1. Awal kecurigaanku

1036 Kata
"Aku tuh rindu sekali padamu, Mas," ucap sahabat Mas Salman saat berkunjung ke rumah kami. "Kamu sibuk banget akhir-akhir ini sampai tak pernah mampir ke apartemenku," ucapnya lagi pada Mas Salman dengan nada sangat manja yang membuatku sedikit merinding. "Iya sayang, maafkan Mas ya. Mas janji deh nanti malam mampir ke apartemen kamu. Mas juga sudah sangat rindu pada belaianmu, he he." Kata-kata itu terus terngiang di telingaku dan terus bergelayut di pikiranku saat memikirkan apa arti dari semua itu. Aku hanya mampu mematung dan mencerna dengan baik apa yang aku dengar tadi. Aku pun terus memutar memori kehidupan rumah tanggaku dengan Mas Salman yang sudah 2 bulan lamanya tapi Mas Salman bahkan belum pernah menyentuhku. Ya, aku Ana Risty, wanita yang sudah menikah 2 bulan lalu tapi nyatanya aku masih saja perawan. Mas Salman selalu berdalih jika dirinya sangat cape akibat pekerjaannya yang selalu banyak. Dan belum bisa menyentuhku karena mempunyai sedikit trauma di masa lalu. Aku sendiri tak ingin mempermasalahkan hal itu karena takut jika Mas Salman menganggapku istri yang tak bisa mengerti pada suaminya. Hari ini suamiku kedatangan tamu bernama Mas Sandy. Yang aku tahu mereka adalah sahabat yang sangat dekat. Bahkan saat pernikahan kami di langsungkan, Mas Sandy lah yang sangat sibuk mengatur dan mengurus segala keperluannya. Mas Salman bilang agar aku bisa fokus pada diriku dan tak sibuk dengan urusan pernikahan kami yang lain. Aku menyambut Mas Sandy dengan suka cita karena memang aku pun sudah sedikit kenal dan akrab dengannya. "Aku ambilkan dulu minum ya, Mas Sandy. Mas Sandy mau minum apa?" "Apa aja aku minum ko, he he," ujarnya dengan tawa sedikit gemulai. "Aku itu apa aja masuk An, he he," ujarnya lagi dengan gurauan seperti biasa. Sekembalinya dari dapur, aku mematung dan tak berani meneruskan langkah kakiku saat aku dengar obrolan suamiku dengan Mas Sandy. Bahkan aku meraba-raba dadaku yang sesak akibat ucapan mesra suamiku pada seorang pria yang katanya sahabatnya itu. Entah karena lupa atau tak sengaja ucapan mereka sedikit kencang membuat aku sangat jelas mendengar obrolan mereka yang menjijikkan. Aku tak jadi membawa minuman itu pada Mas Sandy. Aku berlari ke kamarku dengan beribu pemikiran yang masih sangat tabu bagiku. Entah apa yang ada dalam benakku saat ini yang ku tahu hanyalah sesak tak berarti. "Ya Allah ... aku tahu apa yang aku lakukan sekarang ini salah. Tapi aku tidak punya tempat berbagi selain Mas Azzam." Aku mengirim pesan pada sahabat baikku, aku pun membuka balasan dari pesan yang aku kirim pada Mas Azzam. {"Kamu jangan buru-buru bersuudzon dan mencurigainya yang tidak-tidak, An. Mungkin mereka bercanda."} Itulah balasan dari Mas Azzam perihal pesan yang aku kirim. Aku tahu jika seharusnya aku tidak terburu-buru mengambil kesimpulan yang buruk itu pada suamiku. Akan tetapi, apa yang terjadi dalam pernikahanku selama 2bulan bersama Mas Salman menunjukkan ketidak beresan dalam rumah tanggaku. Aku pun menghembuskan napas dengan berat. Aku teringat kembali pada Ibu yang masih terbaring lemah di rumah sakit akibat penyakit yang telah lama diderita oleh Ibu. Akhirnya aku pun pasrah dan kembali mengubur pikiran burukku pada Mas Salman. "Ana, kok kamu tidak jadi bawa minuman pada Sandy sih? Sandy sampai kehausan menunggu minuman yang kamu bawa." Mas Salman seperti sangat kesal padaku. "Kamu kok mulai bertingkah sih, An." Aku pun menatap Mas Salman sedikit tak mengerti. "Apa maksudmu aku bertingkah Mas?" Mas Salman menatapku dengan sinis. "Sudahlah, An. Aku capek aku males berdebat denganmu," ucapnya dengan langsung memasuki kamar mandi. Aku pun menatap kepergian suamiku itu dengan penuh tanda tanya. Tanda tanya dengan penuh kebingungan karena aku rasa jika suamiku tidaklah mungkin tak menyukaiku sebagai seorang pria kepada seorang wanita. Aku memang tidak dikatakan seperti primadona, tapi jika aku bandingkan dengan teman-temanku di desa, aku termasuk wanita yang mempunyai wajah cantik. Aku pun sangat bangga ketika aku bisa bersanding dengan Mas Salman. Pria keturunan Timur Tengah yang mempunyai hidung mancung serta berperawakan gagah, tinggi besar. Apalagi Mas Salman termasuk salah satu pengusaha hebat dan pewaris dari keluarga Emir yang terkenal akan kekayaan dan kesantunannya. Kemapanan itu pula'lah membuat Mas Salman terlihat semakin tampan dan gagah. Fisik yang nyaris sempurna, kekayaan yang berlimpah serta bibit bobot keluarga yang baik. Membuatku merasa menjadi orang yang sangat beruntung bisa menjadi istri seorang Salman Emir. Namun, nyatanya keberuntungan itu tak jua aku dapatkan dalam rumah tanggaku bersama Mas Salman. Selama menjadi istri dari Mas Salman, aku memang tidak di perlakukan buruk oleh Mas Salman. Hanya saja, kebutuhan bathin yang tak pernah di berikan oleh suamiku. Bayangan menjadi seorang wanita yang paling beruntung itu pun hanya sebatas angan-angan saja. Karena nyatanya sudah dua bulan lamanya kami menikah, aku masih perawan. Suamiku tak pernah merasa ingin menyentuhku walaupun aku memakai pakaian yang menurut keluarganya itu bisa menyukseskan malam pengantin kami. Hari berganti hari aku lalui seperti biasanya tak pernah merasa curiga lagi pada suamiku. Aku pun sudah melupakan ucapan dan obrolan menjijikan antara suamiku dengan Mas Sandy hari itu. Namun, ternyata Allah ingin sekali memberitahuku apa rahasia besar dari suami tampan dan gagah ku itu. 'Mas Salman?' batinku saat aku melihat Mas Salman tengah makan malam bersama Mas Sandy di satu restoran ternama di ibukota. Padahal aku tahunya jika saat ini Mas Salman tengah berada di luar kota. "Sa, aku ke toilet bentar ya," ucapku pada Elsa teman baikku yang kini tengah makan malam bersamaku. "Ooh siap, An." Aku pun berjalan menuju tempat Mas Salman dan Mas Sandy berada. Aku melihat mereka dari kejauhan untuk memastikan jika itu memang benar Mas Salman. Sampai akhirnya tak lama mereka pun beranjak dan pergi dari restoran itu. Aku kembali berlari memasuki taksi untuk mengikuti mereka. Pikiran burukku kembali menghampiri dan menggelayut dalam pikiranku. Dengan perasaan cemas serta takut aku terus mengikuti mobil yang dikendarai Mas Salman. Tiba di satu hotel ternama di ibukota pula mobil mereka berhenti. Jantung dan pikiranku pun tak karuan menerka semua hal buruk yang akan terjadi setelah ini. Apalagi Mas Salman saat ini tengah berbohong padaku jika dirinya tengah berada di luar kota. Nyatanya saat ini Mas Salman tengah berada di hotel bersama Mas Sandy. "Ya Allah ... walaupun ini menyakitkan, tapi jika ini adalah untuk kebaikan masa depanku, tunjukkanlah kebenarannya. Agar aku pun tidak terus-terusan berpikiran buruk pada suamiku." Aku memejamkan mata dan menguatkan hatiku untuk menghadapi kemungkinan buruk yang akan terjadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN