4. Tak punya pilihan

1034 Kata
"Lepasin dia, atau aku akan merubuhkan tempat ini sekarang juga!" Pria bernama Zio itu hendak menghampiri Mas Salman, tapi di cekal oleh Ririn. Ririn menghampiri Mas Salman. "Tuan, tenanglah! Apa Anda juga ingin memboking Ana? Anda bis-" "Lepasin istriku, atau aku akan menutup tempat ini sekarang juga!" Mas Salman menatap Ririn dengan Ririn. "Kamu tahu siapa saya? Salman Emir, dan wanita itu adalah istriku." Ririn membekap mulutnya terkejut. Tentu saja mereka tahu siapa keluarga Emir, pengusaha paling berpengaruh di kota itu. Walau pun mereka tidak pernah ikut campur urusan club', tapi Ririn tahu resiko yang akan di tanggungnya karena berurusan dengan keluarga Emir. ***** Sepanjang perjalanan aku hanya bisa terisak. Menangisi hidupku yang begitu pahit. Setelah aku di sesak oleh kenyataan dari Mas Salman. Kini aku pun di buat sesak karena hampir saja kehilangan harga diri karena kebodohanku yang percaya begitu saja pada Ririn. Entah apa yang Mas Salman bicarakan tadi dengan wanita bernama Mami Sela. Karena Mas Salman langsung membawaku ke mobilnya. Yang jelas aku melihat Mas Salman seperti tengah bertransaksi dengan pemilik klub itu. Entahlah, aku pun tidak ingin memikirkannya lagi. Yang aku tahu aku bersyukur Mas Salman datang tepat waktu. Jika tidak, mungkin aku sekarang sudah kehilangan keperawanan bukan oleh suamiku. "Kamu bilang kamu bisa tanpaku, Ana? Yang ada kamu malah merepotkan'ku," kata Mas Salman pada akhirnya. Walau hatiku lelah, aku menoleh pada Mas Salman. "Apa maksudmu, Mas?" Mas Salman kembali menyeringai sambil terus menyetir. "Kamu pikir saya ambil kamu dari tempat tadi gratis?" Dadaku kembali kembang kempis mendengar ucapan Mas Salman. Pemikiran buruk lain pun berdatangan di benakku. Sungguh aku ingin sekali berteriak jika saja aku mau Mas Salman semakin mengejekku. "Kamu sudah buang-buang waktu juga uangku 100 juta untuk menebusmu pada wanita tua itu." Aku membelalakkan mata terkejut. "100 juta, Mas?" Mas Salman menoleh padaku. "Ingat, Ana. Waktumu hanya satu hari. Kamu harus bisa mengembalikan uang itu juga membayar pengobatan ibumu setelah 24 jam dari waktu yang tadi aku tetapkan." Aku meremas jok mobil yang aku duduki sekarang. Baru saja aku bahagia karena Mas Salman berhasil menyelamatkan'ku dari palacuran. Kini, Mas Salman membuatku mati kutu kembali karena harus mengembalikan uang yang dipakainya untuk menebusku dari Mami Sela. "Kenapa kamu kejam sekali padaku, Mas? Apa salahku padamu?" sentakku dengan amarah yang menggebu-gebu walau nyatanya Mas Salman begitu santai menghadapi amarahku. "Sudah lah, Ana. Aku tidak ingin lebih banyak lagi membuang waktuku hanya untuk mengurusimu." Mas Salman keluar dari mobilnya dan membukakan pintu untukku. "Turun! Saya masih ada urusan. Lagi pula ini sudah malam, kamu istirahatlah. Dan mulai kembali memikirkan cara untuk mengembalikan uang padaku," ucapnya kembali menyeringai puas karena telah kembali menjeratku. "Aaakkkhh ... hiks, hiks, kenapa kamu setega ini, Mas? Padahal aku begitu memujamu." Aku meremas dadaku yang teramat sesak. Aku menarik napasku berat. Demi apapun ujian ini sungguh berat. Dengan langkah gontai aku kembali masuk ke rumah sakit karena Mas Salman menurunkan aku di jalan dekat rumah sakit Ibu di rawat. Menyesal, sungguh menyesal karena lagi-lagi aku tertipu oleh perlakuan baik Mas Salman. Mungkin memang benar Mas Salman sudah berhasil membawaku dari tempat haram tadi. Nyatanya, Mas Salman memang memanfaatkannya untuk kembali menjeratku. Kini beban yang harus aku hadapi semakin bertambah karena aku harus mendapatkan uang lain untuk menggantikan uang Mas Salman. "Bagaimana mungkin aku bisa mengembalikan uang itu dalam waktu 12 jam." Aku mengusap wajahku mengingat waktu yang di berikan Mas Salman hanya 12 jam lagi. Aku menarik napas dengan begitu panjang dan dalam sambil terus berpikir apa yang harus aku lakukan sekarang. Apa aku harus diam dalam kebodohan mengikuti keinginan dari suamiku? Aku bingung karena aku tidak punya tempat untuk mengadu. Aku pun tidak mungkin menceritakan semuanya pada ibu juga ayah mertuaku karena jika itu terjadi, maka semua alat yang ada di tubuh Ibu saat ini sudah di pastikan tidak terpasang lagi. "Astagfirullah Robbi." Aku mengusap wajahku dan menyeka air mata yang terus-menerus mengalir itu, dengan segenap jiwa dan raga aku bangkit dan memutuskan untuk tidak pulang dan akan tidur di rumah sakit bersama Ibu. ****** "Apa kamu masih belum menyerah, Ana?" Terdengar suara Mas Salman yang berteriak. Aku pun mengerjapkan mata dan membuka mataku yang masih sembab. Semalaman, ya, hampir semalaman aku menangis dalam sujudku pada sang Ilahi, terakhir aku menangis di samping ibuku yang masih terbaring lemah. Ibu, hanya ibu yang membuatku harus bertahan dengan perjanjian batil yang diminta oleh suamiku. "Apa kamu sudah siap ibumu sekarat karena semua alat yang membuatnya masih hidup di lepas, Ana?" Mas Salman menatapku dengan senyum penuh ejekan. "Tepat jam 08.00, kamu sudah menghabiskan waktu 12 jam untuk berpikir, Ana. Jadi, pastikan kamu sudah siap untuk kehilangan ibumu, 12 jam dari sekarang." Aku menatap Mas Salman tak percaya. Bagaimana mungkin pria baik hati berstatus suamiku itu tega mengancamku seperti itu. Perih, sesak dan bingung menjadi satu karena tak mungkin aku bisa mencari jalan lain untuk pengobatan Ibu yang tak sedikit jumlahnya hanya dalam waktu 12 jam lagi. "Kamu kejam, Mas! Kamu kejam!" Aku memukul tubuh Mas Salman, tak tahan dengan sikapnya yang tak punya hati itu. "Sssttttt ... hentikan, Ana!" Mas Salman menyimpan jarinya di bibirku. "Karena marahmu hanya membuang-buang waktu untuk ibumu bernapas, hihihi." Mas Salman semakin membuatku murka pada tawa seringainya. "Aku enggak akan nyerah, Mas! Aku yakin Allah akan membantuku ke pergi dari manusia tak punya hati sepertimu!" "Baiklah, kalau begitu saya tunggu 12 jam dari sekarang, jam delapan malam nanti aku ke sini lagi. Dan aku pastikan kamu sudah siap dengan semuanya, Ana." Mas Salman mengedipkan matanya mengejekku lalu beranjak pergi meninggalkan rumah sakit. Aku kembali meremas dadaku. Sungguh sesak tak berkesesudahan dan itu adalah perbuatan suamiku sendiri. Suami yang nyatanya tak mencintaiku dan lebih mencintai sesama jenisnya. Aku berusaha berpikir kembali bagaimana caranya aku bisa mendapatkan uang untuk mengembalikan uang Mas Salman dan biaya pengobatan Ibu sementara. Pikiranku kalut, karena memang tidak ada cara lain. Tabungan yang aku punya pun tak banyak, karena aku memang tidak pernah meminta uang dari Mas Salman dan hanya minta padanya jika butuh. Aku pikir yang terpenting hidupku dan pengobatan Ibu terjamin, maka aku pun tak harus meminta banyak uang pada Mas Salman. "Apa aku harus minta bantuan Mas Azzam?" Aku tak punya pilihan karena waktuku hanya 12 jam lagi dan mungkin sekarang sudah tinggal 11 jam lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN