= Rumah sakit St. Collins. Malam hari =
Bunyi langkah kaki di sepanjang selasar rumah sakit terdengar menggema. Suara itu baru berhenti ketika ia berada tepat di salah satu pintu kamar pasien di lantai VVIP tersebut.
Melihat siapa yang datang, pria yang tadinya sedang duduk di kursi tunggu langsung berdiri. Ia sedikit gugup saat bertemu pertama kalinya dengan isteri bos besarnya yang cantik.
"Nyo- Nyonya Collins. Selamat malam."
Memandang anggun pria yang baru dilihatnya itu, Anna bertanya datar. "Siapa kau?"
"No- Noah, Nyonya. Nama saya Noah Miles."
Menatap Noah dari atas ke bawah, wanita itu kembali bertanya. "Noah Miles. Apa yang sedang kau lakukan di depan sini? Apa kau salah satu karyawan di CNC?"
"Sa- Saya-"
"Aku yang menyuruhnya."
Interupsi itu berasal dari pria yang baru datang di belakangnya. Berbalik, Anna melihat Berger mendekat dan behenti tepat di depannya. Kedua orang itu sejenak memandang dalam diam.
"Aku perlu bicara denganmu. Penting."
Menyadari tampang Berger yang serius, wanita itu mengangguk. "Di dalam saja. Ben tidak akan terganggu."
Menyetujui usulan Anna, pria itu menggeser pintu kamar rawat dan menemukan salah satu anak buahnya masih menunggu di sana. Ia telah menginstruksikan agar mereka ber-4 berjaga bergantian dan kali ini, giliran Leon. Meski jauh lebih kecil dari Noah, tapi pria itu memiliki kemampuan bertarung yang lebih tinggi. Dengan pertimbangan itu, Berger menempatkan mereka yang berbahaya untuk berjaga di dalam kamar.
"Tuan Berger." Tampak Leon berdiri dari sofa saat melihat siapa yang datang.
Masih membiarkan pintu terbuka, Berger memberikan tanda pada Leon untuk keluar.
"Aku perlu bicara dengan Nyonya Collins. Kalian berdua tunggulah di luar, sampai kami selesai berbicara."
Melirik ke wanita yang tidak menatap ke arahnya itu, Leon mengangguk kaku. "Baik, Tuan."
Setelah anak buahnya keluar, Berger menutup pintu kamar dan memastikannya rapat sempurna. Ia berbalik menghadap Anna yang ternyata telah duduk di sofa. Tampak wanita itu saling menumpukan kakinya yang bercelana panjang, dan melipat kedua tangan di d*danya. Posisinya defensif, meski santai.
Saat menatap Berger, ia bertanya datar. "Kau sudah menemukan pelakunya?"
Menimbang-nimbang, barulah pria itu menarik salah satu kursi dan duduk di depan wanita itu. Posisinya membelakangi pria yang masih terbaring tidak sadar di tempat tidur.
Tampak Berger mengusap-usap tangan yang tergantung di antara dua pahanya, sebelum ia berbicara.
"Anna, jujurlah padaku. Apa yang kau pikirkan tentang kecelakaan yang menimpa Ben? Kau tentunya sudah memperkirakan sesuatu, bukan?"
Pertanyaan itu membuat pandangan Anna terarah ke suaminya. Kedua mata kelabu itu mengerjap pelan, dan akhirnya kembali menatap pria di depannya.
Terdengar deru nafasnya saat wanita itu bicara. Nada suaranya jauh lebih pelan.
"Jelas ada yang ingin mencelakainya. Kemungkinan, ia memang telah diincar saat tiba di bandara kemarin. Aku yakin penyerangan itu juga terjadi di sana."
Wanita itu terdiam sejenak dan menatap Berger tajam. "Siang tadi aku ke bandara setelah jumpa pers. Saat mengelilingi pelataran parkir di sana, ada beberapa bercak gelap di lantai beton yang tidak bisa dibersihkan. Kemungkinan bercak darah. Aku juga menanyakan CCTV yang terpasang, tapi di malam itu tidak ada satu pun yang berfungsi. Dan ada satu keanehan lagi."
"Apa itu?"
"Aku ke bandara karena ada panggilan dari bagian lost & found. Mereka menemukan koper Ben masih ada di conveyor bagasi. Kata mereka, dia lupa mengambilnya dan aku sama sekali tidak percaya. Tidak mungkin Ben meninggalkan bandara menuju mobilnya, tanpa membawa kopernya. Dia bukan orang yang sembrono."
Kepala Berger mengangguk. "Apalagi yang kau temukan?"
Anna terlihat menggigit-gigit bibirnya. "Selain kemungkinan penyerangan itu, sepertinya yang menimpa Ben di jalan tol adalah murni kecelakaan tunggal."
Alis tebal Berger berkerut dalam. "Kau yakin?"
"Setelah dari bandara, aku melakukan penelusuran di jalan yang dilalui Ben tadi malam. Masih ada bekas-bekasnya dan CCTV-nya jelas memperlihatkan, kalau Ben telah kehilangan kendali atas mobilnya. Tapi itu bukan karena adanya sabotase."
"Kenapa kau bisa seyakin itu, Ann? Bisa saja-"
Benda kecil yang dikeluarkan Anna dari sakunya membuat Berger terpana. "Itu..."
Sigap, pria itu langsung menangkap benda itu saat Anna melemparnya.
"Aku mengambilnya dari dash cam yang aku install saat Ben pergi dulu. Aku jugalah yang telah memodifikasi bantalan pengaman di mobilnya. Dan terakhir, aku juga tidak menemukan adanya jejak kebocoran dari lokasi tempat mobil Ben terparkir. Jika ada yang mengotak-atik mobilnya, seharusnya ada sisa jejaknya di sana. Jarak antara bandara dan jalan tol tidak jauh. Rentang waktu kecelakaannya pun cukup singkat. Kalau kau masih tidak percaya, kau bisa memeriksanya sendiri."
Memalingkan kepalanya dan menatap ke arah suaminya, wanita itu bergumam pelan.
"Kau sangat tahu kenapa dia menikahiku, dan alasan aku menikahinya. Kalau Ben sampai mati, aku juga yang akan rugi. Perjanjian kami akan berakhir beberapa bulan lagi. Tidak sampai satu tahun. Dan selama itu pula, aku akan menjaganya. Sebagai salah satu bodyguard-nya."
Suasana sejenak hening saat Anna memberikan pengumuman itu.
Kedua mata kelabu itu kembali memandang Berger. "Adalagi yang ingin kau ketahui?"
Rasa tidak enak merayapi hati pria itu. Selama ini, ia memang telah berburuk sangka pada isteri bosnya ini.
Berdiri dari duduknya, Berger menyimpan benda kecil itu di saku jas-nya.
"Tidak. Terima kasih atas analisamu tadi. Aku akan memberikan kabar padamu, kalau sudah ada titik terang mengenai pelakunya."
Perkataan itu direspon Anna dengan anggukan singkat. "Kau lakukanlah itu. Aku akan menunggu sebentar di sini. Kalau kau tidak keberatan."
Menatap atasannya sebentar, Berger mengangguk. "Tentu saja. Aku pergi dulu."
Beberapa saat setelah kepergian pria tadi, Anna bangkit dari sofa dan berjalan mendekat ke tempat tidur. Memandang pria di bawahnya, tangan kanannya menyentuh helaian rambut suaminya dan mengusapnya pelan. Baru kali ini, ia merasakan tekstur rambut lelaki itu yang lembut.
Menarik kursi, wanita itu duduk dan menatap wajah pria di tempat tidur. Jari telunjuknya menelusuri pipi lelaki itu yang mulai berjenggot, dan berhenti di bibirnya yang sedikit pucat. Menunduk, Anna melipat kedua tangannya dan menumpukan dagunya di sana. Kepalanya meneleng memandang muka pria di depannya.
Setelah terdiam cukup lama, barulah wanita itu bertanya dengan suara yang sangat pelan.
"Ben... Apa kau pernah mencintaiku?"
Tidak mengharapkan jawaban apapun, wanita itu menutup matanya dan langsung tertidur.
Ia tidak sadar, kalau pertanyaan retorik itu telah membangkitkan sesuatu. Salah satu jari tangan lelaki itu tampak bergerak meresponnya.
Anna sama sekali tidak tahu, kalau pria di hadapannya ini sedang berjuang untuk bangun. Bangun untuk menjawab pertanyaannya.
***
= Flashback 8 tahun yang lalu. Hall gedung CNC. Kota CA, Amerika =
"Ada seseorang yang mengancamku, Abe. Dan ancaman itu lebih dari sekali."
Barulah alis Abe yang tebal mulai sedikit berkerut. Pria itu menoleh pada Berger di sebelahnya.
"Berger. Aku perlu bicara dengannya dulu sebentar."
Ia kembali menoleh pada Ben. "Dokumen-dokumen ini. Bisa kami pinjam dulu?"
Wajah Ben tampak cerah. "Kau mau membantuku?"
"Tergantung kasusnya. Tapi lebih baik Berger mempelajarinya dulu. Kami tidak terbiasa menangani kasus yang tidak jelas. Ada reputasi yang perlu kami jaga, Ben."
Raut pria itu meredup, tapi ia mengangguk. "Baiklah. Aku mengerti."
Abe menoleh kembali pada Berger. "Berg."
Kepala Berger mengangguk. Tanpa banyak tanya lagi, dia mengambil berkas tebal dari atas meja dan berdiri.
"Aku akan langsung ke hotel."
Setelah melihat atasannya mengangguk, barulah pria itu keluar ruangan.
Ditinggal sendirian, kedua bersaudara itu saling menatap diam. Abe-lah yang pertama bicara.
"Apa yang kau ketahui tentang B2B-U, Ben?"
Tahu tidak ada gunanya menyembunyikan informasi apapun, Ben mulai bercerita.
"Aku hanya tahu kalau kalian salah satu perusahaan security terbesar di Jerman sana. Kalian menyediakan jasa security, bodyguard pribadi dan juga layanan cyber security, yang langsung ditangani oleh kalian berdua. Sejujurnya, aku tidak tahu kalau kau-lah owner dari perusahaan itu, Abe. Dalam website-nya hanya tertera nama Aloysius B. dan Abraham R. sebagai founder. Tanpa nama belakang. Tanpa foto."
"Tidak mudah memiliki bisnis berbasis IT, Ben. Aku dan Berger sepakat untuk menyamarkan identitas kami. Setidaknya, informasi bisnis dan nama-nama dalam struktur organisasi kami lengkap dan juga benar."
Menelan ludahnya, Ben melanjutkan. "Sudah lama aku ingin bicara dengan kalian, tapi tidak pernah satu kali pun kau hadir dalam acara perusahaan. Aku cukup kaget saat bertemu denganmu tadi, Abe. Sama sekali tidak menyangka kalau kau adalah orang yang aku cari."
Menyilangkan kakinya yang berbalut celana pesta, Abe sedikit menarik nafasnya.
"Sudah sejak kapan ancaman ini terjadi?"
Pertanyaan itu membuat Ben menundukkan kepalanya. "Sekitar 1-2 tahun yang lalu. Saat dad menunjukku sebagai penggantinya."
Rahang Abe sedikit mengencang. "Ada kecurigaan?"
Tampak Ben menggeleng. Pandangannya masih terarah pada kepalan tangannya.
"Terlalu banyak untuk disebutkan satu demi satu, Abe. Kau tahu sendiri keluarga besar Collins seperti apa. Dad hanya keturunan Collins ketiga. Paman dan tante, belum lagi sepupu-sepupu yang lain cukup menentang saat itu. Tapi tidak satu pun yang bisa mengatakan apapun saat dad menunjukkan wasiat kakek. Belum lagi kemungkinan dari kompetitor perusahaan lain."
Dengusan sinis terdengar dari mulut Abe. "Kau punya banyak musuh. Malang sekali nasibmu."
Mendengar itu, Ben mengangkat kepalanya. Tampangnya terlihat sakit.
"Abe. Kau tahu sendiri bukan mauku bidup seperti ini. Aku-"
Berdiri dari duduknya, Abe memasukkan tangannya ke saku celananya. Ia tidak mau mendengar curhatan hati dari pria di depannya ini.
"Aku akan mempertimbangkan melakukannya. Tapi ada syaratnya."
Hampir saja Ben melompat dari duduknya. Ia sangat gembira. "Apa syaratnya? Katakan saja."
"Aku menginginkan Anna Reyes atau Anna Tanner. Dan kau harus membantuku memilikinya. Bagaimana pun caranya. Hanya itu syarat pembayaranku. Kau setuju?"