39 Matahari nyaris sepenggalah saat aku bangun di Minggu pagi dan itu pun karena pintu kamar digedor Khanza atas suruhan Mama. Aku menggeliat membetulkan posisi tulang punggung yang sempat melengkung lama. Beberapa puluh menit berlalu, aku sudah duduk bersila di sofa ruang tengah sambil memegangi mangkuk berisi bubur kacang hijau buatan Mama sesuai permintaanku saat pulang dini hari tadi. Mama yang baru selesai salat Tahajud sempat membantuku mengunci pintu samping, sebelum kembali ke kamar. "Abang, besok yang nganterin kue ke rumahnya Willy, sanggup sendiri?" tanya Mama sembari duduk di samping kiriku. "Bisa, Ma. Pake dua keranjang," jawabku di sela-sela mengunyah. "Terus Abang balik lagi ke sini balikin keranjang?" Aku terdiam sejenak, kemudian meringis. "Iya, ya? Abang 'kan m