Kembar?

1040 Kata
10 Hari ini seharusnya aku bisa bangun siang. Akan tetapi, sepertinya Mama tidak mau membiarkanku menikmati liburan dan berusaha sedapat mungkin untuk membuatku sibuk. Mulai dari menemaninya ke pasar, bantu menyiapkan kotak-kotak berisi pesanan pelanggannya, hingga mengantarkan puluhan kotak itu bersama dengan Kai. Berboncengan dengan hati-hati menuju komplek perumahan yang sebetulnya tidak terlalu jauh dari rumah, tetapi karena aku tidak diperkenankan untuk mengebut, jarak pendek yang ditempuh itu seakan-akan sangat jauh. Kompleks yang kami tuju ini merupakan cluster baru yang ternyata belum terlalu banyak penghuninya. Saat kami tiba di alamat tujuan, aku dan Humaira sama-sama melongo, sebelum kemudian tertawa tanpa alasan yang jelas. "Ini rumahmu?" tunjukku pada bangunan dua lantai yang sepertinya baru selesai direnovasi itu. Karena bangunannya sudah sangat berbeda dari rumah di sekitar. "Iya, aku baru pindah seminggu di sini, Ken," jawab gadis berjilbab putih itu seraya mengulaskan senyuman manis. "Oh, pantes. Ehm, terus ini buat apaan?" Aku menunjuk ke tumpukan kotak yang baru diletakkan Kai di teras rumah tersebut. "Buat acara pengajian nanti ba'da Asar. Mamaku lagi kurang sehat, mungkin kecapean pindahan. Jadinya mesen aja. Nggak tau kalau ternyata kamu yang punya toko kue." "Bukan aku, tapi Mama." "Hu um. Yuks, masuk dulu." Aku beradu pandang dengan Kai yang menjawab dengan mengangkat bahu. Merasa tidak enak untuk menolak, akhirnya aku memutuskan untuk menerima ajakan Humaira dan masuk ke ruang tamu yang tampak cukup besar. Beberapa karpet tebal dihamparkan di ruangan tersebut. Saat kami masuk, seorang perempuan remaja yang juga mengenakan jilbab putih, tampak tersenyum malu-malu. "Kenalin, ini adikku, Hestiana," ucap Humaira. "Ini teman sekampus kakak, namanya Kenzo. Dan itu ...." Humaira memandangi Kai yang seketika mengulurkan tangan sembari menyebutkan nama panjangnya yang unik. "Kaidavani? Keren ihh!" seru Humaira yang tak ayal membuat adikku itu memamerkan dua lesung pipi di wajahnya. "Kerenan abangnya dong," sahutku. Humaira mendelik, kemudian menggeleng pelan. "Duduk dulu, kubikinin minum." Gadis itu melenggang masuk sembari menggandeng tangan sang adik. Tak lama kemudian, seorang laki-laki remaja memasuki ruangan dan mengangguk sedikit pada kami, sebelum melanjutkan langkahnya memasuki ruangan dalam. Aku refleks menoleh pada Kai yang memasang ekspresi bingung. Kami saling beradu alis, seakan-akan tengah berbicara dengan menggunakan kode morse. Kala Humaira tiba sambil membawa nampan berisi dua gelas air hijau dengan bongkahan es di dalamnya, dia tampak bingung melihat cara kami berkomunikasi. "Ra, yang barusan masuk itu siapa?" tanyaku, benar-benar tidak bisa menahan rasa penasaran. "Adikku, Herdi," jawab Humaira sembari duduk bersila di sebelah kananku. "Kok mukanya mirip sama Hesti?" Tiba-tiba Humaira tertawa, sepintas mirip suara kucing tengah bernyanyi seriosa. Aku dan Kai saling beradu pandang, bingung dengan reaksi Humaira yang sama sekali tidak terduga. "Mereka kembar, Ken," jelas Humaira, sesaat setelah puas tertawa. "Hesti lahir tiga menit lebih awal daripada Herdi," imbuhnya yang membuatku mengangguk paham. "Kembar satu indung telur berarti," timpalku. "Hu um, beda dengan Afgan dan Akhtar, mereka kembar beda indung telur, jadi wajahnya nggak sama banget. Beda warna kulit juga." "Siapa itu Afgan dan Akhtar? Penyanyi?" "Bukan, tapi adiknya Lista. Tokoh di n****+ Author yang judulnya Kunikahi Dia Karena Janji." Aku manggut-manggut, demikian pula dengan Kai. Padahal aku yakin bila dia pun sama-sama tidak tahu bila ada tokoh cerita itu, karena aku cuma baca yang komedi