Tunangan?

1184 Kata
2 Tin, tin, tin. Setibanya di depan sebuah pagar hitam tinggi, Aleea membunyikan klakson mobilnya. Tak berapa lama kemudian keluarlah sesosok pria paruh baya yang bergegas membukakan pintu pagar rumah. Mobil Aleea meluncur masuk dengan pelan, kemudian parkir di belakang sebuah mobil putih yang tampak mewah. Aku mengikuti dari belakang, diiringi tatapan keheranan sang pria pembuka pagar. Aleea ke luar dari pintu mobil, begitu pula dengan dayang-dayang setianya. Kemudian dia menoleh dan memberi kode agar aku mengikutinya. Mereka menuju pintu depan rumah yang bercat putih dan berasitektur romawi nan mewah. Tanpa mengetuk pintu Aleea langsung masuk ke rumah. Ragu-ragu aku ikut masuk. Membuka sepatu, dan mengucapkan salam di depan pintu yang terbuka. "Assalamualaikum." Hening. Tak ada yang menjawab salamku. Ketiga perempuan muda itu malah saling beradu pandang. "Woiii. Jawab dong kalo orang ngasih salam!" sungutku. "Aku ulangi lagi, ya. Sekali ini kudu dijawab!" Mereka mengangguk serempak. "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." "Nah gitu dong. Dari tadi kek!" timpalku sembari menggerutu pelan. "Udah, sini duduk. Gak usah ngomel-ngomel gitu. Jelek!" ledek Aleea. Kuhempaskan tubuh ke atas sofa yang ternyata sangat empuk. Lalu aku menyandar ke bantal sofa dan meluruskan kaki ke lantai. "Kamu mau minum apa, Ken?" tanya Aleea. "Hot cappuccino ice," sahutku. "Mana ada minuman begitu. Jus mau gak?" "Boleh. Jus buah naga." "Kamu kata rumahku ini restoran? Pilihannya cuma jus tomat atau wortel atau bayam!" "Kamu kata aku suka jus sayur begitu? Ogah!" "Jadinya mau minum apa atuh?" Suaranya terdengar kesal. "Kopi s**u aja. Sama es teh manis," balasku seraya mengulaskan senyuman tipis. "Banyak amat?" "Aku haus!" Aleea memutar bola mata. Tampaknya dia terpesona dengan caraku bersilat lidah. "Nin, tolong pesanin ke Bibik gih. Aku males mau ke dapur," titahnya pada seorang dayang yang bertubuh kecil tetapi montok, yang membalas dengan anggukan dan segera bangun, berlari kecil menuju bagian dalam rumah. "Kamu gak ada kuliah, Ken?" tanya Aleea dengan tatapan menyelidik. "Hari ini kosong. Emang sengaja nyamperin kamu. Tadinya mau ngajak jalan," jelasku. Tak lupa untuk tetap menampilkan senyuman memikat sukma, yang menjadi andalan untuk memesona perempuan. "Uhuk, uhuk." Dayang yang satu lagi terbatuk. Matanya mengerling ke arahku. Kedip-kedip kayak orang cacingan. "Hai, aku Maia tanpa Estianti," sapanya memperkenalkan diri. "Hai, aku Kenzo. Bukan Ken Arok. Apalagi Ken Dedes," jawabku tak kalah hangat. Gadis berkacamata yang bernama Maia ini terlihat cukup manis. Sekali-sekali dia menyunggingkan senyumnya. Ada gingsul muncul dari sudut bibir yang membuat senyumannya bertambah lucu. Tak lama kemudian dayang yang bernama Nin, keluar dengan diiringi seorang perempuan dewasa yang membawa nampan berisi beberapa gelas minuman. "Ini, Non," ujar sang ibu pembawa nampan. "Makasih, Bik ," jawab Aleea seraya tersenyum. Manisnya! (Lap iler). "Non mau makan sekarang?" "Bibik masak apa?" "Ada sapo tahu kesukaan Non. Ayam goreng, sambal dan perkedel." "Asyik. Tolong siapin ya, Bik, buat empat orang. Sepertinya teman-temanku juga udah pada lapar," ujar Aleea yang disambut tepuk tangan kami bertiga, para fakir makanan. Selesai makan siang dan mengobrol seru selama beberapa jam, akhirnya aku pamit pulang. Kalau kelamaan bertamu nanti aku ditawari nginap. Bahaya 'kan? (pede tingkat dewa) "Besok pulang kuliah jam berapa, Eea?" tanyaku dengan suara merdu. Aleea mendelik tajam, tetapi kemudian dia menjawab, "Aku pulang jam satu siang." "Aku jemput, ya? Kebeneran besok aku juga pulang jam satu." "Kan aku bawa mobil. Kamu ngapain jemput?" "Mau nebeng mobil kamu. Terus kita kencan!" Krik, krik, krik. Mendadak hening. Ketiga pasang mata menatapku, kemudian mereka saling beradu pandang dan serentak tertawa. "Sorry, Ken. Kita temenan aja, ya," ucap Aleea. "Kenapa? Apa karena aku cuma punya motor?" tanyaku sedikit sinis. "Bukan. Tapi aku ...." "Dia udah punya tunangan!" sela Maia sang gadis berkacamata. Aku manggut-manggut. Aku berusaha mengerti walaupun hati terasa perih. Merasa patah hati di saat baru mulai berjuang. "Ya udah, aku pulang, yak. Bye!" Aku bangkit berdiri. Melangkah gontai ke luar rumah mewah dengan hati yang tergores luka. Aku memakai helm dengan cepat sambil menaiki motor kesayangan. Menyalakan mesin dan segera keluar dari halaman rumah tersebut tanpa menghiraukan panggilan Aleea. Aku memacu motor dengan kecepatan tinggi. Berusaha menenangkan hati yang gundah gulana. Baru kali ini aku pedekate langsung ditolak. Biasanya, ya ... ditolak juga. Ehh, diterima maksudnya. Tepat di lampu merah perempatan jalan, aku berhenti dan menepikan motor ke pinggir jalan. Berlari ke rumah toko di sebelah kiri, dan berteduh bersama beberapa pengendara motor yang bernasib sama denganku. Lupa membawa jas hujan. Nasib! *** Bulan malam ini bersinar terang. Bentuknya yang nyaris bulat sempurna tampak sangat memukau. Embusan angin membelai raga. Menentramkan jiwa yang gegana. Aku duduk-duduk di kursi teras rumah, berselimutkan sarung dan memakai topi kupluk, sembari menikmati secangkir s**u jahe buatan Mama tersayang. Sayup-sayup terdengar suara perempuan kesayangan itu yang sedang bernyanyi lagu khas Melayu.Aku tersenyum mendengar lagu yang Mama nyanyikan barusan. Kalau beliau nyanyi lagu itu, tandanya lagi kangen sama keluarga di kampung halamannya. Aku menatap cangkir s**u jahe yang sudah kosong. Rasa hangat dari jahe mulai menjalar ke seluruh tubuh. Sehangat hatiku bila mengingat sang putri keraton jagoan tari jaipong. Aleea. Eeaaaaaaaa! *** Keesokan harinya. Dug! Dug! Dug! "Abangggg! Bangun!" teriak Mama dari balik pintu. Aku membuka mata perlahan. Mengerjap beberapa kali untuk membiasakan diri dengan sinar terang yang menembus dari celah jendela. Aku mengusap wajah dengan tangan dan menatap langit-langit kamar sambil mengumpulkan nyawa yang melayang. "Abang!" Teriakan Mama terdengar kembali. "Iya, Ma!" sahutku dengan suara serak. "Ayo, buruan bangun. Kamu gak kuliah apa? Udah jam delapan nih!" Ha? Jam delapan? Mati! Aku bergegas bangun, duduk sebentar di pinggir tempat tidur. Bangkit dan berdiri tegak. Kemudian jalan sambil meraih handuk di gantungan belakang pintu. Aku membuka pintu dan mematung sejenak saat beradu pandang dengan Papa yang sedang duduk di kursi depan meja makan bersama Mama. Aku beringsut jalan dengan tubuh rapat pada dinding. Berharap saat ini bisa berubah menjadi bunglon yang bisa menempel di dinding dan berkamuflase. "Ngapain, Bang? Nyamar jadi cicak?" tanya Papa. "Ngecek dinding, Pa. Kali aja ada intan nempel," jawabku asal. "Mana ada intan di dinding? Paling cuma upil yang tadi Papa tempelin," sahut beliau. "Ha? Di mana?" tanyaku sambil celingukan. "Tepat di dinding yang kamu senderin itu," tukas Papa sebelum tertawa. "Hiiii. Jorok ihh Papa!" sungutku kesal. "Udah buruan mandi sebelum mamamu nyanyi tiga oktaf lagi!" Aku cepat-cepat melangkah menuju kamar mandi yang bersebelahan dengan dapur, tempat di mana asisten Mama yang bernama Mbak Parmi, tengah mengadon kue buat dijual. Mama punya toko kue, Para pembaca tersayang. Kecil sih, tetapi lumayan ramai deh. Letaknya di deretan ruko depan komplek perumahan kami. Pelanggannya juga sudah banyak. Di kamar mandi aku bertapa dengan serius. Dari arah belakang kamar mandi, terdengar bunyi mesin cuci yang sedang sakit kepala. Saking puyengnya, benda besar itu cuma mutar-mutar sambil berdengung. Lima belas menit kemudian, aku ke luar dari kamar mandi sambil bersiul dan jalan berlenggok bak peragawan. Tak peduli saat Mbak Parmi mentertawakan, aku tetap bergaya seperti itu, hingga tak menyadari saat handuk melorot. Mbak Sarinah, asisten Mama yang baru tiba, menjerit sekuat tenaga. Namun, kemudian kedua perempuan dewasa itu mengomeliku yang telah mengerjai mereka. Aku berlari masuk ke kamar sembari tertawa terpingkal-pingkal. Puas telah mengerjai mereka. Tenang, readers. Aku enggak berpolos ria kok. Ada celana boxer di balik handuk. Mereka aja yang berpikiran kotor terhadapku yang imut ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN