Tania tampak ragu-ragu. Sedari tadi dia bolak-balik, ingin mendekati suaminya tetapi sungkan. Gadis itu mengusap telapak tangan berulang kali karena gugup.
Nero nampak serius sekali mengerjakan laporan. Entah kenapa kali ini dia membawa semua alat kerja di ruang keluarga. Biasanya juga di dalam kamar.
"Om." Tania mendekati Nero yang sedari tadi sibuk dengan laptopnya.
"Apa?"
Nero menaikkan kacamata tetapi masih fokus menatap layar. Jika sudah banyak kerjaan begini, dia bisa lupa waktu.
"Om," rengeknya lagi.
Merasa diabaikan, Tania berkali-kali mencolek bahu bahu suaminya untuk meminta perhatian.
"Apa?! Ngomong aja, gak usah manja."
Nero masih mengetik sesuatu di keyboard. Dia sebenarnya tidak suka diganggu saat bekerja karena bisa hilang konsentrasi. Apalagi kalau pengganggunya cantik begini, bisa buyar semuanya.
Raut wajah Tania langsung berubah dengan bibir ditekuk. Akhirnya dia memilih diam sembari menunggu suaminya selesai.
Nero tersadar karena sudah bersikap kasar kepada istrinya.
"Kamu mau apa?" Dia melepas kacamata dan berbalik menghadap gadis itu.
"Ini."
Tania menyodorkan sebuah brosur. Penerimaan calon mahasiswa baru di sebuah perguruan tinggi negeri. Dia sudah melingkari kolom pada tulisan fakultas kedokteran.
"Kamu mau kuliah?" Nero menutup laptop, lalu meletakkan kacamata di meja.
"Iya. Boleh, kan om?"
Senyum Tania terukir indah. Dalam hatinya berdoa semoga saja sang suami memberikan restu. Untuk itu, dia akan merayu sekuat tenaga.
"Om sih gak masalah. Tapi kamu harus ngomong ke papa dulu."
"Kok izin papa? Kan kalau udah jadi istri, harusnya izin sama suami aja."
Setelah mengucapkan itu, Tania langsung menutup mulut. Dia baru sadar kalau kelepasan bicara.
Nero bergumam dalam hati. Sejak kapan Tania sadar kalau dia sudah menjadi istri. Lagipula dia belum menjadi suami yang sebenarnya, karena belum mendapatkan hak.
"Kalau papa pasti gak boleh." Tania mulai merajuk dan mengeluarkan jurus andalannya.
Nero tahu betul. Jika Bram tidak setuju atas kemauan putrinya, Tania pasti akan merayunya untuk mempengaruhi sang papa.
"Kamu udah bilang sama papa, belum?"
"Belum."
"Nah, kan, belum dicoba. Kok sudah langsung bilang gak boleh."
Nero mengulum senyum. Sebenarnya dia sudah menduga kalau Bram pasti keberatan. Lelaki paruh baya itu bukannya tidak mau Tania melanjutkan pendidikan. Namun, dia mempunyai rencana lain.
"Tapi nanti om temenin ketemu papa, ya. Aku malu." Gadis itu memilin baju. Matanya mencuri pandang ke arah suaminya.
"Malu kenapa?" tanya Nero bingung.
"Kan aku masih ngambek sama papa."
Bibirnya yang mengerucut itu membuat Nero gemas.
Kenapa sekarang kamu jadi semakin cantik, batin Nero.
"Makanya kalau kamu ditelepon papa ya diangkat. Masa begitu sama orang tua sendiri."
Nero mulai menasehati. Anak seumuran Tania memang masih labil. Mereka belum tahu mana yang baik dan buruk dan harus diarahkan. Kadang mereka berbuat semaunya, asalkan hati senang.
"Habisnya papa jahat. Papa malah maksa aku nikah sa--"
Hampir saja Tania kelepasan bicara lagi. Jangan sampai suaminya marah. Bisa gagal semua rencana.
Nero tersenyum mendengar itu lalu menggeleng berulang kali. Tanpa diberitahupun, dia sudah menduga apa yang ada di benak Tania.
"Nanti om temenin. Tapi kamu ngomong sendiri. Kalau papa setuju, om juga oke. Asal kamu belajar yang rajin." Nero mengusap kepala istrinya sebagai tanda sayang.
Mendengar itu, Tania besorak. Wajahnya berbinar sehingga aura kecantikannya semakin bertambah.
"Kalau gitu, besok kita ke rumah papa?"
Nero mengangguk tanpa menjawab. Itu membuat Tania semakin senang.
"Makasih, Om." Tania memeluk Nero dengan erat lalu mendaratkan sebuah sentuhan di pipi sang suami.
Seketika Nero tersentak dengan jantung yang berdebar kencang. Padahal Tania hanya menyentuh pipinya, dan itu bahkan sudah biasa.
Nero tersenyum geli. Sentuhan itu sudah dua tahun ini tak pernah dia rasakan. Ketika Tania melakukannya, itu terasa begitu asing.
