Aku Menyukaimu, Kenzo!

1085 Kata
14 "Akhirnya nongol juga dia, kirain nggak jadi datang," tukas Mas Steven sambil berdiri dan menyalamiku. "Happy birthday, Adikku yang katanya ganteng, semoga bahagia selalu," imbuhnya sambil menepuk-nepuk pundak. "Makasih, Mas," sahutku seraya mengulaskan senyuman lebar. Selanjutnya Mas Fa, Mbak Yeni dan Bang Ali bergantian menyalami dan mengucapkan selamat hari lahir buatku. Linda yang berdiri paling akhir tampak menyunggingkan senyuman sembari mengulurkan kotak berhiaskan pita merah. "Buatku?" selorohku sembari mengambil benda persegi panjang itu dari tangannya. "Bukan, buat Ijan," jawab Linda sambil mengerucutkan bibir, tetapi kemudian dia tersenyum lagi. "Kita makan dulu, baru nanti dibuka kadonya. Aku sudah lapar," tukas Bang Ali, bertepatan dengan kedatangan tiga pan pizza berukuran besar yang ternyata sudah mereka pesan sejak tadi. Aku hanya bisa mengelus d**a, kala mengetahui berapa banyak uang yang harus dikeluarkan. Namun, aku tidak bisa perhitungan dengan mereka, karena selama beberapa bulan bersahabat kami selalu berbagi bila kebetulan tengah krisis keuangan. "Ken, Mbak punya lagu baru," ujar Mbak Yeni, sesaat setelah semua pesanan sukses berpindah ke perut kami. "Ini, pelajari, besok sore kita coba latihannya," imbuhnya. Aku mengamati file yang dia kirimkan melalui pesan aplikasi hijau, mengerutkan dahi ketika menyadari bahwa lagi-lagi lagu itu berbahasa luar negeri. "Ini ... huruf kanji, ya?" tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari layar. "Hu um, kamu kok tau?" Mbak Yeni balik bertanya. "Waktu SMU dulu pernah mau nyobain nyanyi lagu rock berbahasa Jepang," jelasku. "Bacanya bisa?" sela Mas Fa, senyuman melebar di wajahnya ketika aku menggeleng. "Padahal namamu itu nama orang Jepang," ungkapnya, kemudian terkekeh. "Nama doang, Mas. Kata Mama sih, karena waktu itu lagi demen pakai parfum Kenzo daun," sahutku seraya mengulum senyum. "Kayaknya orang tuamu unik orangnya, anaknya aja begini." Bang Ali yang duduk di sebelah kanan menepuk pundakku beberapa kali. "Benar banget itu, Bang. Aku lebih nyaman ngobrol dengan mamanya Kenzo daripada dengan mamaku sendiri," timpal Aleea, yang seketika membuat kelima orang tersebut menatapku dengan penuh tanya. "Ehm, kamu sering bertemu orang tua Kenzo?" tanya Mbak Yeni. "Nggak sering sih, baru beberapa kali. Tapi beneran asyik. Ngobrolnya nyambung, nggak menggurui, kayak lagi ngobrol sama teman aja," jelas Aleea sembari melirikku yang seketika merasa salah tingkah. Selanjutnya, obrolan kami berpindah ke hal yang lain. Tanpa sadar aku menoleh ke kiri dan bersirobok dengan sepasang mata beriris hitam sipit milik Linda, yang kemudian membalas pandangan seraya mengulum senyum. *** "Ken." "Hmm." "Kamu ngindarin aku, ya?" "Nggak." "Alah, ngaku aja!" "Enggak, Lea. Belakangan ini emang pulang kuliah aku harus buru-buru pulang. Mama sama Papa lagi sibuk sama toko baru, kasihan Khanza sama Kai nggak ada yang nemenin di rumah." Hening kembali. Aku bisa merasakan gadis di belakang itu tengah bergerak-gerak, entah sedang melakukan apa. Hal yang membuatku deg-degan, karena sesuatu yang lembut makin terasa lengket di punggung. "Aku belum mau pulang. Mampir ke rumahmu, boleh?" "Ehm, boleh. Tapi nanti kita mampir di toko, ya. Biar Mama tahu kalau kamu ada di rumah." "Okeh. Sekalian mampir ke mini market depan komplek, aku mau beliin Khanza es krim." "Abangnya yang ganteng ini nggak dibeliin?" "Kamu kan udah punya duit, beli sendirilah." Aku mesem-mesem, sementara suara cekikikan Aleea makin mengencang. Mungkin dia bahagia telah berhasil mengerjaiku. Kala kami tiba di toko, suasana sangat ramai. Niat untuk mampir sebentar akhirnya ditangguhkan, karena aku tidak tega melihat Mama dan Papa sibuk melayani pembeli karena dua asisten toko tengah izin tidak masuk kerja karena sakit. Aleea pun ikut membantu tanpa sungkan. Dengan cekatan dia beralih profesi sebagai kasir dadakan, hingga tanpa terasa sudah satu jam kami berada di toko dan sudah waktunya untuk menutup tempat usaha. Setibanya di rumah, Khanza berseru kegirangan karena mendapatkan es krim kesukaan. Dengan akrab adikku yang manis itu menyandarkan tubuh ke lengan Aleea dan mengobrol dengan seru. "Aleea, nanti malam ikut kan?" tanya Papa, sesaat setelah menghempaskan tubuh di kursi tunggal favoritnya. "Ke mana, Om?" Aleea balik bertanya. "Restoran baru, Angsa Ngojai." Papa mengalihkan pandangan padaku yang langsung menelan ludah karena tahu apa arti tatapannya itu. "Kenzo nggak ngajak." Aleea pun turut memandangi dengan sorot mata penuh intimidasi. Hal yang sama juga dilakukan oleh Mama, bahkan Kai dan Khanza pun ikut menghakimi dengan pandangan sebegitu rupa dan membuatku makin salah tingkah. Aku tersenyum canggung sambil menggaruk-garuk belakang kepala. "Ini baru mau ngajakin," kilahku. "Anterin aku ke mobil!" titah Tuan Putri Aleea. "Aku baru duduk," sanggahku. "Ya, udah, lima menit lagi kita berangkat." Gadis itu memasang tampang masam yang membuatku membatin. Papa dan Mama saling beradu pandang, kemudian sama-sama melebarkan senyuman, mungkin bahagia melihatku menjadi objek penderita. Dengan sangat terpaksa, aku kembali menyusuri jalan yang baru beberapa menit lalu kami lewati. Saat tiba di tempat parkir kampus, suasana sekitar sangat sepi. Hanya tersisa beberapa motor dan mobil yang masih terparkir di sana. Aleea menyelipkan selembar uang biru pada sang petugas keamanan yang menerima dengan wajah semringah. Gadis berambut panjang itu bergerak memasuki kendaraan, menyalakan mesin dan membuka pintu lebar-lebar. "Untung aku bawa baju ganti," ujarnya sambil mengangkat tas travel biru tua dari kursi belakang. "Aku boleh numpang mandi kan?" tanyanya. "Di rumahku?" "Ya, iyalah, masa rumah tetangga." "Oh, boleh, tapi bayar, sepuluh ribu." "Ken." "Hmm?" "Pelit banget!" "Mau gratis?" Aleea menaikkan alis sambil bercekak pinggang. "Jadi pacarku dulu, nanti sekalian dimasakin air panas buat mandi." Selanjutnya adegan film Bollywood menjadi tontonan keempat petugas keamanan yang memandangi kami sembari terbahak. Aku berusaha menghindari kejaran Aleea hingga tidak menyadari bila di depan ada selokan kecil. Brrruuukk! Kaki kanan terperosok dan tubuhku sukses bertemu aspal. Sambil meringis menahan sakit sekaligus malu, aku mengangkat kaki dan mengusap bagian tulang kering yang terasa nyeri. Bukannya menolong, Aleea malah memanfaatkan kesempatan itu untuk mendaratkan pukulan bertubi-tubi di sekujur tubuhku yang bisa terjangkau olehnya. "Aduh! Ampun! Udah dong, Lea, sakit!" pintaku sembari meringis. "Rese sih! Puas!" sentaknya sambil berlutut dan mengangkat ujung jeans-ku hingga terlihat bila kulit sepanjang tulang kering itu terkelupas. "Tunggu di sini!" titahnya sembari bangkit dan lari ke mobil. Yaelah, Neng! Pastilah aku nunggu di sini. Lagi susah gerak juga. Aleea kembali sambil membawa kotak putih persegi panjang dan berlutut di hadapan. Dengan terampil dia membersihkan sekaligus membubuhkan obat ke atas luka, yang membuatku menggertakkan gigi saat sensasi nyeri itu terasa. "Ini, obatin juga dong," pintaku sambil menunjuk pipi kanan. "Dih! Modus banget kamu itu!" sungutnya. "Pake ini aja ngobatinnya." Aku langsung menggeleng ketika dia mengepalkan tinjuan. Sejenak hening, kami saling beradu pandang dalam diam. Sudut bibirnya tertarik ke atas membingkai sebuah senyuman, sebelum kemudian dia mendekatkan diri dan mengecup pipiku. "Aku menyukaimu, Kenzo," bisiknya sambil menarik diri. "Dan, ya, aku mau jadi pacarmu," imbuhnya yang membuatku tercengang sekian detik, sebelum akhirnya aku mendekap tubuhnya erat. Eeeaaaa!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN