= Di salah satu apartemen. Dini hari =
Di sebuah balkon, tampak seorang wanita duduk termenung. Kedua kakinya yang jenjang terangkat ke pagar pembatas. Dalam keheningan, ia memandang kegelapan malam di depannya. Tidak ada yang tahu apa yang dipikirkannya tapi yang jelas, sangat banyak hal yang saat ini berseliweran dalam benaknya.
Salah satu tangannya menumpu di lengan kursinya. Di jari-jarinya, terlihat rokok yang hampir terbakar habis. Di tangan lainnya, ia memegang longgar benda berkilat yang terayun-ayun pelan di jari lentiknya.
Ketika akan menghisap benda di tangannya, ia merasakan sensasi panas yang membuatnya menunduk. Ternyata, batang rokoknya telah mencapai pangkalnya. Mend*sah, wanita itu menekan puntung pendek itu ke asbak dan mematikan baranya. Baru saja ia akan meraih kotak rokoknya, ponselnya bergetar.
Meraih benda itu, ia menatap beberapa saat nomor yang tertera di layar ponselnya.
"Rumah sakit?"
Menempelkan benda itu ke telinganya, ia menjawab pelan. "Halo?"
"Nyonya Collins?"
Sapaan tidak dikenal itu membuatnya sedikit mengerutkan alisnya, tapi ia menjawab halus.
"Ya. Saya sendiri. Dengan siapa saya bicara?"
"Maafkan saya, Nyonya Collins. Nama saya Martha Thomas, kepala perawat di rumah sakit St. Collins. Suami Anda, Tuan Benjamin Collins mengalami kecelakaan tunggal. Saat ini, Tuan Collins dirawat di rumah sakit. Ruang ICU. Kondisinya masih belum sadar."
Berita itu membuat wanita tadi tertegun. Ia tersadar saat mendengar penggilan dari seberangnya kembali.
"Nyonya Collins? Anda masih di sana?"
"Saya akan segera ke sana." Setelahnya, ia pun memutus panggilan itu.
Selama beberapa waktu, wanita itu hanya memandang ponsel di tangannya. Dengan tenang, ia meraih kotak rokoknya dan mengambil sebatangnya. Ia menyulutnya dan kembali menikmati rokoknya. Ponsel tadi ia letakkan begitu saja di atas meja. Benda berkilat di tangannya, ia lempar asal ke meja di depannya.
Barulah 15 menit setelah panggilan tadi, wanita itu masuk ke apartemen dan 5 menit kemudian, terlihat melajukan kendaraannya menuju rumah sakit.
***
= Flashback 8 tahun yang lalu. Kantor B2B Universal. Kota B, Jerman =
"Ayolah, Bram. Ini sudah ke-3 kalinya kau menolak. Aku minta tolong padamu, SEKALI SAJA. Untuk sekali saja, kau menghadirinya. CNC adalah salah satu klien pertama, dan terbesar kita. Kerjasama ini juga sudah berlangsung hampir 10 tahun. Tidak mungkin aku hadir di sana tanpa dirimu!"
Tidak mengangkat muka dari laptop-nya, pria yang dipanggil 'Bram' menggelengkan kepalanya tegas.
"Sekali 'tidak' maka selamanya 'tidak', Berg. Kau pun tahu alasannya tanpa harus kujelaskan. Kenapa kau masih memaksa?"
Melongok sebentar ke luar melihat situasi, Berger kembali ke dalam dan menutup pintu kantor itu pelan.
Ia mendekati meja Bram dan melemparkan undangan perusahaan itu ke atas meja. Tindakannya ternyata dapat memancing wajah pria dingin di depannya sedikit terangkat. Mata gelap itu memicing tidak suka.
"Sebenarnya, ada alasan kenapa aku ingin kau menemui orang itu. Dan ini cukup ada hubungannya dengan temanmu yang mantan FBI itu."
Informasi itu membuat raut Bram yang keras perlahan melembut. Tahu kesempatan telah terbuka, Berger langsung duduk di depannya dan mulai menyerocos.
"Kau tahu kalau Tuan Tanner memiliki seorang puteri?"
Menghela nafas dalam, Bram menegakkan tubuh dan menyender di kursi besarnya. Sambil menyilangkan tangan di depan d*da, ia mengangguk.
"Ya. Dia pernah sedikit menceritakannya. Dia punya satu puteri yang sekarang tinggal di Amerika."
"Kau tahu siapa namanya?"
Kening Bram sedikit berkerut dan ia mengangguk kembali. "Kalau tidak salah, namanya Anna."
Senyum lebar mencurigakan Berger, membuat kening Bram semakin dalam mengerut. Ia mulai tidak sabar.
"Apa yang sebenarnya ingin kau katakan, Berg? Kau tahu aku tidak punya waktu meladeni permainanmu. Aku sibuk sekarang."
Melihat Bram akan kembali ke laptop-nya, salah satu tangan Berger sigap akan menutup benda pipih itu. Dan seperti yang diduganya, refleks temannya terlalu baik untuk dikelabui.
Mencengkeram pergelangan tangan Berger, Bram bertanya dengan nada sangat dingin.
"Apa MAUMU?"
Masih belum meninggalkan senyuman di wajahnya, Berger berkata santai. "Lepaskan tanganmu dulu."
Mata Bram semakin memincing. Cengkeramannya menguat. "Katakan maumu, Berg."
Melihat tangannya mulai memerah dan terasa kebas, Berger memutuskan mengalah.
"Baiklah, tapi lepaskan tanganmu dulu. Aku masih membutuhkannya."
Bukannya menjawab, Bram malah semakin mer*mas tangan pria di depannya. Cekalannya seperti besi dan warna tangan itu mulai berubah menjadi ungu.
"Bram!"
"Katakan maumu dulu."
"Baiklah! Baiklah! Ini ada hubungannya dengan Anna yang itu! Anna-mu!"
Kata-kata itu membuat Bram melepaskan cengkeramannya. Ia terdiam sejenak dengan raut datar, sebelum berkata dengan nada penuh tuduhan.
"Kau menyelidikinya?"
Mengibas-ngibaskan tangannya untuk mengembalikan peredaran darahnya, Berger menatap Bram sebal.
"Kau akan berterima kasih aku sudah melakukannya!"
Menutup laptop di depannya, Bram menumpukan kedua telapak tangannya ke atas meja.
"Kau menerobos privacy-nya, Berg. Jangan lakukan itu lagi."
Tiba-tiba, Bram berdiri dan mengambil jaket casual-nya dari tiang gantungan.
"Kau mau pergi kemana? Aku belum selesai bicara!"
Menoleh sebentar pada Berger, Bram mendesis sinis. "Aku tahu apa yang akan kau katakan, tanpa kau mengeluarkan satu patah kata pun dari mulutmu. Annabelle Reyes adalah Anna Tanner. Keduanya adalah orang yang sama. Anak dari Francis Tanner dan dia sekarang bekerja di CNC sebagai Public Relations."
Tidak menghiraukan temannya sama sekali, Bram membanting pintu kantornya kencang. Ia meninggalkan Berger yang masih terduduk melongo di kursinya.
Setelah pulih dari keterkejutannya, terdengar kekehan pelan dari pria itu. Ia mengusap salah satu telinganya.
"Sepertinya ini akan menarik. Aku yakin, dia pasti mau untuk datang ke sana."
Sementara itu, Bram melajukan kendaraannya menuju suatu tempat. Setelah menempuh perjalanan selama 30 menit, akhirnya ia pun mencapai tujuannya. Membuka pintu mobilnya, pria itu menoleh dan memandang sekitarnya. Suasana tampak sepi dan sedikit berkabut. Hampir tidak ada pengunjung yang datang pagi ini.
Merapatkan jaketnya, uap dingin keluar dari lubang hidung dan mulutnya. Ia mulai melangkah pelan.
Bunyi gemerisik daun dan rerumputan yang diinjaknya memasuki telinga pria itu. Selain suara langkahnya sendiri, hampir tidak ada suara lain yang terdengar. Suasana benar-benar sepi.
Langkah kakinya akhirnya berhenti di sebuah lokasi pemakaman yang cukup baru. Menghembuskan kembali nafasnya yang beruap putih, Bram menunduk ke bawahnya.
"Halo, Frans. Aku datang lagi."
Berjongkok di depan makam itu, dengan lembut Bram mengusap nisannya. Terbaca nama seseorang di sana, beserta tahun kelahiran serta kematiannya.
Ingatannya kembali ke beberapa tahun lalu, ketika ia berada di tempat yang sama tapi dengan situasi yang berbeda. Masih lekat di benaknya, gambaran sosok seorang wanita cantik berambut pendek yang saat itu berdiri di depannya. Wanita itu menangis anggun, dan meletakkan sebatang mawar di atas makam ayahnya.
Saat itu ia sebenarnya ingin menghampiri wanita itu, menyampaikan belasungkawa-nya. Tapi beberapa tamu lain yang mengelilinginya, membuat Bram mengurungkan niatnya. Ia memang mengenal ayahnya, tapi ia sama sekali tidak mengenal wanita itu. Mereka adalah orang asing.
Kembali mengusap nisan di depannya, Bram berkata dalam hati.
'Francis. Akhirnya aku jatuh cinta. Aku bisa jatuh cinta lagi dan kau tahu, siapa yang aku cintai? Aku ternyata mencintai puterimu sendiri. Apakah kau memang malaikat yang diturunkan oleh Tuhan untukku? Di saat aku sudah hampir kehilangan kepercayaan pada-Nya, kau muncul dan membimbingku. Dan sampai kematianmu pun, kau tetap berusaha untuk menjagaku. Bagaimana aku membalas budi baikmu?'
Semakin menunduk, untuk pertama kalinya sejak kejadian buruk dahulu, Bram memanjatkan doa kembali. Hari ini, pria itu seolah mendapatkan lagi rasa imannya yang dulu sempat hilang.
Beberapa bulan kemudian, kedua pria itu terbang ke Amerika untuk menghadiri undangan acara ulang tahun perusahaan CNC yang ke-100. Di saat rekannya dengan luwes berbaur bersama kerumunan orang-orang di sekelilingnya, Bram justru menghindari keramaian dengan pergi ke balkon.
Baru saja kakinya menyentuh lantai balkon, ia melihat pemandangan yang membuat akal sehatnya hampir menghilang. Wanita yang dicarinya sedang berada di pelukan seorang pria. Dan pria itu adalah salah satu orang yang paling dibencinya seumur hidupnya.
Berusaha mengendalikan amarahnya, Bram meletakkan gelas tingginya di meja sudut. Perlahan, ia menutup pintu ganda di belakangnya dan membuat pria di depannya menoleh kaget.
"Siapa kau!?"
Bayang-bayang gelap yang melingkupi sosok Bram perlahan menghilang, saat pria itu melangkah mendekati pria br*ngsek di depannya. Ia yakin pria ini br*ngsek, karena ternyata wanita berambut pendek itu dalam kondisi sempoyongan. Keributan kecil ini tampak membuat wanita itu tersadar dan segera melepaskan diri dari pelukan pria berjas di sampingnya. Tapi tiba-tiba, tubuhnya luruh dan jatuh ke bawah. Dia pingsan.
Dua pria di depannya berteriak bersamaan, "ANNA!?"
Belum juga sampai di tempat Anna, d*da Bram ditahan oleh tangan pria di depannya. Tatapannya berang.
"Jangan berani kau mendekat padanya, br*ngsek!"
Balas mendorong pria berjas itu mundur, Bram menyeringai. Giginya terlihat putih dibalik jenggotnya.
"Aku yakin kalau kau-lah orang br*ngsek di sini, Benjamin! Apa yang sudah kau lakukan padanya?"
"Apa! Kau-"
Kata-kata balasan tertahan di lidah Ben saat ia mulai menyadari siapa orang di depannya ini. Sepasang mata gelap di balik kacamata itu sangat familiar. Demikian pula bentuk hidung dan mulut yang ada di balik jenggot tebal itu. Menelusuri tubuh pria itu dari atas ke bawah, raut lelaki itu memucat.
"Abe... Abraham...?"