action thriller mix horor, seperti Perempuan Bergaun Cempaka dan Pengejar Hantu. *** Malam ini, aku akhirnya bisa menghabiskan waktu bersama keluarga. Berkunjung ke rumah makan favorit Mama yang juga merupakan saksi mata saat Papa dan Mama masih pacaran dulu. Khanza berceloteh riang tentang dunianya yang terdiri dari sekolah, main, tidur dan jajan. Adik bungsuku itu kuat banget jajannya. Enggak peduli Mama ngomel-ngomel, dia selalu punya trik jitu untuk mendapatkan uang tambahan dariku, Papa, bahkan dari Mbak Parmi. Semenjak punya penghasilan sendiri, aku dibebaskan memegang uang seperempatnya oleh Mama. Sisanya beliau yang simpan, tentu saja untuk bekal hidupku nanti. Karena Papa dan Mama selalu menolak bila aku ingin memberikan sedikit rezeki buat mereka, akhirnya bagian yang telah disisihkan itu kugunakan untuk acara jalan-jalan seperti ini. Kalau untuk urusan makan, orang tuaku enggak bakal menolak. Mereka hanya tidak mau diberi uang dalam bentuk lembaran Soekarno-Hatta. Mungkin akan diterima kalau yang kuberikan itu lembaran poundsterling. "Aleea kok udah nggak pernah main ke rumah? Mama kangen," ucap perempuan kesayangan, yang sukses membuatku tersedak daging steak. "Baru juga disebut namanya, Abang udah begitu," ledek Papa seraya mengulaskan senyuman lebar. "Abisnya, Mama nanya tiba-tiba gitu. Abang kan jadi kaget," timpalku, sesaat setelah berhasil menelan potongan daging berbumbu tersebut. "Mungkin lagi repot dia, Ma. Abang juga jarang ketemu," sambungku. "Minggu depan, ajak ke rumahlah. Sama teman-teman Abang yang lain juga. Mama mau ngadain syukuran." "Syukuran apaan?" tanyaku. "Mama udah beli toko sebelah. Rencananya yang itu khusus buat warung nasi. Langg*anan mama udah banyak yang minta catering makanan berat sebagai pendamping kue-kue. Jadi kayak one stop shopping gitu, Bang." "Alhamdulillah. Ehm, uang abang boleh dipakai buat nambahin modal Mama." Mama tiba-tiba berhenti mengunyah dan memandangiku dengan lekat. "Beneran boleh?" "Iya, abang kan belum mau pakai sekarang." "Ya udah, kalau gitu mama jadiin buat biaya ngecat aja. Nanti mama ganti." Aku mengangguk mengiakan, tidak berani menolak permintaan beliau. Sekarang disetujui aja dulu, urusan menolak penggantian itu belakangan. Daripada didebat, bisa-bisa omelan Mama bakal sepanjang gerbong kereta api. Perjalanan pulang menuju rumah, aku sengaja melambatkan kendaraan dan membiarkan motor Papa melewati kami. Saat aku menghentikan kendaraan di depan sebuah mini market, Kai yang ikut membonceng tampak bingung. "Ikut nggak?" tanyaku. "Abang mau beli apaan?" Kai balas bertanya. "Kosmetik." "Ha?" "Udah, buruan ikut." Adikku yang ketampanannya satu tingkat di bawahku itu tampak antusias berbelanja. Memasukkan aneka gel rambut, deodoran, parfum, pembersih wajah, hand body dan masker dengan berbagai variasi. "Buat apaan itu masker, Kai?" "Buat mukalah, Bang. Masa buat jempol kaki." "Iya, tau. Tapi ngapain kamu pake gituan?" "Mukaku sekarang bruntusan, Bang." "Kok bisa?" "Kata Papa sih karena hormon remaja. Abang dulu juga sama." "Masa? Perasaan mukaku dari dulu mulus terus." Kai mencebik, kemudian melanjutkan acara berbelanjanya dengan memasukkan beberapa kudapan yang pastinya buat Khanza. Suara ribut-ribut di depan mini market membuat kami serentak menoleh. Aku dan Kai meletakkan keranjang belanja kami ke atas meja kasir. Kemudian kami sama-sama melongok ke luar untuk melihat ada kejadian apa hingga ribut-ribut begitu. Mataku langsung membeliak ketika melihat dua buah mobil sedan yang sangat dikenal, kini tengah berhenti di pinggir jalan dan kedua pengemudinya tengah adu mulut dengan semangat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN