Aluna termenung menatap langit - langit kamarnya sambil berbaring di atas ranjang, ia baru saja bangun dari tidur lelapnya dan tersenyum ditengah lamunannya, ia mengingat moment dimana dirinya dan Dhimas. Ia menghembuskan nafas dari mulutnya dengan lembut untuk meredakan debar jantungnya yang berdetak kencang, kedua tangannya menangkup dadanya untuk menahan suara detak jantungnya yang terdengar memekakkan telinga.
"Aluna, ingat.. dia sudah punya pacar dan tidak seharusnya kamu menyukai seseorang yang sudah memiliki pacar", gumamnya mengingatkan dirinya sendiri.
Karena kamu beda, Lun
Aluna mendesis salah tingkah ketika kembali mengingat perkataan Dhimas kemarin. Obrolan mereka kemarin sangat panjang dan semua yang dilontarkan Dhimas begitu baik dan membuat dirinya sangat nyaman.
"Ternyata di dunia ini masih ada orang sebaik Dhimas yang tidak memandang fisik untuk berteman, padahal penampilan dia sekeren itu", gumamnya lagi.
Lamunan Aluna terhenti akibat suara alarm yang berdering kencang untuk membangunkannya.
Ia tersenyum sambil menatap remeh alarmnya, kali ini ia bangun lebih dulu dari alarm pengganggu ini. Ia menjulurkan lidahnya.
"Kali ini kau kalah, alarm berisik! Aku bangun 30 menit lebih awal dari pada kamu, weeek", ledeknya sambil mengembalikan jamnya ke atas nakas.
Tring!
Suara dering chat mengalihkan perhatian Aluna pada ponselnya. Ia segera menggapai ponselnya dan pupilnya membesar melihat nama pengirim pesan tersebut.
Dhimas: Selamat pagi, Aluna.
Hari ini aku jemput jam 7.30 ya, kita berangkat ke kampus sama - sama
Aluna mengulum bibirnya menahan rasa senang di hati yang membuncah.
Aluna: Selamat pagi, Dhim.
Ok, see you!
Sent!
Aluna tersenyum dan bangkit untuk duduk. Ia tidak pernah sesemangat ini saat mau pergi ke kampus, tapi hari ini beda. Ia sangat bersemangat!
Aluna beranjak dari tempat tidur dan membuka lemari pakaian miliknya. Ia memilih pakaian mana yang harus ia kenakan untuk kuliah hari ini. Pilihannya jatuh pada atasan berwarna putih dengan lengan panjang berbahan kaus dan dipadukan dengan celana denim berwarna biru langit, kemudian ia memilih sepatu sneakers untuk melindungi kakinya. Ia percaya sepatu yang bagus akan membawanya ke tempat yang baik, maka dari itu ia memilih sepatu berwarna putih, ia ingin hari ini dipenuhi dengan kesenangan untuknya.
Setelahnya, ia bersenandung menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuh sebelum pergi kuliah.
Ia tersenyum menatap pantulan dirinya di cermin, ia memang gemuk dan wajahnya bisa dibilang wajahnya sangat biasa, tidak masuk ke dalam kategori cantik, tapi ia suka melihat dirinya yang tampak tidak berantakan. Karena tampilan berantakan hanya akan membuat teman - teman di kampusnya semakin mem-bully Aluna.
Ia melirik jam dari pantulan cermin menunjukan pukul tujuh pagi. tiga puluh menit lagi Dhimas akan menjemputnya, ia memutuskan untuk mengecek kembali diktat dan binder catatan kuliah miliknya. Setelah yakin ia memakai sepatu dan mengaitkan tali tas ke bahu kanannya lalu melirik cermin sebentar untuk memastikan penampilannya tampak baik hari ini. Ia tersenyum puas dan turun dari kamarnya untuk sarapan.
"Aduh, anak Papa udah cantik aja nih pagi - pagi", goda Papanya, Rendy.
Aluna tersenyum malu merespons pujian yang sedikit menyindir itu.
"Biasanya kalau cantik begini ada yang mau jemput, Pa", saut Mitha.
"Oh ya? Siapa? Teman kamu yang kemarin nyulik anak papa sampai - sampai gak mau ikut jalan - jalan ke kebun teh itu?", tanya Rendy.
"Kaak", desis Aluna menahan rasa malu.
"Iya, Pa. Dhimas ngajak berangkat kuliah bareng soalnya pagi ini jadwal mata kuliah kelas kami bersamaan", ungkap Aluna.
"Lho? Memangnya dia beda kelas?", tanya Mama Aluna, Nanda.
"Beda, Ma. Aluna Public Relations 1, kalau Dhimas Public Relations 2. Kebetulan dosen hari ini tidak bisa ngajar di jam kuliah ke dua, jadi yang PR 2 dimajukan dan digabung sama kelas Aluna. Karena itu dia ngajak berangkat bareng", jawab Aluna berusaha menjelaskan dengan intonasi sedatar - datarnya agar tidak terlihat kalau dia senang akan hal itu.
Semua orang mengangguk sambil bergumam paham dengan cerita Aluna.
"Tapi, Lun.. Kalau kelasnya digabung semua harusnya dia jemput semua dong, masa jemput kamu aja sih?", goda Nanda.
Aluna menahan malu dan sedikit memicingkan matanya.
"Mamaa...", gumamnya.
Sontak semua yang berada di meja makan pagi itu tertawa karena wajah Aluna tampak memerah malu.
"Kalau Papa, yang penting dia baik dan bisa membuat kamu nyaman. Tapi ingat, tetap jaga harkat dan martabat sebagai seorang wanita ya, sayang. Sekarang banyak laki - laki yang berkedok demi mendapatkan hal yang mereka inginkan", ucap Rendy dengan bijak.
Aluna mengangguk paham.
"Tentu, Pa. Aluna juga tidak berniat menjalin hubungan lebih dari teman dengan Dhimas", jawab Aluna sambil tersenyum, ada sesuatu yang mencubit di ujung hatinya.
Mitha mengernyit. "Kenapa, Dek?", tanyanya.
Aluna menatap kakaknya dan tersenyum. "Aluna rasa dekat bukan berarti emiliki hubungan spesial kan? Kami teman satu kampus, satu jurusan, kebetulan kemarin kami berkenalan karena Luna diminta dosen untuk mengkoordinir pembagian kelompok untuk mata kuliah Komunikasi Bisnis dan Periklanan. Karena waktunya sudah hampir pada batas waktu yang diberikan dosen dan dari semua mahasiswa di grup chat hanya dia yang tidak mengumpulkan kelompok. Aku pikir dia tidak membaca grup karena pesannya tertimpa obrolan yang lain, akhirnya aku mengirim pesan secara pribadi untuk bertanya. Ternyata dia tidak ikut mata kuliah tersebut karena IP semester sebelumnya yang tidak bisa mengambil SKS lebih semester ini", jelas Aluna.
"Lalu kenapa kalian tidak bisa dekat?", tanya Rendy.
Aluna mengangkat bahunya dengan santai. "Tidak semua cerita berakhir seperti dongeng kan, Pa? Kalau memang ceritanya seperti itu rasanya tidak masuk akal. Kami hanya teman dan kebetulan cocok secara pikiran, kemudian Luna juga tidak memiliki banyak teman di kampus, jadi Luna senang ada yang mau berteman dengan Aluna di kampus", jawab Aluna dengan sopan.
Semuanya mengangguk paham dan Aluna tersenyum manis. "Jadi, mohon untuk jangan salah paham ya, Pa, Ma, Kak Mitha. Kalau semuanya salah paham nanti Aluna bisa ikut salah paham, padahal kami hanya teman hehehe", ucap Aluna.
Renndy, Nanda dan Mitha mengangguk.
"Papa senang kamu punya teman baru, kapan - kapan ajak masuk ya, kita ajak makan malam bareng", ucap Rendy.
"Siap, Pa", ucap Aluna.
