Bab 10. Mengaung

1247 Kata
Celine meringis. Dengan ragu ia mengambil ponselnya dan mendekatkan benda itu ke telinganya. “Tuan.” “Iya. Apa yang kamu bicarakan dengan anak saya?” “Gak ada, Tuan.” “Gak ada? Yang kamu bilang tadi? Yang galak seperti macan itu siapa?” “E ... Itu ....” Celine berpikir dengan keras. “Itu saya,Tuan.” “Kamu galak seperti macan?” “Iya, Tuan.” “Babysitter galak nggak boleh mengasuh anak saya. Takut anak saya jadi korban kekerasan.” “Bukan, bukan, Tuan. Bukan seperti itu.” “Lalu?” “Maaf, Tuan. Celine hanya bercanda. Saya gak bermaksud apa-apa.” “Jangan kotori pikiran anak saya dengan yang tidak-tidak.” “iya, Tuan. Saya minta maaf.” Denim mulai merebut ponsel yang Celine pegang. Hingga akhirnya gadis itu mengalah, memberikannya benda pintar itu dengan mengubahnya menjadi video call dan mengarahkan kamera depannya. Kini wajah Denim yang dipangkunya masuk ke dalam kamera. “Papa, papa,” ucap lelaki kecil itu. “Papa, waung,” ucap Denim menirukan babysitternya tadi. Celine meringis. Ia lupa tentang bercandanya tadi. Otak anak kecil itu bersih, kita yang berkewajiban mengisinya dengan hal yang baik. “Bukan, Dek, papa bukan macan.” Gadis itu menggaruk kepalanya yang tak gatal. Tidak berani menatap kamera yang menampakkan wajah tuannya. “Waung, waung,” ucap Denim sambil menunjuk ponsel tersebut. “Celine.” Panggilan menyebut namanya itu memaksa gadis tersebut memegang ponsel. Dilihatnya kamera yang menampakkan wajah tuannya. Cambang tipis dengan sorot mata tajam. “Iya, Tuan. Saya di sini.” “Sebentar lagi Baskoro tiba, dia bersama asisten rumah tangga baru. Tunjukin saja apa yang harus ia kerjakan. Kamu tak lagi bertugas membersihkan rumah. Hanya mengurus Denim saja.” “Baik, Tuan.” Celine menghela nafas panjang. Untung saja tuannya tidak lagi marah tentang macan tadi. “Maaf, Tuan, apa ada yang mau disampaikan lagi?” tanya gadis itu. Sebrang sana tidak ada suara, melainkan hanya saling menatap. “Tidak, tidak, sudah cukup.” “Maaf, Tuan. Celine yang bertanya. Apa Tuan sudah makan bekalnya? Celine tidak tahu, Tuan doyan apa tidak. Tapi ... Semoga saja tuan suka.” “Asal tidak ikan asin saya doyan.” “Syukurlah. Ya sudah, selamat bekerja ya, Tuan. Jaga kondisinya, jangan terlalu kecapekan.” “Iya.” “Kalau bosnya galak dan marah-marah dilawan saja ya, Tuan. Jangan gentar.” “Celine, saya ini bosnya!” “Eh, maaf, Tuan. Saya pikir tuan bukan bosnya. Kenapa setiap hari Tuan takut terlambat kalau jadi bos.” “Celine.” “Iya, Tuan, maaf. Selamat beraktifitas.” “Iya, kamu juga.” Celine tersenyum kecil mengakhiri panggilan bergambar itu. Aksara menyandarkan punggungnya ke kursi. Ia tersenyum tipis. Panggilan yang baru ditutup itu seakan menjadi semangat baru untuknya. Rasanya, seperti habis melakukan panggilan dengan kekasih. “Tidak, tidak, tidak, ini bukan cinta. Saya hanya bahagia anak saya terurus. Itu saja,” ucap Aksara yang terus mengelak dengan hatinya. *** Celine membuka pintu besar rumah tuannya, dilihatnya orang yang datang. Baskoro dan wanita paruh baya. Ada satu tas jinjing besar yang diletakkan di atas lantai. “Celine, ini Mbok Atun. Nantinya akan menjadi teman bekerja kamu di rumah Tuan aksara.” “Iya, Pak Baskoro.” Gadis itu menjabat tangan wanita paruh baya tersebut, mencium punggung tangannya dan membawakan tas jinjing itu untuk masuk. Dahi Baskoro mengernyit, ia menatap heran dengan babysitter kesayangan majikannya itu. “Celine, Mbok Inah itu kedudukannya sama denganmu.” “Iya, Pak. Apa ada yang salah?” tanya gadis itu kebingungan. “Kamu gak harus cium tangan atau membawakan tasnya mbok Atun seperti tadi. Kamu di sini itu senior.” Celine meringis, “ Kan mesti hormat sama yang lebih tua, Pak. Masa iya Celine enggak ngebantu. Kasihan.” Baskoro menggeleng, “Terserah kamu saja.” “Pak Baskoro mau ke mana?” tanya gadis itu ketika melihat ajudan tuannya kembali melangkah pergi. “Saya mau balik kantor.” “Boleh nitip sesuatu untuk Tuan?” “Apa?” Celine tersenyum, “Tunggu sebentar.” Ia melangkahkan kaki menuju dapur dan kembali dengan dua buah tumbler. “Ini untuk Tuan dan untuk Pak Baskoro.” “Saya juga dapat?” “Iya, Pak.” “Ini apa?” “Wedang jahe. Untuk menghangatkan tubuh.” “Celine, ini itu musim panas.” “Iya, Pak. Tapi, sebentar lagi masuk musim penghujan. Selain itu bapak dan Tuan kan bekerja di bawah AC. Dingin, Pak.” Baskoro menggeleng. Ia mengucapkan terima kasih dan berlalu. *** “Ini apa?” tanya Aksara ketika supirnya memberikan tumbler dari Celine. “Wedang jahe.” Dahi aksara mengernyit. “Dari Celine. Katanya pak Aksara kerja di bawah AC. Kedinginan. Kasihan.” Lelaki yang dipanggil pak itu tersenyum, “Gadis itu memang aneh.” “Iya, Celine itu beda.” “Bener, Bas. Celine itu beda.” Aksara tersenyum. Sepertinya ia sedang membayangkan gadis yang dibicarakan tersebut. “Celine itu baik.” “Betul.” “Celine itu cantik.” “Bener.” Baskoro tersenyum, membuat Aksara tersadar dengan kalimatnya. “Maksud saya bukan seperti itu,” ucap Aksara tidak terima. “Bapak jatuh hati kepada Celine?” “Itu tidak mungkin.” “Beberapa hari ini saya lihat bapak terus tersenyum. Bapak juga belanja bulanan dengan Celine.” “Saya belanja bulanan itu sudah dari dulu.” “Iya. Dulunya sendiri. Tapi, sejak kapan, bapak berkenan belanja ditemani orang lain?” Aksara mengibaskan tangannya, “Jangan berpikiran aneh-aneh. Celine itu masih muda.” “Perasaan tidak memandang usia, Pak. Bapak juga belum tua.” Aksara terdiam. “Celine juga terlihat begitu sayang Tuan Denim. Bapak mau menunggu apalagi?” “Saya tidak siap menduakan istri saya.” “Bapak nggak boleh egois dengan merenggut hak Tuan Denim. Ia juga butuh sosok ibu.” “Itu sudah saya fikirkan. Saya harap kamu tak ikut campur masalah ini." “Baik, Pak. Maaf.” Baskoro mulai meninggalkan ruangan. Di mana Aksara justru terus diliputi beban pikiran. Bagaimana pun ia juga masih lelaki dewasa normal yang punya kebutuhan biologis. Ia tak tahu sampai kapan bisa menahannya dan justru bisa berbuat nekat di rumahnya. Apalagi di rumah besar itu tak ada orang selain kehadiran Denim. Jika setan telah meggodanya, justru musibahlah yang akan terjadi. Aksara tak ingin merusak babysitter kesayangannya itu. “Celine, pelet apa yang kamu berikan kepada saya, ha? Kenapa kamu selalu masuk dalam pikiran saya? Atau, semua pelet itu kamu masukkan kedalam kotak makan saya ha?” tanya lelaki itu sambil memegang kepalanya. *** “Tuan sudah pulang,” ucap Celine yang memang sudah menunggu tuannya pulang kerja. Ia membawa tas kerja Aksara dan membawakan jasnya. Selanjutnya gadis itu mengekori tuannya menuju kamar, hingga langkah kakinya terhenti di depan pintu yang membuka. “Kenapa berhenti?” tanya Aksara bingung. “Saya sudah sampai batas larangan, Tuan. Saya tidak berani masuk.” “Untuk kali ini masuklah!” “Celine, Tuan?” “Iya. Siapa lagi? Gantung kemeja saya di almari dan letakkan tas kerja saya di atas meja.” “Baik, Tuan.” Dengan ragu, ia menurut. Menundukkan pandangan dan berjalan menjalankan tugas. Ia tak ingin dianggap tak sopan jika mengamati setiap inci ruangan yang begitu mewah di mata Celine. “Mau ke mana kamu?” tanya Aksara ketika langkah kaki Celine mulai menuju ke pintu kamar. “Tugas saya sudah selesai, Tuan.” “Duduklah di sana,” ucap Aksara sambil menunjuk ranjang kamarnya. “Apa, Tuan?” tanya Celine dengan darah yang berdesir kencang. Nafasnya kini tersengal, tidak beraturan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN