Lebih Dekat Dengan Kamu

1014 Kata
12 Hampir tengah malam saat sopir keluarga menjemput Aleea di rumah. Kedua orang tuanya tengah dalam perjalanan pulang dari Bandung, setelah dihubungi oleh Aleea satu setengah jam yang lalu. Aku memandangi kala gadis itu memasuki mobil sedan putih milik sang mama, lalu melambaikan tangan seraya tersenyum tipis, tetapi matanya masih sendu. Beberapa menit berdiri di depan pagar, barulah aku kembali memasuki rumah. Papa memanggilku dan mengajak bicara di ruang tengah. Mama juga ikut duduk sambil sekali-sekali menguap. Sementara Kai dan Khanza telah tidur sejak tadi di kamar masing-masing. "Gimana ceritanya itu tunangan Aleea bisa kebongkar rahasianya?" tanya Papa sembari menatapku lekat-lekat. "Abang nggak tau persisnya gimana. Aleea ngamuk di depan mini market, terus mukulin Kang Ryan. Ehm, terus Mbak Sarah datang dan ngungkapin rahasia hubungannya dengan Kang Ryan, yang ternyata udah terjalin tiga tahun," jawabku. "Tadi mama coba ngorek keterangan, tapi susah karena dia nangis mulu," timpal Mama. "Kasian, ya. Kayaknya dia terpukul banget," sambungnya. "Papa cuma mau ngingetin Abang, supaya menahan diri dulu untuk mendekati Aleea. Biarkan dia menyelesaikan urusan dengan tunangannya itu, baru dideketin." Papa memandangiku dengan intens yang seketika membuatku salah tingkah. "Ehm, keliatan, ya, kalau Abang suka ama dia?" tanyaku, kemudian menggaruk-garuk belakang kepala ketika Papa mengangguk seraya tersenyum lebar. "Sejak kapan?" Mama memajukan tubuh dan wajahnya tampak sangat antusias menungguku menjelaskan. "Entah. Dari acara MOS mungkin." Aku terkekeh geli mendengar ucapanku sendiri. "Wow, lumayan itu. Kira-kira delapan bulan kamu nahan rasa?" "Nggak, Ma. Abang ada ngungkapin kalau suka. Tapi ditolak," ungkapku seusai tertawa. Kedua pasangan itu saling menatap satu sama lain, kemudian kompak tertawa dan membuatku malu setengah hidup. *** Senin pagi menyapa dengan acara kuis dadakan oleh Mister Kusno. Untunglah kemampuan berbahasaku sekarang sudah lebih baik dari yang dulu, ini berkat sering latihan melantunkan lagu berbahasa negaranya Ratu Elizabeth itu. Dengan penuh percaya diri aku mengerjakan soal-soal. Satu per satu terselesaikan, hingga terjeda di soal terakhir yang merupakan esai panjang. Bisa mengucapkan bahasa Inggris dengan lancar itu berbeda dengan membuat cerpen singkat tentang diri sendiri, yang mengharuskan jawaban sesuai grammar. Hasilnya? Kacau! (Tertawa malu) Setelah mengerjakan semua soal, aku memberikan lembaran itu pada Mister Kusno yang tersenyum misterius ke arahku. Kemudian aku melangkah ke luar kelas dan bergabung dengan trio macan yang sepertinya lebih lesu dariku. "Bisa?" tanyaku, yang dijawab mereka dengan gelengan kepala. "Kamu?" Ijan balas bertanya. "Yang lainnya bisa, soal terakhir, hancur," jelasku. "Mendinglah, aku dari soal nomor lima udah ngitung kancing," timpal Willy. "Bajumu kan kaos, bukan kemeja," sela Sandy. "Kancing bajunya Mister," jawab kuda nil itu seraya tersenyum lebar. Obrolan kami seketika berhenti ketika terdengar suara orang memanggil dari belakang. Kami serentak menoleh, lalu mengembangkan senyuman kala menyadari bila yang tengah menghampiri itu adalah Aleea dan kedua dayang-dayang. "Ken, kita bisa bicara sebentar?" tanya gadis bermata sipit itu sembari menatapku lekat. "Boleh, di mana?" balasku dengan harap-harap cemas menang give away. "Di ...." Aleea menunjuk ke arah tempat parkir, kemudian melenggang pergi. "Dengar, kalian di sini aja. Aleea cuma ada urusan denganku, paham!" Aku memandangi ketiga pria