Mereka kembali melanjutkan aktifitas sarapan mereka yang sempat tertunda. Ya, Aluna tidak ingin membiarkan perasaannya tumbuh begitu saja untuk Dhimas. Ia harus bisa tegas dan membedakan mana yang teman dan mana yang bukan. Dhimas memiliki pacar, tidak mungkin Aluna menyukainya lebih dari teman. Karena itu, ia harus bersikap sejak awal dan tidak mengambil langkah yang salah sebelum semuanya terlambat.
*****
"Udah sarapan?", tanya Dhimas.
"Sudah kok, Dhim. Kamu sudah?", tanya Aluna yang menatap jalan raya di depannya.
"Aku belum, kamu mau temani aku sarapan sebentar?", tanya Dhimas.
Aluna menoleh dan menatapnya heran.
"Kok belum sarapan? Bukan kah kamu bangun pagi? Kenapa tidak sarapan di rumah?", tanya Aluna penasaran.
Dhimas terkekeh, "Aku terlalu bersemangat berangkat kuliah sampai lupa sarapan", jawab Dhimas.
Aluna ikut terkekeh mendengar kecerobohan Dhimas.
"Berangkat kuliah bisa semenyenangkan itu, ya?", sautnya.
Dhimas tertawa semakin keras. "Biasanya kuliah itu membosankan menurutku, tapi belakangan ini aku bersemangat karena akan ketemu kamu di kampus", jawab Dhimas tanpa menghilangkan senyum di wajahnya.
Aluna terpaku menatap wajah tampan serta ucapan Dhimas yang tak pernah ia duga.
Aluna, jangan kelewat batas! Pikirnya untuk mengingatkan hatinya yang berhubungan dengan detak jantung yang degupnya sangat mengganggu perasaannya.
"Bisa aja kamu, ya sudah, ayo kita cari sarapan. Aku temani beli minum sambil nunggu", ucap Aluna.
Dhimas tersenyum, "Maaf kalau kamu kaget, karena aku anaknya spontan dan selalu mengeluarkan apa yang ada di dalam pikiranku begitu saja. Jangan hiraukan ucapanku tadi kalau itu membuatmu tidak nyaman ya, Lun", ucap Dhimas.
Aluna terkekeh. "Tenang Dhim, aku paham kok. Aku juga senang ketemu kamu, kamu temanku satu - satunya di kampus. Jadi aku sangat senang kamu bisa nyaman berteman denganku", ungkap Aluna dengan tulus.
Dhimas tersenyum lembut dan tangannya bergerak untuk mengacak - acak rambut Aluna.
"Dhiiim, masih pagi nanti sampai kampus berantakan rambutku!", rengek Aluna.
Dhimas tertawa kencang, ia menikmati menggoda Aluna seperti ini.
"Kamu menggemaskan sekali sih, Lun. Aku berasa punya adik jadinya", ucap Dhimas.
Aluna hanya memanyunkan bibirnya dan melirik Dhimas sebal. Ia menurunkan sun protector di hadapannya dan merapikan rambutnya dari akca kecil yang terpasang disana.
"Cantik kok, Lun. Udah deh, jangan bikin aku fokus liat kamu rapikan rambut, dong", ujar Dhimas.
Aluna mendesis. "Makanya kamu jangan jahil dulu dong, di kampus kan aku banyak yang bully, kalau penampilanku berantakan nanti makin di -bully, Dhim", balas Aluna.
"Aku rasa kamu harus melawan mereka, Lun", ucap Dhimas.
Aluna tertawa dengan nada sarkas, "Kau bercanda? Kamu yakin aku akan pulang dengan selamat kalau aku melawan mereka?", tanya Aluna.
"Setidaknya jangan terlalu tertindas, aku tidak suka melihat mereka menjahati kamu seperti itu, dan kamu melarangku untuk ikut campur masalahmu di kampus", ujar Dhimas.
Aluna terdiam sesaat. "Karena kalau mereka tau kamu berteman denganku, riwayatku semakin tamat nanti. Udah di bully karena badan, lalu wajah, masa harus ditambah dengan aku berteman sama kamu", balas Aluna.
Dhimas kembali terdiam, ia seperti tidak terima dengan pendapat Aluna.
