Papa Ke Mana?

1260 Kata
Semenjak akur, mereka sering menghabiskan waktu bersama di saat senggang, juga di hari libur. Tania sudah tidak sungkan lagi bermanja atau meminta sesuatu kepada suaminya. Hubungan mereka sudah kembali normal seperti dulu, sekali pun belum dekat layaknya pasangan suami istri yang lain. Nero juga menuruti apa saja kemauan Tania asalkan dia sanggup. "Papa ke mana ya, Om? Kok hampir tiap bulan keluar negeri. Dulu-dulu gak gitu, deh." Tania bersandar di bahu Nero. Mereka berdua sedang menonton film di ruang keluarga. Lengan Nero melingkar di pinggangnya. Kalau orang lain yang melihat, pasti berpikir bahwa pasangan ini romantis sekali. "Ke Singapura," jawab Nero. "Masa?" "Kenapa, kangen sama papa ya?" Nero mengambil snack. Sedari tadi mulutnya tak berhenti mengunyah makanan. Gerah kalau Tania menempel terus. Dia tidak tahan sebenarnya, hanya berpura-pura cuek. "Emangnya, Papa punya klien di sana?" Tania ikut mengambil snack di tangan Nero. "Ya adalah," jawab Nero singkat. "Apa Papa mau buka kantor cabang baru? Tapi kok ke luar negeri, sih?" Tania bertanya lagi. "Gak. Ada urusan bisnis," Nero menatap layar televisi dengan intens. Sebenarnya dia tidak tahu acara apa yang sedang tayang, karena ini channel pilihan Tania. Lelaki itu juga tidak fokus. Matanya memang sedang menonton, tetapi pikirannya melayang entah ke mana. "Apa jangan-jangan, Papa nikah lagi?" Tania menerka. Beberapa bulan ini, perilaku Bram memang agak aneh, sering pergi dan tidak memberi tahu putrinya. Setiap ditanya, lelaki itu hanya menjawab ada urusan pekerjaan. Hal itu membuat Tania curiga. Walaupun mereka sudah tidak tinggal serumah, dia tetap bisa merasakan. "Hus! Kamu kok ngomong gitu." Nero mencubit hidung Tania. Gadis ini kalau bicara suka seenaknya saja. Setahunya, Bram sangat mencintai mendiang istrinya. Dia bahkan rela menyendiri bertahun-tahun hingga putrinya dewasa. "Kali aja papa punya istri lagi. Kan aku gak setuju kalau papa nikah lagi." Tania menepiskan tangan Nero karena tidak suka diperlakukan seperti itu. Dia sudah dewasa, bukan anak kecil lagi. Padahal lelaki itu gemas ingin melakukan yang lain. "Gak, lah. Papa pasti bilang kalau itu," jelasnya. Tania mengubah posisi duduknya. Kali ini dia berhadapan dengan Nero dengan raut wajah yang serius. "Om. Kalau di kantor, papa suka godain cewek-cewek, gak?" Nero menatap Tania dengan lekat. Laki-laki itu menduga-duga apa yang sedang dipikirkan oleh istrinya. Pertanyaannya aneh semua. "Gak, tuh. Papa baik aja. Gak ganjen. Papa itu bertanggung jawab sama pekerjaan." "Masa', sih?" tanya gadis itu karena masih tidak percaya. Dulu Bram memang pernah mengenalkan beberapa wanita sebagai temannya. Namun, tidak ada satupun yang Tania yang suka. Mungkin karena itu sebabnya dia enggan menikah lagi. Putrinya tidak pernah setuju. Kalau sampai itu terjadi, Tania mengancam akan lari dari rumah. Sekalipun mamanya pergi sejak dia masih kecil, gadis itu tidak mau ada wanita lain di kehidupan mereka. "Kalau om sih, iya. Kalau ada yang cakep, om godain." Nero sengaja mengatakan hal itu. Ingin tahu bagaimana reaksi istrinya kalau dia membicarakan wanita lain. "Ih. Om genit. Udah punya istri juga." Wajah Tania berubah kesal dengan bibir yang ditekuk. Dalam hati Nero membatin, ini anak cemberut terus. Kapan senyumnya. "Habis istrinya suka marah-marah. Manja lagi, mending om nge-date sama cewek-cewek," jawabnya asal. Satu lagi, haknya sudah dua bulan tidak diberikan. "Habisnya om ngeselin." Panas hati Tania mendengarnya. Tak bisa membayangkan jika Nero berduaan dengan wanita lain. Kenapa sekarang dia jadi cemburu? Nero memilih diam dan malas meladeni kalau istrinya sudah mulai berulah. "Om." Tania melingkarkan tangan dan memeluk suaminya. "Apa?" Nero kembali fokus ke layar. Padahal di dalam sana, jantungnya berdebar tak karuan. Duduk berdekatan seperti itu justeru membuatnya semakin gerah. "Kalau aku mau punya bayi ... harus itu dulu, ya?" Nero tersedak mendengarnya. Tania cepat-cepat mengambikan minuman. "Kok nanya gitu?" Kerut di dahi Nero tercetak jelas saat mendengar pertanyaan tadi. "Om sama Tante Saskia dulu gitu juga?" tanya Tania sembari menatap Nero dengan pandangan yang ... entah. "Duh, Gusti. Mau jawab apa?" lirihnya. Nero menggusap tengkuknya berulang kali, bingung bagaimana menjelaskan hal ini kepada Tania. Mungkin lebih baik dia langsung mempraktikannya. "Iya, itu juga," jawabnya dengan ekspresi datar. Nero tidak mengerti jika harus menjelaskannya dengan kata-kata. Kalau eksekusi sudah jelas, dia jagonya. "Tapi kok tante gak hamil?" Tania bertanya sembari membuka bungkus snack yang masih ada. Lalu, dia makan dengan santai seperti tidak ada beban. "Tante kan sakit. Jadi gak bisa hamil, Sayang." Tania mengangguk, mengerti atau tidak yang penting Nero sudah menjawab dengan jujur. "Om." "Apa? Mau nanya apa lagi?" "Katanya kalau lagi masa subur, walaupun cuma sekali ngelakuin, bisa hamil. Beneran?" Nero menelan ludah, sembari berpikir kata-kata apa yang paling cocok untuk menjadi jawabannya. "Iya, bisa jadi kalau rezeki. Kalau belum, ya diulang lagi." Jantung Nero rasanya mau copot menjawab pertanyaan seperti itu. "Yah. Kalau gak hamil juga, masa diulang-ulang terus?" Ada nada kecewa dalam suara Tania. Nero tertegun beberapa saat dan tak dapat berucap. Lelaki itu hanya menyimak apa yang diucapkan istrinya sembari menjawab semampunya. "Oh gitu. Eh, Om. Itu-- " "Apa lagi?!" Nero sudah tidak bisa berkonsentrasi menonton. Sejak tadi Tania membahas tentang itu, sehingga membuat pikirannya berkelana ke mana-mana. "Katanya kalau itu--?" Tania melanjutkan ucapannya dengan berbisik karena merasa malu. Nero terbelalak mendengarnya, lalu berbalik menghadap Tania dan memegang bahunya. "Kata siapa? Dari tadi 'katanya' terus?" Ini anak dengar dari mana juga. Nero sampai tak habis pikir dibuatnya. "Clara." Wahai kau gadis lugu nan polos. "Kamu mau ngapain nanya-nanya begituan?" Wajah Nero panas. Kali ini dia benar-benar serius menanggapi pembicaraan Tania. "Mau kasih papa cucu," lirihnya. Suaranya hampir tak terdengar karena tertunduk malu. "Kenapa gitu?" "Aku pengen kuliah." Air mata Tania mulai menetes. Itu berarti drama sinetron akan segera dimulai. Nero mengusap wajah, lalu berkata, "Ini semua ulah papamu." Nero merutuk dalam hati. Akibat permintaan Bram, semua menjadi kacau balau begini. "Papa tetap gak boleh aku kuliah kalau aku belum kasih cucu." Air mata Tania semakin berlinang. Dia terisak-isak sembari membersihkan hidung dengan tissue. Nero menarik Tania ke dalam dekapan, berusaha untuk menenangkan dan memberikan kenyamanan. Dia mencoba mengerti posisi istrinya saat ini. Gadis itu butuh seseorang untuk mendengarkan perasaannya. "Sudah jangan nangis. Nanti om coba bicara lagi. Papa memang gitu. Pelan-pelan, kamu yang sabar." Nero berusaha membujuk dengan mendekap istrinya semakin erat. Tangannya mengusap helaian rambut halus itu dengan lembut. "Tapi waktunya tinggal satu bulan lagi. Kalau telat daftar, tahun depan baru bisa kuliah." "Kalau gitu setahun ini kamu bimbel aja dulu. Sambil bantuin om di kantor. Belajar apa gitu." "Aku gak mau nerusin usaha papa. Aku gak suka," tolaknya. "Tania. Kamu itu anak satu-satunya. Papa mau kamu yang jadi penerus. Tapi om yang harus ngajarin. Om gak ada maksud jahat mau ambil alih. Kamu jangan salah sangka." Nero mencoba menjelaskan. Padahal sebenarnya Bram sedang sekarat dan mereka harus merahasiakan penyakitnya. "Maaf, Om. Aku udah nuduh yang gak-gak." Tania sedikit menyesal. Ternyata selama ini suaminya tak seburuk yang dikira. "Om nikahin kamu atas permintaan papa. Awalnya juga nolak." Nero masih mengusap rambut Tania. Kalau sudah begini istrinya kembali menjadi gadis kecilnya dulu. "Om." "Ya?" "Gak apa-apa deh aku kasih papa cucu dulu. Asal tahun depan aku masuk FK UI. Boleh?" "Yakin?" "Iya." Tania mengangguk, menatap suaminya dengan penuh permohonan. "Kamu mau itu sama aku?" Nero serasa ingin jungkir balik. Perutnya mendadak mulas. "Asal om pelan-pelan." Tania menatapnya ragu. "Maksudnya?" tanya Nero bingung. "Kan aku--" Tania kembali berbisik. Kata-kata itu meluncur saja seperti tanpa ada beban. Nero membuang pandangan. "Tania, dengerin! Kalau pun kamu mau ngelakuinnya, harus dengan cinta. Gak boleh karena terpaksa." "Tapi kan aku gak cinta sama om." "Kenapa?" Alis Nero terangkat. "Om kan udah tua." "Itu lagi. Salahku apa juga?" rutuk Nero dalam hati. Tiba-tiba saja Tania melepaskan pelukannya dan berjalan ke kamar. Nero termenung melihat sikap istrinya. Sungguh kali ini rasanya dia sudah benar-benar gila.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN