Barisan panjang pelayan dan beberapa orang berseragam petugas pelabuhan mengitari karpet merah panjang yang tidak terlihat. Sebuah kapal merapat. Anak buah kapal melepaskan jangkar, melempar tali tambang ke dek pelabuhan yang segera disambut buruh pelabuhan di bawah. Tali itu segera dililitkan ke beton besar untuk menahan kapal agar tidak terbawa ombak ke tengah lagi. Instrumen khusus dibunyikan, perpaduan alunan terompet dan drum yang begitu bersemangat. Sepuluh orang itu membungkuk semakin dalam ketika tangga kapal diturunkan dan seorang lelaki berpakaian serba putih berdiri di atas sana. Dia menuruni tangga dengan cepat, tanpa melambai-lambaikan tangan layaknya tuan muda yang tiba. Sebuah mobil sedan hitam mengkilap sudah bersiap di ujung karpet merah. Pria berambut abu dengan kulitnya yang keriput, menunggu di depan pintu mobil kemudian membukanya ketika tuan muda itu tiba.
“Silakan, tuan Hansen.”
Hansen mengangguk, lalu menepuk pelan pundak sopirnya. Dia duduk di jok belakang kemudian pintu ditutup. Mobil sedan hitam itu melaju.
“Langsung ke pesanggrahan, Tuan Hansen?” tanya sopirnya.
“Ya.” Dia menurunkan kaca jendelanya, mengeluarkan tangan kirinya sambil menengadah ke langit, merasakan angin berembus melewati tangannya dengan lembut.
Mobil itu melaju pelan, menembus lautan buruh pelabuhan yang sibuk bongkar muat kapal. Hansen mengamati pemandangan itu dengan seksama. Dia tahu pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya ini adalah salah satu yang teramai di Hindia Belanda. Surabaya adalah kota metropolis penting yang menjadi pusat ekonomi dan perdagangan di Hindia Belanda. Ada banyak pabrik Belanda yang dibangun di kota ini. Seluruh hasil ladang dari karesidenan juga dikumpulkan di kota ini. Semua itu kemudian bermuara di Tanjung Perak. Tempat ini adalah pintu penting keluar masuk uang di mata para pebisnis.
Siang itu, Tanjung Perak cukup padat. Setidaknya ada tiga kapal barang besar yang sudah bersandar sebelum dia mendarat. Puluhan buruh kasar pelabuhan masih bolak-balik mengangkut kotak-kotak besar dari kapal ke gudang penyimpanan. Satu mandor mengawasi dan mencatat setiap kotak yang masuk dan dibongkar. Hansen dapat mencium keringat dan peluh mereka saat mobilnya melintasi kerumunan itu. Dia melihat wajah lusuh mereka, pakaian kotor yang basah oleh keringat dan debu, dan tatapan lelah para buruh itu. Cepat-cepat dia naikkan kembali kaca jendelanya dan memutus kontak mata. Tarikan napas panjang beberapa kali terpaksa ia lakukan hingga membuat sopirnya melirik penasaran.
“Aku tidak apa-apa,” tegas Hansen cepat-cepat.
“Perjalanan ke pesanggrahan butuh waktu sedikit lama, Tuan. Anda tidak ingin beristirahat dulu setelah perjalanan panjang?”
“Kita langsung saja. Vader sudah menunggu,” jawab Hans.
Mobil itu belum keluar dari pelabuhan, ada antrian panjang di palang pintu keluar hingga mereka terhenti cukup lama. Hansen membuka kaca jendelanya lagi, kepalanya melongok keluar, mencari ujung antrian yang semakin mengular. Napasnya meluncur berat saat palang pintu saja belum berhasil ia temukan. Masih terlalu jauh dan mobil tidak bergerak sama sekali.
“Kenapa lama sekali?”
“Ini sudah biasa terjadi, Tuan. Pemeriksaan ketat di pintu keluar karena sering kejadian pencurian barang bongkar muat.”
Hansen ingin mengumpat, tapi deretan kata-kata itu tertahan di ujung lidahnya. Kepalannya bergetar ditambah suhu panas yang semakin menjadi-jadi. Dia buka semua kancing jas putihnya, bahkan dua kancing paling atas kemeja putihnya. Mengapa angin ikut berhenti saat ia sangat membutuhkan tiupannya? Suhu panas ini semakin memancing emosinya lebih cepat.
“Tidak bisakah kita meminta pengecualian? Bilang saja nama Leon Brijwick seharusnya mereka tahu!” omelnya.
Sang sopir mengangguk. Dia keluar dari barisan mobil untuk mencari jalan pintas. Di depan, seorang penjaga pelabuhan mengadangnya. Hansen mendengar percakapan mereka. Sopirnya sudah meminta izin khusus karena perjalanan darurat atas nama Leon Brijwick, tapi itu tidak berpengaruh apapun.
Hansen keluar dari mobil dan membanting pintu. Dia sisir rambutnya ke belakang dengan jemarinya. Rambut coklat gelapnya yang lurus dan lebat itu kembali ke tempatnya. Hansen mendatangi petugas pelabuhan berkulit putih yang duduk di dalam pos. Berbicara dengan bawahan tidak menyelesaikan apapun, apalagi bila hanya seorang sopir. Hansen berbicara bahasa belanda dengan lantang, cepat dan sangat fasih kepada petugas itu. Mata birunya melebar dan menajam dengan tegas. Dia gebrak meja beberapa kali untuk memberi penekanan.
“Kita jalan sekarang!” pinta Hansen setelah kembali ke jok mobilnya. Palang pintu diangkat, jalan khusus dibuka untuknya. Mereka keluar dari pelabuhan bahkan tanpa mengantre dan pemeriksaan.
“Bagaimana cara Tuan melakukannya?” tanya sopirnya hati-hati. Wajahnya nampak kagum dengan keberhasilan hansen. Kekaguman yang tulus. Mereka berkontak mata lewat spion tengah.
“Pabrik kita sudah terlalu sering memberi mereka upeti dengan jumlah berlipat ganda. Aku hanya mengingatkan itu dan ehm… sedikit akting mengancam.” Hansen sangat bangga dengan dirinya.
Senyum lebar dan tatapan takjub ia terima dari sopirnya dan anehnya dia merasa begitu bahagia dengan alasan sesederhana ini.
----------------------
Jalanan Surabaya nyaris tidak berbeda dengan Batavia yang ramai, meski belum sepadat Batavia. Hansen menyaksikan jalanan yang lebar semenjak ia keluar dari Tanjung Perak hingga ke pusat metropolitan. Sungai Kalimas yang sangat terkenal itu, kini membentang panjang di depan matanya. Perahu-perahu yang transit di hulu kalimas, menepi untuk bongkar muat atau sekedar beristirahat, cukup padat. Hansen melihat rupa-rupa kapal barang berukuran sedang hingga perahu nelayan yang berjuang mencari celah untuk melintas dengan aman. Surabaya dengan kesibukan pelabuhannya ini, benar-benar membuatnya pantas menjadi kota besar kedua di Hindia Belanda.
Sedan hitam itu berbelok ke jalanan yang lebih sempit meninggalkan sungai kalimas. Masuk ke gang-gang pertokoan yang ramai. Hans menutup kaca jendelanya saat ia menyadari mereka berada di kampung pecinan. Toko-toko di pinggiran jalan itu dikuasai keturunan Tionghoa. Beberapa kali ia melihat orang-orang Arab berlalu lalang dengan pakaian khas mereka. Mudah sekali untuk membedakan orang-orang itu karena Hansen bisa melihatnya hanya dari pakaian.
Akhirnya mereka keluar dari gang itu, menuju jalan besar yang tiga kali lipat lebih lebar. Hansen masih menutup kaca jendelanya, tapi dia memandang penuh takjub kepadatan jalanan Surabaya yang dipenuhi kendaraan-kendaraan selayaknya di Batavia. Trem yang penuh, becak yang lalu lalang dan mobil-mobil milik kalangan atas Belanda yang membelah jalanan lebar diantara riuhnya toko-toko di kanan kiri jalan. Diantara semua kendaraan yang seakan semrawut itu, perhatian Hansen tertahan pada deretan mobil-mobil keluaran eropa yang sedang parkir di depan bangunan-bangunan putih berarsitektur Belanda.
“Aku suka kota ini! Mereka pasti kalangan bangsawan Belanda yang menguasai kota!” celetuk Hansen penuh semangat. Bergegas ia membuka kaca jendelanya untuk mendapatkan penglihatan yang lebih jernih pada mobil-mobil mewah mengkilap itu.
“Anda ingin mampir ke restoran itu, Tuan?” tawar sopirnya.
“Tidak, tidak!” Hansen menggeleng cepat. “Aku bisa berkunjung lain waktu.”
Dia jelas penuh semangat. Seakan ada gairah yang sedang menggelora di dadanya. Dia meminta sang sopir mempercepat laju. Jalanan ini cukup luas, meski ramai namun tidak terlalu padat sehingga akan sangat disayangkan bila tidak berkendara dengan cepat.
--------------------------
Sementara itu..
Matahari mulai berpamitan dengan semburat oranyenya yang makin menggelap. Ribuan buruh menyembur keluar sesaat setelah gerbang pabrik dibuka. Mereka bergerombol dengan kelompok masing-masing. Saling berbincang, bergurau, melepas lelah dan penat setelah sehari penuh bekerja dengan mesin-mesin besar yang bising dan panas. Wajah-wajah lelah, yang berkilau karena peluh itu tertawa sangat lepas. Mungkin karena hari ini mereka merayakan panen raya, mungkin juga karena memang bahagia dengan pekerjaan mereka, atau mungkin itu hanya sebuah topeng untuk menyembunyikan lelah raga dan jiwa mereka.
“Mas Langit!”
Panggilan itu menghentikan kaki Langit yang hendak mengongkel sepedanya. Dia mencari sumber suaranya, “kenapa, Ran?”
“Pulang barengan ya, Mas?” ajak Ranu dengan senyum cerah.
“Berangkat!”
Setelah gerbang agak sepi, dan semua orang meninggalkan pabrik, Langit mengayuh onthelnya bersama Ranu. Rumah mereka masih satu kampung, meski tidak terlalu berdekatan. Arahnya pun sebenarnya sangat bertolak, tapi Ranu selalu suka melakukannya, pulang dengan Langit membuatnya mampu melupakan beratnya hari ini.
-----------------------------
Hansen tertidur sangat pulas ketika tiba-tiba kepalanya membentur bingkai jendela sedannya karena jalan berlubang. Mobil itu kocak. Rasanya seperti sedang dikoyak. Pantatnya terbang dari jok, kepalanya nyaris membentur langit-langit sedan dan kepalanya mendadak pusing karena terbangun dari tidurnya tanpa melalui tahapan yang benar.
“Pelan-pelan, Pak!” teriak Hansen melengking. Matanya masih terpejam, tangannya melindungi kepalanya, setengah menekan yang terbentur, setengahnya lagi untuk berjaga-jaga sebelum terbentur untuk ketiga kalinya.
Sopirnya menekan pedal rem lebih dalam lagi, mobil melambat, dan getaran di dalam sedikit berkurang. Hansen membuka matanya. Sipit, bersiap diserang cahaya yang silau, tapi, tidak ada. Dia membuka lebar matanya ketika hanya ada hitam legam di seluruh sisi mobilnya melaju. “Sudah malam?” tanyanya kaget.
“Iya, Tuan. Kita sudah di Mojokerto, pesanggarahan masih setengah jam lagi.”
“Berhenti dulu, Pak. Kita istirahat!” pinta Hansen.
“Yakin di sini, Tuan? Di tengah-tengah ladang tebu? Bahaya, Tuan, kalau kita berhenti di sini.”
Hansen dapat merasakan ketakutan yang jujur dari peringatan sopirnya. Dilihatnya sekitar, samping kanan dan kiri, belakang, depan, benar-benar gulita. Penerangan jalan sangat terbatas. Hanya ada satu dua lampu jalan di setiap tiga puluh meter, itu pun sangat redup. Bila kini mereka sedang membelah kebun tebu, maka logis sopirnya memperingatkan untuk tidak berhenti di sini. Hansen sering mendengar beritanya. Kejahatan-kejahatan yang terjadi di ladang tebu pada malam hari tidak hanya terjadi sekali dua kali. Perampokan hingga berujung kehilangan nyawa, sudah menjadi berita favorit di surat kabar-surat kabar Batavia. Mungkin kejahatan itu juga terjadi di tempat ini.
“Kita jalan saja dulu, Pak. Berhenti saat tiba di perkampungan.”
“Begitu lebih baik, Tuan.”
Sedan itu melaju lebih kencang. Hansen tak protes lagi saat rasanya ini lebih mirip menunggang kuda daripada duduk di jok sedan yang nyaman, asalkan ia cepat keluar dari wilayah berbahaya itu. Tubuhnya dikoyak tanpa henti karena jalanan yang penuh lubang dan kerikil besar. Bibirnya bekerja keras untuk tetap terkunci meski rentetan u*****n sedang mengantri untuk diteriakkan.
----------------------------
“Kita sudah sampai, Tuan Hansen,” ucap sopirnya pelan.
Hansen diam di jok belakang. Matanya menatap kosong ke depan. Keringatnya bercucuran. Dia kehabisan tenaganya. “Luar biasa. Ini bahkan lebih buruk dari menunggang kuda tanpa pelana!” cetusnya pelan.
Berkilometer jalanan berkerikil, berbatu dan lubang-lubang harus dilewati Hansen untuk mencapai pesanggarahan keluarganya di Mojokerto. Jauh di pedalaman, di kaki gunung penanggungan yang indah, ayahnya membangun rumah besar bak istana yang lebih sering disebut pesanggrahan. Hansen tiba di tempat itu saat gelap menguasai malam dan segalanya nampak lebih sempit dan suram. Dia nyaris tak tertarik memindai apapun yang kini membentang luas di depan matanya. Pesanggrahan yang mewah itu tidak berarti apapun untuknya yang sedang lelah dan muak dengan sepanjang jalan makadam yang dilaluinya.
Pintu mobil dibuka dari luar. Seorang pelayan wanita paruh baya yang membukakan pintunya. Dia membungkuk nyaris seratus derajat saat Hansen menginjakkan kakinya turun dari sedan hitam itu.
“Vader ada di dalam?” tanya Hansen.
“Meneer baru tiba besok pagi, Tuan,” jawab pelayan itu.
Helaan napas panjang meluncur dari mulut Hansen. Rasanya keterburuannya sia-sia. Ayahnya tidak menunggunya.
“Masih di Surabaya?” tanya Hansen lagi, antara penasaran dan tidak.
“Benar, Tuan Hansen.”
Lagi, kali ini benar-benar panjang hingga bahunya turun serendah-rendahnya. Sopirnya sedang mengemas koper-koper Hansen dari bagasi mobil dibantu seorang pelayan pria satu lagi. Hansen menoleh sebentar, lalu membuang pandangan lelahnya ke rumah besar di hadapannya. Saat ini dia berdiri tepat di depan terasnya yang lurus dengan pintu masuk utama. Pintu setinggi empat meter dengan lebar tiga meter itu tertutup rapat dengan gagahnya. Dua lampu kecil di pasang di kanan kiri kusennya. Tidak ada pemandangan lain dari rumah ini yang ingin dinikmati Hansen malam ini.
“Cukup. Aku ingin tidur!” gumamnya jengkel.
---------------------------