Bukan Bu, buat dia", jawab Aluna dan Dhimas kompak sambil saling menunjuk.
Sang ibu penjual nasi kuning itu tersenyum mesem menatap Aluna dan Dhimas dengan menggoda. Sementara Aluna dan Dhimas sedang tertawa kecil sambil menggaruk rambut mereka yang tidak gatal.
"Saya ulang pesanannya ya, dua nasi kuning komplit, dua air mineral, satu kopi dari mbak buat masnya dan satu teh manis hangat dari mas buat mbaknya", saut Penjual nasi kuning tersebut pada Aluna dan Dhimas yang merona.
"Iya bu, berapa Bu?", tanya Dhimas mengeluarkan dompet.
"Seratus ribu, mas", jawab Ibu penjual.
"Ini uangnya, Bu", ujar Dhimas dan Aluna bersamaan lagi sambil menyerahkan uang lembar seratus ribu rupiah. Ketika menyadari keduanya langsung saling menatap.
"Aku yang bayar", ujar Dhimas.
"Aku yang bayar", balas Aluna.
"Nggak, aku yang bayar", elak Dhimas.
"Nggak, aku yang bayar", lawan Aluna.
"Haduh, mas sama mbaknya ini romantis ya. Gini aja, karena saya tim mas ganteng, jadi saya terima uang p********n dari masnya aja. Uang mbaknya simpen aja mbak, buat makan siang gitu", saut Ibu penjual nasi kuning sambil menarik uang dari tangan Dhimas.
"Yes!",seru Dhimas.
Aluna memanyunkan bibirnya sambil menyimpan kembali uangnya.
"Ibu dibayar berapa sama dia sampai - sampai mihak dia?", tanya Aluna sebal.
"Seratus ribu, mbak", jawab penjual dengan polos.
Dhimas mendengus menahan tawa sambil menarik tangan Aluna.
"Terima kasih banyak ya, Bu", ucapnya sebelum meninggalkan kios tersebut.
Ia menarik Aluna untuk duduk di bangku yang terletak di pinggir jendela besar berkusen putih.
"Kita mau kemana, Dhim?", tanya Aluna.
"Hmm.. ke curug [Bahasa Indonesia: Air terjun]", jawab Dhimas.
Aluna menarik bibirnya senang.
"Senyum apa itu?", tanya Dhimas.
"Senyum excited", jawab Aluna.
Dhimas mendengus.
"Makin kesini kamu makin loss makin seru deh, Lun. Nggak nyangka kamu seasik ini", ungkap Dhimas.
Aluna tersenyum bangga, "Anak - anak kampus aja yang melewatkan kesempatan untuk tau betapa asiknya aku", balasnya jumawa.
"Sombong banget, Kusmini", ledek Dhimas.
"Suka - suka lah, Rukmin", balas Aluna.
"Permisi, dua nasi kuning komplit, dua air mineral, satu kopi dari mbaknya buat mas, dan.."
"Satu teh manis hangat dari masnya buat mbak", ujar Bu Penjual, Aluna dan Dhimas dengan kompak.
Mereka bertiga tertawa sambil saling mengucapkan terima kasih. Aluna dan Dhimas mulai memakan sarapan mereka hari itu, seperti biasa, selalu menyenangkan dengan obrolan dan candaan.
Mereka kembali melanjutkan perjalanan begitu selesai sarapan. Lagi - lagi Dhimas menarik tangan Aluna untuk memeluk pinggangnya dari belakang.
"Aku agak ngebut, pegangan yang erat", seru Dhimas.
"Iyaa", saut Aluna.
Dhimas melajukan motornya dengan kecepatan yang cukup tinggi agar bisa segera tiba di tujuan mereka. Sesampainya, Aluna bersorak senang melihat air terjun yang menakjubkan berada dihadapannya.
"Dhim, seru banget!", seru Aluna.
Dhimas tertawa mengikuti Aluna yang mulai mencelupkan kakinya ke dalam air.
"Ingat, nanti kita kuliah, jangan sampai basah ya", ujarnya.
"Oh iya, lupa", ucap Aluna sedih menatap air terjun di depannya.
Tring!
Dering pesan masuk di ponsel Aluna dan Dhimas masuk secara bersamaan. Keduanya membuka pesan di ponse masing - masing dan saling menatap penuh semangat.
"Kuliah hari ini dibatalkan", ujar keduanya.