muda di hadapan yang serentak mencibir, mungkin kesal dengan tingkahku yang sok bossy. Aku berlari dengan kecepatan sedang hingga tiba lebih cepat di samping mobil Aleea. Gadis itu berdiri menyandar di pintu sambil menatap pohon besar di hadapan, seakan-akan sangat terpesona. "Kami sudah resmi memutuskan hubungan," ucapnya dengan suara pelan. "Papa hari ini memanggil papinya Kang Ryan ke kantor untuk membahas soal ini," sambungnya. Aku tetap diam, memberikan kesempatan padanya untuk mencurahkan isi hati. Mungkin dengan begitu dia bisa lebih tenang. "Aku mau nanya, Ken. Jawab dengan jujur, ya." Aleea memutar tubuh hingga kami saling berhadapan. "Apa kamu tau tentang hubungan mereka selama bekerja di sana?" Aku bergeming. Bingung hendak menjawab apa. Bila aku jujur mengatakan hal yang sebenarnya, aku takut Aleea akan membenciku karena menutupi hal itu. Namun, kalau aku berbohong, nantinya saat dia tahu pasti juga akan mengamuk. "Aku nggak tau tentang hubungan mereka yang ternyata sudah berjalan cukup lama. Tapi ... aku pernah ... ehm, melihat mereka berdua di ruangan kerja kang Ryan." Aleea menatapku dengan mata membeliak. Aku menarik tangannya agar tidak kabur atau memukuliku seperti halnya dia memukuli mantan tunangan. "Maaf, kalau aku nggak cerita soal itu ke kamu. Karena ... aku mau kamu tahu dengan sendirinya. Aku nggak mau dianggap sebagai pengadu domba, Lea. Maafkan aku." Perempuan muda berambut kepang satu itu mendengkus, kemudian mengalihkan pandangan ke arah lain. Dia berusaha menarik tangan, tetapi gagal karena kucekal dengan kuat. "Sebetulnya hampir semua karyawan di sana tau tentang hubungan mereka, Lea." "Apa?" bentaknya. "Seperti yang kamu dengar tadi." "Kalian kenapa tutup mulut? Aku tunangan udah hampir setahun dan kalian diam semua!" "Dengar, kami apa punya kuasa untuk mencampuri urusan kalian? Dia bos kami, Lea. Banyak yang menumpang hidup di kafe itu untuk memberi makan keluarganya. Kalau kami ngomong, apa imbasnya?" Aku sedikit menaikkan suara, berharap dia paham maksud ucapanku. "Aku yang baru di situ aja mikir puluhan kali buat ngomong ke kamu. Apalagi mereka yang sudah lama di sana. Kamu ada mikir nggak? Gimana rasanya kami harus tutup mulut padahal gatel pengen cerita ke kamu." Aleea masih bungkam. Namun, sorot matanya tidak segalak tadi. Selanjutnya kami tetap berdiam diri selama beberapa menit, sebelum aku memutuskan untuk pergi menuju motor yang diparkir tidak jauh dari tempat itu. "Ken!" panggilnya. Aku berhenti melangkah dan menoleh. Terkesiap saat melihatnya menghampiri dan langsung memelukku erat. Waktu seakan-akan berhenti berputar. Sensasinya berbeda dengan kejadian malam itu di depan mini market. "Aku bingung mau ngucapin makasih atau justru ngomelin kamu!" desisnya yang membuatku mengembangkan senyuman. "Nggak perlu dua-duanya. Kamu nggak benci sama aku itu udah cukup," sahutku, sembari menahan tangan untuk balas memeluknya. "Mana bisa aku benci kamu." Aleea memundurkan tubuh, kemudian tersenyum lebar. "Bukannya dulu benci sama aku?" "Ha? Kapan?" "Waktu acara MOS." Aku menirukan gerakan tangannya yang tengah menggorok leher. "Dih! Masih ingat dia!" "Ingatlah, karena habis itu akhirnya kita bisa temenan, moga-moga nanti jadian, terus nikah." "Ken!" "Hmm?" "Halu banget!" "Kan usaha, Lea." Gadis itu mencebik dan mendelik tajam. Sesaat kami saling beradu pandang, kemudian sama-sama mengulaskan senyuman. "Aku serius, Lea. Boleh kan?" "Apanya?" "Lebih dekat dengan kamu." "Jadi sobat?" "Bukan itu, ehm ... pacar."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN