= Kembali ke masa sekarang =
Pernyataan cinta Bram tadi membuat Anna sejenak tertegun. Tapi ia segera tersadar karena suara klakson dari arah yang berlawanan.
Memegang pergelangan suaminya kuat, perlahan wanita itu menyingkirkan tangan pria itu dari wajahnya. Keduanya masih saling menatap, tapi mata kelabu wanita itu terlihat menajam dan rautnya kaku.
"Ann-"
Melihat lampu merah sudah berganti hijau, Anna menurunkan rem tangannya dan memasukkan persneling ke gigi satu. Ia menekan pedal gasnya dan mobil mulai bergerak kembali.
Tanpa menoleh, ia berkata datar. "Kita akan membicarakannya setelah sampai di apartemen. Ada hal yang harus kau ketahui tentang hubungan kita, dan aku tidak mau membahasnya di sini."
Ketegangan mulai terasa di dalam mobil, membuat Bram menoleh ke samping jendelanya. Pria itu berusaha menyembunyikan matanya yang memerah. Sangat tahu hal yang akan dibicarakan oleh isterinya itu. Dan ia takut. Ia tidak mau kehilangan wanita ini. Ia sama sekali tidak mau kehilangan wanita yang dicintainya lagi.
Dalam waktu beberapa menit, keduanya pun telah sampai di apartemen Benjamin Collins.
Anna memarkirkan kendaraannya hati-hati dan tanpa mengatakan apapun, keluar dari mobil. Ia membiarkan pintu bagasi tidak terkunci dan menunggu suaminya mengeluarkan kopernya dari sana. Keduanya berjalan dalam keheningan dan di dalam lift, wanita itu melirik pria tinggi di sampingnya.
Garis matanya sejajar dengan dagu Bram yang ditumbuhi bulu-bulu tebal berwarna gelap. Baru kali ini, Anna melihat suaminya cukup berantakan dan cuek. Seingatnya dulu, Ben sangat menjaga kerapihannya. Ia selalu tampil klimis dan rapih. Tipikal pengusaha profesional, yang juga tahu kalau dirinya sangat tampan.
Entah kenapa tapi kini, Anna merasa penampilan pria ini lebih manusiawi dan terjangkau. Setidaknya bagi dirinya sendiri. Sejak pertama bertemu, ia sadar betapa besarnya jurang perbedaan mereka. Membuatnya tidak memiliki sebersit pun keberanian untuk menyukai Ben, apalagi sampai jatuh cinta padanya.
Tapi melihatnya sekarang, wanita itu tanpa sadar menurunkan tembok pembatasnya. Apalagi mereka telah menikah dan baru bertemu lagi setelah hampir 1,5 tahun lamanya. Ia mungkin sedikit rindu pada pria ini.
Salah satu tangannya terangkat dan mengusap lembut jenggot pria di sampingnya. Sentuhan itu membuat Bram terkejut dan langsung menoleh.
"Janggut dan rambutmu sudah cukup panjang. Mau aku panggilkan hair dresser untuk merapihkannya?"
Lidah pria itu terasa kelu, tapi ia akhirnya bertanya lirih. "Bisa kamu saja yang melakukannya?"
Gerakan wanita itu terhenti dan matanya perlahan naik, menatap sepasang mata gelap di depannya. Sejenak keduanya bertatapan dalam diam, tapi kemudian Anna terkekeh pelan. Dengan lembut, ia menarik-narik jenggot suaminya dan juga mer*mas ujung rambutnya yang memanjang. Ia suka rasanya.
"Kau yakin? Koordinasi tanganku tidak bagus, bisa saja aku membuatmu pitak."
Menggenggam tangan Anna, Bram memandang wanita itu dengan tatapan penuh arti. Ia akan melakukan apapun untuk lebih dekat dengan isterinya. APAPUN.
"Kalau kamu membuatku pitak, aku tinggal mencukurnya habis. Tapi aku ingin kamu yang melakukannya. Kamu mau kan, Ann?"
Ucapan itu membuat Anna tertegun. Wanita itu tampak gugup dan berusaha melepaskan tangannya. Situasi itu dimanfaatkan Bram untuk semakin mendekatkan wajahnya dan juga memeluk wanita itu. Ia berniat akan mengambil setiap kesempatan yang lewat di depannya.
"Be- Ben..."
Tangan Anna bertengger di bahu Bram, yang dengan lembut mendorong tubuhnya menempel ke dinding.
Menatap suaminya dengan bertanya, kedua mata Anna melebar. Deru nafasnya berubah cepat, jantungnya bertalu-talu dalam d*danya. Mengetahui tindakannya membuat isterinya gugup, adrenalin pria itu terpacu. Semakin erat memeluknya, mata Bram turun dan memperhatikan intens bibir merah muda di bawahnya.
Magnet n*fsu di antara keduanya mulai menguar. Tanpa sadar, pria itu menjilati bibirnya sendiri. Anna yang melihatnya mer*mas bahu kuat suaminya. Ia merasakan dorongan yang sama. Udara yang keluar dari mulut dan hidung mereka terasa panas di wajah masing-masing.
Suhu di dalam kotak besi itu perlahan naik, dan hampir saja mereka berc*uman saat lift berdenting nyaring.
Dengan canggung, keduanya langsung memisahkan diri dan berdiri membelakangi. Bahu mereka naik-turun dengan cepat, menandakan h*srat berkobar yang tidak tersalurkan. Mereka belum sadar, kalau lift itu adalah jalur pribadi yang langsung membawa keduanya ke kondominium milik Ben.
Tidak ada tanda-tanda orang memasuki lift, barulah Anna menyadari kebodohannya. Wanita itu menunduk dan wajahnya terlihat memerah. Ia langsung mendahului keluar.
"Kita sudah sampai."
Mengepalkan tangannya, Bram mengikuti isterinya keluar. Ia berusaha meredakan h*sratnya yang hampir tidak terkontrol tadi. Untung saja adik kecilnya masih cukup aman di sarangnya.
Saat memasuki kondo itu, pandangan Bram menelusuri keseluruhan ruangannya yang sangat mewah. Segala perabotan dan tata letak barang-barang di sana, jelas hasil karya seseorang. Seluruh sudut apartemen itu dibuat dari material kualitas premium dan dengan design kelas dunia. Tidak berlebihan tapi sekali lihat bisa dinilai, bahwa seseorang harus merogoh kantongnya sangat dalam ketika membuat tempat ini.
Membandingkan dengan apartemennya sendiri di Jerman, pria itu merasa kecil. Meski kediamannya cukup besar dan juga nyaman, tapi jelas harganya tidak bisa dibandingkan dengan tempat ini.
Apa yang dimiliki dirinya sekarang, hanyalah debu bila disandingkan dengan aset keluarga besar St. Collins. Dirinya dan juga keberhasilannya selama ini, sama sekali tidak berarti apapun. Bahkan di hadapan ayahnya, ia tidak terlihat. Ia baru dilihat dan diakui, justru ketika berperan sebagai adiknya dan bukan dirinya sendiri.
Pemikiran ini memunculkan perasaan ironis di hatinya. Ia-lah yang berhasil membawa CNC lebih maju sejak beberapa tahun ke belakang, tapi semua kredit jatuh ke adiknya. Bram menyadari kalau sampai kapan pun, ia hanya akan diingat sebagai Abraham Reiss. Yang tidak punya hubungan apapun dengan St. Collins.
"Ben?"
Panggilan itu menyadarkan Bram dan ia memandang isterinya. Tampak wanita itu mengamati wajahnya.
"Ben? Kau tidak apa-apa? Ada sesuatu yang kau ingat dengan tempat ini?"
Kembali memandang sekelilingnya, kepala pria itu menggeleng. Dia bukannya tidak ingat, tapi ia memang tidak mengenal tempat ini. Ia juga tidak menyukainya.
"Tidak. Tempat ini asing bagiku."
Jawaban pelan dari suaminya, entah kenapa membuat Anna merasa kasihan. Ia memegang lengan pria itu yang masih berjaket musim dingin.
"Jangan terlalu khawatir. Kata dr. Hills, kau akan segera mengingat kalau berada di tempat yang kau kenal. Kenangan dan memori indah, katanya obat yang terbaik untuk kesembuhanmu."
Memandang skeptis ruangan mewah itu, Bram mendengus pelan.
"Memori indah? Aku tidak yakin ada kenangan yang indah di sini."
Tempat ini adalah tipikal lokasi yang biasa digunakan pria untuk merayu wanita. Meja bar dengan beragam minuman keras di dalamnya. Belum lagi sofa-sofa empuk dan juga meja bilyar di sudut ruangan. Jelas, Ben menggunakan kondominium ini untuk bersenang-senang semaksimal mungkin.
Mengikuti Bram yang menyeret kopernya, Anna bertanya heran. "Kau tidak menyukai tempat ini?"
"Tempat ini terlalu mewah untukku."
Kata-kata spontan itu membuat Bram tersadar. Mencegah kecurigaan isterinya, ia menoleh ke wanita itu.
"Kamar kita?"
Pertanyaan itu membuat Anna mengedipkan matanya. Ia membeo. "Kamar kita?"
Meski tahu hal yang dipikirkan oleh wanita itu, Bram tetap mempertahankan kepolosan pertanyaannya.
"Ya. Kamar kita. Sebagai pasangan, kita tidur satu kamar kan?"
Pernyataan itu membuat Anna membeku. Sejenak, ia tidak tahu harus mengatakan apa.
Di satu sisi, ia ingin mengatakan kebenarannya pada pria itu. Tapi di sisi lain, peringatan dr. Hills membuatnya ragu. Dokter itu sudah mewanti-wantinya untuk bersikap baik pada suaminya. Kesembuhan pria itu cukup tergantung pada perlakuannya. Dan kesembuhan Ben adalah prioritas utamanya, demi hajat hidup CNC dan juga seluruh karyawannya. Namun setidaknya, pria ini tetap perlu tahu situasi mereka sebagai pasangan.
Meraih kedua tangan suaminya yang masih bersarung, Anna menggenggamnya erat. Sedikit mer*masnya.
"Ben. Lebih baik kita duduk dulu."
Menggandeng tangan pria itu, Anna mengarahkan mereka untuk menuju meja bar. Biasanya Ben memang cukup sering mengajaknya untuk duduk-duduk di sana, di saat mereka membahas masalah pekerjaan.
Berdiri di baliknya, tampak wanita itu tersenyum cantik. "Aku tidak akan memberikan sesuatu yang keras untukmu, tapi aku akan membuat minuman lain yang aman selama kau masih dalam pengobatan."
Balas tersenyum, pria itu menumpukan kedua tangannya di meja bar. "Aku menantikannya, babe."
Panggilan sayang itu membuat Anna sedikit tertegun, tapi ia berusaha mengabaikannya. Beberapa kali sudah pria itu memanggilnya dengan sebutan itu semenjak ia sadar, tapi baru kali ini ia memperhatikannya.
Beberapa menit kemudian, tampak dua gelas berisi air jeruk perasan asli.
Saat melihatnya, Bram tertawa lepas. "Aku kira kamu mau membuat apaan. Ternyata air jeruk."
"Kau cobalah dulu. Air jeruk perasanku istimewa. Tidak seperti yang lain."
Masih tertawa, pria itu mencobanya dan kemudian terdiam. Ia menatap gelas itu, dan lanjut meneguknya hingga isinya tandas.
Tersenyum bangga, wanita itu terkekeh. "Bagaimana? Enak kan?"
Tampak Bram menggeleng-geleng. "Kamu tidak bohong. Ini enak sekali, babe."
Menyadari tangan pria itu mengarah ke wajahnya, Anna langsung menghentikannya di udara. Saat menatap mata gelap suaminya, wanita itu merasa gugup. Ia seolah memandang seorang lelaki yang tidak dikenalnya, tapi sekaligus yang mampu memunculkan percikan h*srat yang baru pertama kali dirasakannya.
Selama mengenal pria ini hampir 10 tahun, baru kemarinlah ia melihat Ben sebagai seorang lelaki.
"Babe?"
Mengerjapkan matanya, wanita itu meletakkan tangan pria itu kembali ke meja dengan perlahan. Melihat cincin di jari manisnya yang maskulin, Anna mengusap benda yang pasangannya ia kenakan di jarinya sendiri. Simbol itu menandakan mereka telah terikat sebagai suami-isteri.
"Ben."
Kepala wanita itu mendongak. Ia sudah memantapkan hatinya. Pria ini harus tahu.
"Ben. Ada yang harus kau ketahui tentang hubungan kita."
Jantung Bram mulai berdansa di dalam d*danya, tapi raut pria itu terlihat polos di mata isterinya. Butuh pegangan, pria itu merebut tangan Anna dan menggenggamnya erat dalam tangan besarnya. Ia tidak akan mau melepaskan wanita ini. Tidak lagi.
"Apa yang harus aku ketahui?"
Hal yang dilakukan Bram tampak membuat Anna bingung, tapi wanita itu berusaha untuk tenang. Saat berbicara lagi, suaranya terdengar pelan dan hati-hati.
"Mengenai kita... Kau dan aku. Pernikahan kita bukan seperti yang kau bayangkan, Ben. Kita bukan menikah karena saling mencintai, tapi karena ada sebuah perjanjian yang mengikat dan telah kita setujui bersama."
Menggenggam tangan Anna lebih erat, suara Bram terdengar tegang. "Apa maksudmu tidak mencintai?"
Mencoba menenangkan pria itu, Anna meletakkan satu tangannya di atas tangan pria itu.
"Kita tidak saling mencintai, Ben. Aku tidak mencintaimu, dan kau tidak mencintaiku. Hubungan di antara kita adalah atasan-bawahan. Ketika setuju menjadi isterimu, berarti aku telah menerima pekerjaan sebagai bodyguard-mu. Sebagai orang yang melindungi keselamatanmu selama 24 jam. Sampai sini, apakah kau-"
Penjelasan itu membuat raut pria di depannya memucat. Bahunya naik-turun.
"Ti- tidak. Kita saling mencintai. Aku mencintaimu, Ann."
"Ben-"
"Aku mencintaimu, Ann! Aku TAHU kalau aku mencintaimu!"
Bram langsung menarik tangannya kasar dan mundur dari meja bar. Reaksi pria itu membuat Anna sangat terkejut. Sama sekali tidak menyangka kalau suaminya akan memberikan reaksi yang tidak diantisipasinya.
"Ben. Tenanglah dulu. Jangan-"
"Uh!"
Tiba-tiba, pria itu jatuh bersimpuh dan memegang kepalanya kuat.
"Ben!" Panik, Anna langsung memutari meja bar dan menghampiri suaminya.
Baru memegang lengan atas pria itu, tubuh Bram oleng ke belakang dan kepalanya hampir saja menghantam lantai jika Anna tidak segera memeluknya. Tampak kepala pria itu terkulai di tangan isterinya dan badannya terasa sedikit panas. Lelaki itu tidak bangun meski badannya digoyang berkali-kali.
"Ben! Ben!"
Meletakkan hati-hati tubuh berat suaminya di lantai, kembali Anna berusaha menyadarkannya.
"Ben! BEN!? Oh Tuhan..."