"Menurutku, tidak ada yang bisa mengatur kamu dan aku untuk berteman dengan siapa, terutama para pem-bully itu, mereka tidak punya hak apapun untuk menjahati kamu dan kamu pun punya hak untuk melawan semua yang berlaku tidak baik denganmu", ucap Dhimas.
Ia meraih tangan Aluna untuk digenggam, sementara Aluna kaget dengan sikap spontan Dhimas yang lagi - lagi membuatnya menahan nafas.
"Semangat, Lun. Aku ada dibelakangmu, jangan takut", ucap Dhimas.
Perlahan senyum terbit dari bibir Aluna dan menatap Dhimas dengan rasa terima kasih. Dhimas juga membalas senyuman Aluna dengan sangat manis.
"Terima kasih, Dhim. Kamu benar - benar baik", ungkap Aluna.
Dhimas meresponsnya dengan melebarkan senyumnya.
"Nah itu ada bubur ayam, kita sarapan disitu boleh?", tanya Dhimas.
Aluna mengangguk. "Boleh, dimana saja aku ok", jawab Aluna.
Dhimas menepikan mobilnya dan melepas sabuk pengamannya.
"Kamu tunggu sini aja ya, aku pesan dan makan di mobil", ucapnya.
Aluna mengangguk, "Ok", jawabnya.
Dhimas keluar dari mobil dan seketika Aluna menghela nafasnya.
"Capek juga nahan nafas dari tadi, fiuhh", gumamnya.
Tak berselang lama Dhimas datang membawa dua mangkuk bubur dan dua gelas air mineral, Aluna mengernyit menatap Dhimas.
"Kamu makan dua mangkuk?", tanyanya polos.
Dhimas menggeleng dan menyerahkan salah satu mangkuk pada Aluna,
"Kamu juga harus makan temani aku", jawabnya tanpa bersalah.
Aluna melebarkan matanya, "Dhim, aku udah sarapan", ucapnya.
Dhimas terkekeh, "Udah makan aja, aku gak suka makan sendiri sebenarnya, aku harus selalu ditemani", ucap Dhimas.
Aluna menangkap sirat kesedihan di mata Dhimas yang dalam sekejap hilang. Apakah pria itu memiliki kesedihan yang terpendam? Entahlah, Aluna tidak mau terlalu mengurusi persoalan pribadi yang tidak mau dibagi dengannya.
"Kamu tuh, yaudah aku makan. Sayang soa.."
"Iya, sayang?", sela Dhimas.
Aluna menatapnya lemas, "Dhim, yang sayang buburnya, bukan kamu", balas Aluna.
Dhimas kembali terkekeh. Ia menatap buburnya dan mengernyit.
"Kenapa?", tanya Aluna yang baru saja ingin menyendok buburnya.
Dhimas menatap Aluna dan mengambil mangkuk dari tangannya. Pria itu memilah kacang kedelai yang berada di buburnya dan dipindahkannya ke dalam mangkuk Aluna.
"Aku nggak suka kacang kedelai sejak kecil, tadi aku udah bilang bapaknya, tapi kayaknya lupa karena banyak yang pesan. Kacang ini buat kamu aja ya, Lun", ucapnya dengan serius memisahkan kacang kedelai yang tertutupi dengan topping bubur lainnya.
Aluna hanya bisa terdiam melihat sisi Dhimas yang tampak seperti anak kecil tapi mempesona disaat bersamaan. Dhimas kembali memberikan mangkuk Aluna dan tersenyum.
"Udah, yuk makan", ajaknya sambil menyuap bubur dengan lahap.
Aluna mengangguk dan ikut memakan buburnya. Sesekali mereka bercanda di sela sarapan tersebut dan tertawa sebelum menghabiskan bubur mereka. Aluna tak henti - hentinya tertawa karena sikap Dhimas yang konyol dan membuatnya sangat terhibur.
Aluna berpikir, seperti ini saja sudah cukup untuknya dan Dhimas. Ia tidak ingin lebih, ia ingin berteman dengan Dhimas dalam waktu yang lama, ia akan menjaga Dhimas sebagai teman. janjinya dalam hati.
*****