Nero telah berjanji di makam sang istri bahwa tidak akan nakal lagi. Dia akan menjadi pria baik-baik. Dulu, sebelum menikahi Saskia, lelaki itu memang sering berganti wanita. Namun, cinta yang dalam kepada wanita itu membuatnya berubah.
Sentuhan tadi cukup menyentak Nero karena baru sadar kalau dua tahun ini kesepian. Tidak pernah ada wanita yang singgah di hatinya sampai pernikahan dengan Tania terjadi.
Beberapa wanita sempat menggoda Nero. Namun, lelaki itu mengalihkan pikirannya dengan sibuk bekerja. Dan entah kenapa, sejak hubungannya membaik dengan Tania, dia merasa ada sesuatu yang berbeda.
Nero mulai memikirkan Tania. Mulai membayangkan dan memimpikan istrinya. Hatinya mulai menghangat. Apalagi gadis itu sudah bertahun-tahun mengisi harinya, sejak masih kecil.
Apakah dia sedang kasmaran?
"Tidak Nero. Kamu tidak boleh menyentuh Tania. Dia pasti akan semakin membencimu."
Benak Nero berkata lain. Lelaki itu memilih mengalah dan membiarkan pernikahan mereka hanya status di atas kertas. Hingga kelak masanya tiba.
Ketika Tania benar-benar matang dan siap mengambil alih perusahaan papanya.
"Kamu cukup tahu diri, Nero. Kamu hanya diminta untuk menjaganya hingga masa itu tiba."
***
"Ehem."
Suara batuk Bram memecah kesunyian.
T
iga orang itu duduk berhadapan. Tania memandang wajah papanya dengan sedikit segan.
"Jadi?"
Bram memandang dua orang itu bergantian. Melihat raut wajah Tania yang kektakutan, dia ingin tertawa. Putri kecilnya ini memang menggemaskan siapa saja.
"Paaa ... maafin aku," ucap Tania memelas.
Bram hanya mengangguk sembari menyentuh dagunya. Dia sengaja memasang ekspresi galak karena ingin mengerjai putrinya.
"Mas, gini ...."
Nero memulai pembicaraan dengan menjelaskan satu per satu apa yang diinginkan Tania. Kalau menunggu gadis itu bicara, sepertinya akan memakan waktu yang lama. Jadi dia berinisiatif mengambil alih.
"Kami datang karena Tania ada yang mau dibicarakan sama Mas."
Bram mendelik menatap putrinya, sementara Nero diam-diam mengulum senyum.
"Oh, ya? Masih butuh papa rupanya?" tanya Bram.
"Paaa ..."
Tania mulai merengek dan melirik suaminya berkali-kali untuk meminta bantuan. Namun, kali ini Nero menolak karena gadis itu harus menyampaikan sendiri keinginannya.
"Sudah ngomong aja."
Nero memberikan dukungan. Melihat wajah istrinya yang memelas begitu, rasanya dia tidak tega juga.
Tania membuka tas dan mengeluarkan brosur tadi. Lalu, dengan cepat dia menyerahkan kertas itu kepada Bram.
"Aku pengen kuliah, Pa."
Bram mengambilnya lalu mulai membaca. Lelaki paruh baya itu tersenyum geli saat memandang Nero.
"Kamu beneran pengen kuliah?"
"Iya. Boleh kan, Pa?"
Tania menggeser duduk agar semakin mendekat. Tangannya kini melingkari pinggang Bram dan memeluknya erat.
"Kok, tanya papa. Harusnya tanya suami, boleh apa enggak. Kan udah jadi istri."
Bram mengedipkan mata ke arah Nero.
"Tapi om Nero bilang setuju, kalau papa juga setuju," jawab Tania.
Bram mendelik mendengar penuturan putrinya barusan. "Om? Suami dipanggil om?"
"Loh, terus dipanggil apa?" tanya gadis itu polos.
"Mamas, dong. Gak sopan kalau bilang om. Status kan udah berubah." Bram mulai berulah lagi.
Nero hanya bisa tersenyum melihat kelakuan dua orang ini. Dalam hati bergumam,anak dan papanya sama saja.
"Mamas? Gak pantes. Udah tua," ucap Tania sembari mengernyitkan dahi.
Mendengar itu, Nero merutuk dalam hati. Wajahnya berubah masam mendengar ucapan Tania tadi. Usianya memang sudah akan memasuki angka empat puluh. Namun, wajahnya tetap segar dan tak tampak tua.
"Jadi, gimana, Pa? Boleh kan, ya?" tanya Tania merengek lagi.
"Hem ... kedokteran, ya?"
Tania mengangguk.
"Kenapa gak bisnis aja? Nanti kalau udah selesai bisa bantu Nero di kantor."
Bram mencoba bernegosiasi. Biasanya putrinya akan menurut.
"Aku gak suka. Aku mau jadi dokter aja," tolak Tania.
"Sekolah dokter itu lama. Sibuk. Banyak praktek, nanti gak ngurus suami. Papa kurang setuju." Kali ini, nada suara Bram terdengar lebih keras.
Mendengar kata-kata tidak setuju dari Bram, Tania melotot dan melepaskan pelukannya.
"Om Nero kan udah gede. Masa mau diurusin aku juga?"
Tania memang masih masih anak-anak dan belum mengerti kewajiban istri.
"Ya jangan. Gak boleh gitu kalau udah jadi istri. Tetap harus ngurusin. Ngelayanin suami." Bram menekankan kalimat terakhir.
Nero yang sedari tadi hanya mendengarkan mereka bicara, mulai mengerti ke mana arah ucapan Bram.
"Ngelayanin apa?" Tania kembali bertanya.
"Ya semua. Bikin sarapan. Mijetin kalau suami capek. Siapin baju kerja. Apa yang dibutuhkan suami kan bisa tanya. Termasuk--"
Bram kembali mengedipkan matanya ke arah menantunya. Nero membuang pandangan dan mengulum senyum saat melihat ekspresi nakal di wajah sahabatnya itu.
"Termasuk?" Tania bertanya lagi. Ucapan papanya ini benar-benar sukar dipahami.
"Di kamar," jawab Bram lugas.
Tania terdiam. Bukannya selama ini dia pisah kamar sama Nero. Lagipula, kalau mereka tidur sekamar, Nero mau ngapain coba? Apa itu? Dia tidak mau.
Wajah Tania berubah masam, lalu menatap Nero dengan pandangan tajam.
Melihat tatapan istrinya, Nero menjadi serba salah.
"Mas, aku gak apa-apa kalau Tania mau kuliah. Lagian aku juga sibuk jarang di rumah. Intinya nih, boleh gak Tania kuliah dulu?"
Nero segera mengambil alih pembicaraan. Dia sudah tau Bram pasti akan menyinggung soal cucu. Hal yang belum bisa mereka penuhi untuk saat ini.
"Papa sih oke aja kalau kamu mau lanjutin kuliah. Tapi, ada syaratnya!" kata Bram tegas.
"Apa?" Wajah Tania berbinar. Ada harapan di sana, untuk masa depan dan cita-citanya.
"Papa mau dikasih cucu dulu."
Nero mengusap wajah tanda menyerah. Sudah satu minggu ini, Bram setiap hari datang ke ruangannya hanya untuk membahas soal cucu.
Dari melihatkan foto bayi yang lucu. Cara memandikan bayi. Nama-nama bayi sesuai jenis kelamin, hingga model pakaian bayi keluaran terbaru.
Bram terlihat ngebet sekali. Nero sendiri memang tidak memiliki anak dengan Saskia. Penyakit yang diderita istrinya, tidak memungkinkan wanita itu mengandung.
"Maksud papa apa? Cucu?"
"Ya, kamu hamil. Kasih cucu buat papa. Kalian--" Bram menyatukan dua tanganya membentuk dua orang bermesraan.
"Kalian--" Bram kembali mengulang gerakannya tadi.
Nero tak kuasa menahan tawa. Papa mertuanya ini memang sungguh keterlaluan.
"Om Nero!!"
Tania membentak suaminya sehingga lelaki itu terkejut. Bram sendiri menahan gelak melihat tingkah putrinya.
Nero seketika menutup mulut.
"Aku gak mau," ucap Tania melakukan perlawanan.
"Ya gak usah kuliah kalau gitu. Di rumah aja. Sambil belajar-belajar sama Nero ngurus perusahaan."
"Tapi, Pa ...."
"Mas. Maksud Tania begini. Kalau dia hamil, nanti gimana kuliahnya? Justeru malah repot." Nero menyela dan ikut merayu Bram karena merasa kasihan kepada istrinya.
"Ya ditunda kalau gitu. Kamu hamil dulu. Kasih papa cucu. Tahun depan boleh kuliah. Kedokteran juga boleh," kata Bram tegas.
Ya ampun! Nero benar-benar pusing melihat dua orang ini karena tidak ada yang mau mengalah.
"Kalau gak boleh, aku mau pulang!" Tania mengambil tasnya dan segera berlari ke depan. Dia menyetop sebuah taksi yang lewat dan kabur begitu saja.
Nero dan Bram gelagapan, tak menyangka jika gadis itu akan berbuat nekat.
"Cepat-cepat, susul Tania." Bram mendorong bahu menantunya.
Nero mengambil kunci mobil dan mengejar taksi itu sebelum terlambat. Lelaki itu benar-benar tak menyangka joka negosisasi hari ini gagal.
Sementara itu di dalam taksi, Tania terisak-isak. Hingga beberapa menit kemudian, mereka hanya memutari jalanan ibu kota. Supirnya belum berani bertanya ke mana arah tujuan, karena gadis itu masih terus saja menangis.