"Sudah kubilang namaku Ben. Kau lupa sedang berhadapan dengan siapa, Berg?"
Raut wajah Berger terlihat sangat gembira. Sumringah, ia segera menghampiri Bram dan memeluknya erat.
"Kau tidak tahu betapa leganya aku saat ini, Bram! Kau telah membuatku sangat cemas!"
Membalas pelukan itu, Bram mend*sah. Sejujurnya, dirinya pun merasa sangat lega saat ini. Menepuk bahu Berger yang liat, pria itu melepaskan pelukannya.
Duduk di kursi samping tempat tidur, pria bermata hijau itu langsung menanyakan hal yang sangat ingin diketahuinya selama ini.
"Apa yang terjadi malam itu, Bram?"
Kepala Bram terarah ke pintu yang tertutup. "Lebih baik kau tetap memanggilku dengan namanya, Berg."
Mata hijau Berger sesaat tidak mengerti, kemudian sedikit melebar. "Jangan katakan..."
"Lebih mudah menyusun strategi baru, di saat lawan menurunkan kewaspadaan. Aku tidak bisa bergerak bebas sebagai 'Ben' yang biasanya. Tidak masuk akal kalau aku tidak melaporkan serangan di bandara pada pihak berwajib, segera setelah sadar. Tapi masalahnya, aku tidak mau melibatkan mereka yang memang telah disumpal mulutnya. Terlalu riskan untuk situasi kita saat ini."
Terlihat muka pria di depannya berubah kaku. Ia tiba-tiba berdiri dan mulai mengelilingi kamar itu frustasi.
"Sudah kubilang dari awal, kan? Ini ide yang sangat buruk, tapi kau tidak mau mendengarkan aku!"
"Tapi kau juga menyetujuinya saat itu."
Langkah Berger berhenti dan ia memandang marah temannya. Matanya berkobar.
"Aku menyetujui untuk MEMBANTUNYA, bukan membuatmu MENJADI dirinya! Kau melibatkan diri terlalu dalam karena dia, Bram! Pikiranmu sudah tidak waras karena wanita itu!"
Kali ini, tatapan Bram-lah yang menyala. Suara pria itu mulai merendah, menandakan kemarahannya.
"Dia tidak ada hubungannya dengan ini, Berger. Jangan libatkan dia!"
Deru nafas yang kencang terdengar dari lubang hidung pria yang masih berdiri itu.
"Kau katakan dia tidak ada hubungannya? Jangan menganggapku terlalu bodoh, dude! Aku sangat tahu kau mau menerima kasus ini karena orang itu! Kau sangat membencinya, tidak mungkin kau mau membantunya kalau bukan karena orang itu!"
Kedua tangan Bram mengepal kencang. Dia sudah siap untuk membalas saat pintu kamar tiba-tiba terbuka.
Perdebatan itu berakhir mendadak, saat keduanya melihat Anna dan dr. Hills memasuki ruangan. Tampak dua orang yang baru masuk itu mengerutkan alisnya dan memandang pria-pria di depannya. Perilaku mereka yang tampak aneh, memancing kecurigaan keduanya.
Anna yang pertama bicara. "Apa yang terjadi? Kami mendengar seperti ada perdebatan di dalam kamar."
Muka Berger memucat dan ia menoleh ke arah Bram. Melihat ekspresi temannya, pria itu menelan ludahnya. Sepertinya, ia memang terlalu meremehkan orang ini. Selama hampir 3 tahun, dia telah berhasil mengelabui banyak orang. Dan itu bukan hal yang mudah dilakukan.
Ketika setuju membantu Ben, Bram menawarkan sesuatu yang terdengar sangat g*la ketika itu.
Entah apa yang dipikirkannya, tapi ia memberikan ide untuk menggantikan peran saudaranya dalam periode waktu tertentu. Saking sempurnanya perannya, seringkali untuk keputusan-keputusan strategis perusahaan, Bram-lah yang melakukannya. Dalam jangka waktu singkat, orang yang tadinya mencela Ben sebagai CEO 'karbitan' akhirnya berbalik respek padanya.
Tapi bukannya melakukan introspeksi diri, Ben justru tampak menikmatinya. Dan menikmatinya dengan cara yang salah. Tidak hanya melupakan tujuan awalnya, pria itu malah semakin menambah musuh dengan mulai bermain api. Beberapa kali, ia mengajak kencan wanita-wanita yang seharusnya dihindarinya.
Dengan tidak bertanggungjawab, Ben mulai menyerahkan semua urusan perusahaan pada Bram. Hal ini membuat pria itu kewalahan. Selain harus mengelola perusahaannya sendiri di Jerman, sekarang ia dibebani hal-hal yang sebenarnya bukan tugasnya. Belum lagi, untuk melakukan penyelidikan sesuai permintaan saudaranya di awal kesepakatan mereka. Di saat-saat ini, ia serasa kembali ke masa kecilnya dulu.
Harapannya untuk mendekati Anna Reyes pun memudar. Bukannya semakin dekat, pria itu malah merasa semakin sulit menggapai wanita itu. Anna ternyata sangat membenci Benjamin Jayden Collins. Boro-boro mengajaknya bicara, wanita itu bahkan melengos saat mereka berpapasan di jalan.
Ben pun tampak melupakan janjinya untuk membuat saudaranya dekat dengan Anna, sampai akhirnya Bram sadar sendiri kalau mereka ternyata menyukai wanita yang sama. Ia hanya dimanfaatkan saja selama ini.
Muak dengan kelakuan saudaranya yang belum berubah dan masih penuh tipu muslihat, Bram memutuskan tidak mau terlibat lagi. Sepihak, ia membatalkan kerjasama itu dan kembali ke Jerman. Selama beberapa tahun, ia mulai melupakan pria bernama Benjamin Collins, ketika tiba-tiba mendapat telepon di pagi buta.
***
= Flashback sekitar 2 tahun yang lalu. Di sebuah apartemen, kota B. Jerman. Jam 04.01 =
Dalam apartemen di tengah kota, terlihat Bram duduk bersandar di tempat tidurnya. Kakinya berselonjor santai, dengan laptop di pangkuannya. Ia baru saja terbangun beberapa saat lalu, dan langsung mengecek emailnya seperti kebiasaannya selama ini.
Setelah membalas beberapa email yang diterimanya, satu email baru yang belum dibuka tampak menarik perhatiannya. Tersenyum, pria itu membukanya.
'Selamat malam, Abraham.'
Kata-kata sapaan itu semakin membuat senyuman di wajah Bram melebar. Meski tidak lagi di CNC, tapi ia selalu berusaha mempertahankan kontak dengan Anna melalui email. Dan untungnya dengan pekerjaan wanita itu, ia banyak membutuhkan bantuan pria itu untuk melakukan penyelidikan.
Keduanya bertemu dalam sebuah forum diskusi online. Saat itu, Anna bertanya mengenai seseorang yang dapat membantunya untuk melakukan penyelidikan tertutup dan dengan bayaran setimpal. Banyak yang memakan umpan itu, terutama saat mengetahui wanita itu bekerja di sebuah perusahaan besar. Latar belakangnya yang menjanjikan, memikat siapa saja yang membaca profile-nya.
Bram baru menyambut pancingannya, ketika Anna ternyata menghubunginya melalui jalur pribadi. Wanita itu cukup terkesan saat pria itu menjawab pertanyaan seseorang mengenai cara kerja sistem keamanan IT di sebuah perusahaan. Ia juga dapat menampilkan data-data pribadi orang tersebut yang telah disensor, untuk membuktikan betapa mudahnya untuk menerobos device seseorang.
Dari perkenalan itu, Bram hanya menyebutkan dirinya bekerja di sebuah perusahaan security di Jerman dan bahwa ia memiliki lisensi. Satu perkenalan, berlanjut ke pembicaraan yang lebih serius dan seterusnya hingga berujung, pria itu mulai jatuh cinta pada sosok wanita yang sama sekali belum pernah ditemuinya.
Ia sangat menyukai cara Anna berbicara. Interaksinya dengan wanita itu santai tapi serius. Mereka juga tidak hanya membahas masalah pekerjaan, tapi juga hal-hal lain yang cukup menarik. Tidak sekali pun Bram memiliki keberanian untuk menghubungi Anna secara langsung. Pengalamannya di masa lalu membuatnya cukup sulit untuk membuka diri. Ia takut dikecewakan lagi.
Tapi saat kesempatan itu datang sendiri, barulah ia menyambutnya dengan gembira. Sayangnya, ia kembali dikecewakan lagi. Dalam realitanya, ternyata wanita itu tidak sehangat yang dibayangkannya.
Tadinya ia tetap berusaha untuk mendekatinya tapi penolakan demi penolakan, membuat kepercayaan diri Bram semakin tergerus. Pengalamannya mendekati wanita cukup terbatas. Selama ini, lingkungannya lebih banyak didominasi para pria. Jika ada segelintir wanita, biasanya orientasi mereka pun berbeda. Dia juga lebih akrab dengan laptop-nya dibanding bergaul dengan yang namanya manusia.
Ketika Ben meminta bantuannya, itu pertama kalinya ia sadar memiliki kemampuan manipulasi yang cukup baik. Sama seperti saudaranya. Dan seperti bumerang, hal ini justru membuatnya semakin sulit mendekati Anna sebagai Benjamin. Sampai suatu ketika, ia berada di titik jenuhnya.
Ia datang ke CNC untuk wanita itu, tapi waktunya telah terbuang sia-sia. Satu-satunya keberhasilannya di sana adalah mendongkrak reputasi Ben sebagai CEO baru.
Merasa tidak ada gunanya lagi, akhirnya ia memutuskan untuk tidak mencoba lagi.
Saat ini, ia cukup puas dengan hanya membantu wanita itu dari kejauhan. Entah sampai kapan.
Membalas email wanita itu, Bram akhirnya menutup laptopnya. Baru saja ia melemaskan tubuhnya dan akan kembali tidur, ponselnya berbunyi nyaring.
Menatap layarnya, alis tebalnya berkerut sangat dalam. Ia menunggu hingga deringnya berhenti sendiri dan baru akan menyimpannya lagi, ketika benda itu lagi-lagi berbunyi. Si penelepon belum menyerah.
Kesal, ia menempelkannya di telinganya dan menjawab malas. "Halo?"
Tidak terdengar suara apapun, sampai nada sambung pun terdengar. Tampaknya ada sedikit gangguan, yang membuat panggilan itu terputus. Musim dingin di tahun ini sepertinya akan cukup ekstrim. Cuaca yang buruk mulai melanda di mana-mana.
Meletakkan ponselnya di atas meja, pria itu bersiap tidur saat benda pipih itu kembali berisik.
Dengan marah, Bram meraihnya dan menjawab sangat kasar.
"Halo...! Halo!? S*alan kau, Ben! Jawab aku br*ngsek!? Jangan mengangguku malam-malam begini!?"
Belum terdengar apapun, hampir saja ia mematikan panggilan itu lagi saat terdengar suara seseorang yang panik di seberang sana.
"Abe! Abe, please! Tolong aku. Aku benar-benar butuh bantuanmu!"