Aluna dan Dhimas saling tersenyum dengan pikiran yang sama, sontak keduanya menyimpan tas mereka di tempat yang aman dan berlari masuk ke dalam sungai air terjun tersebut. Keduanya bermain air hingga baju mereka tidak ada yang kering. sesekali Dhimas menangkap Aluna yang hampir terpeleset karena terlalu bersemangat, begitupun Aluna yang sesekali menangkap Dhimas yang beberapa kali tersandung batu di dasar sungai. Keduanya tertawa dan bermain air dengan puas hari ini. Alam mendukung mereka dengan batalnya perkuliahan hari ini.
"Abis ini menggigil di jalan, nih", saut Aluna seraya mengunyah jagung bakar yang mereka beli.
Dhimas tertawa di tengah makannya. Ia beranjak untuk membuang bonggol jagung yang sudah habis ia makan. Ia meraih jaket tebalnya dan menutupi punggung Aluna.
"Sesekali nggak pake AC", balasnya.
"Iya, nggak pake AC, pakenya angin gelebuk berakhir masuk angin", ucap Aluna santai.
Dhimas tertawa, tangannya menarik tangan Aluna yang memegang jagung bakar dan menggigit jagung bakar milik Aluna yang masih separuh utuh. Dhimas tersenyum menatap Aluna yang juga menatapnya. Keduanya bertatapan dengan artian masing - masing, Dhimas menyeka pipilan jagung yang berada di dagu Aluna sebelum kembali menatap air terjun di hadapan mereka.
"Makasih sudah ajak aku kesini, menyenangkan sekali", ungkap Aluna.
"Aku juga senang, kita harus sering jalan - jalan", ucap Dhimas.
"Apa pacarmu tidak keberatan?", tanya Aluna hati - hati.
Dhimas hanya mengangkat bahunya.
"Dia tidak pernah menganggap serius ketika aku jalan dengan teman wanitaku, karena dia tau aku menyukainya", jawab Dhimas.
Sebersit rasa aneh muncul di dalam hati Aluna.
"Karena itu dia cuek?", tanya Aluna.
Dhimas mengangguk. "Ya, dia mengutamakan anaknya, karena itu aku seringkali merasa tidak punya pacar, karena memang dia tidak memperhatikanku", jawab Dhimas.
"Kenapa tidak mengajaknya dan anaknya jalan - jalan, ke taman hiburan misalnya", usul Aluna.
"Kita saja yang ke sana, aku sudah lelah mengajak mereka dan tidak ada yang mau", ucap Dhimas.
Aluna terdiam, apakah pacar Dhimas secuek itu? Walaupun memiliki anak tetapi bukankah perhatian dalam hubungan itu penting? pikir Aluna.
"Sudah, jangan dipikirkan. Kita bersenang - senang saja, dan cepat habiskan jagung bakar kamu sebelum aku rebut itu", saut Dhimas sambil kembali menggigit jagung bakar Aluna.
"Dhiiim, kamu gigit gede banget, jadinya tinggal dikit ini", protes Aluna.
Dhimas tidak menghiraukan dan malah mengambil jagung bakar milik Aluna lalu memakannya habis. Aluna memukul bahu Dhimas kesal, Dhimas tertawa sambil mengunyah, tangannya merangkul bahu Aluna untuk meredakan marah wanita disampingnya yang menatap seolah - olah ingin menerkam.
"Dingin ya, aku jadi merinding", saut Dhimas mengalihkan rasa takutnya karena ditatap oleh Aluna.
Dhimas menyedot minuman dalam kotak yang akan diminum oleh Aluna.
"Ahh.. kenyang", desah Dhimas.
"Dhimas Setya, setelah ini hidupmu akan terancam", desis Aluna kesal.
Dhimas tak kuasa menahan tawa dan mengacak - acak rambut Aluna dengan gemas.
"Tidak ada yang lebih memuaskan dari ekspresi kesal kamu ketika aku merebut makananmu", ujar Dhimas pada Aluna yang masih menatapnya tajam.
"Canda, Lun", ucap Dhimas sambil merapikan kembali rambut Aluna yang kusut dibuatnya.
Akhirnya Aluna mendengus dan meminum minumannya. Mereka kembali menikmati pemandangan indah tersebut sebelum kembali melanjutkan perjalanan mereka. Semuanya kembali dengan senyuman terpatri di wajah masing - masing. Buku lagunya, satu - satunya yang Aluna pikirkan ketika tiba di rumah. Ia memiliki banyak kosakata di dalam kepalanya saat ini, ia harus menulis!
*****