Ovi menyodorkan sesendok nasi ke mulut keponakannya. Sejak pagi Tania tidak mau makan. Padahal acara padat. Bisa batal kalau sampai dia sakit.
"Ayo, Sayang. Makan dulu," bujuk Ovi.
"Tania gak lapar, Tante," tolaknya.
"Nanti kamu lemes, loh. Nanti malam mau lanjut acara lagi. Masa' pengantin baru sakit habis nikahan," bujuk Ovi lembut.
Membuat Tania menerima keadaan memang sulit. Ovi menunggu cukup lama hingga akhirnya gadis itu menurut, menghabiskan sesuap demi sesuap makanan yang ada. Dia sama sekali tidak berselera melihat menu apa pun.
Tania merasa hampa. Semua rasa bercampur menjadi satu di dadanya. Sedih, marah, kecewa, juga benci. Kecewa kepada semua orang. Kepada papa dan keluarganya. Dengan Nero apalagi. Rasa sayangnya kini berubah menjadi benci.
"Habis makan kamu istirahat bentar. Tadi tante udah bilang sama yang lain, kamu gak boleh digangguin dulu."
Ovi dengan sabar menyuapkan Tania makan. Tangannya tak luput mengusap bekas tangis di mata gadis itu.
"Iya, Tante," jawab Tania lemah.
"Nah, sesuap lagi. Habis ini kamu istirahat. Nanti sore tante bangunin, siap-siap buat resepsi. Sekarang kamu tidur aja dulu."
Ovi membereskan sisa makanan dan meletakkannya di meja, karena nanti diambil pelayan hotel. Dia juga membantu Tania berganti pakaian dan membersihkan make-up. Lalu, menuntunnya ke ranjang.
Ovi membiarkan Tania beristirahat sebentar. Hari ini pasti berat baginya. Sekarang baru pukul dua siang dan masih ada waktu.
Setelah akad nikah tadi, Ovi sengaja membawa gadis itu ke kamar. Dia tidak mau keponakannya dicecar banyak pertanyaan, mengingat kondisi mental yang belum siap.
Mereka akan melanjutkan acara resepsi nanti malam. Bram mengadakan pesta besar-besaran. Dia memesan hotel ini untuk acara pernikahan dan juga beberapa kamar untuk menginap keluarga, beserta koleganya dari luar kota.
Ovi menghela napas. Seandainya tidak tinggal di luar negeri, mungkin dia bisa menjaga dan melindungi Tania. Mengasihi dan menyayangi gadis itu seperti anak sendiri.
Bram tidak mengizinkan Tania ikut dengannya, dengan alasan tidak mau berpisah jauh dengan sang putri. Kakaknya itu memilih merawat putrinya dengan dibantu pengasuh dan Nero.
Sekarang Tania harus menikah dengan Nero. Ovi tidak bisa membayangkan jika dia menjadi gadis itu. Mungkin sikapnya akan sama, menolak mentah-mentah perjodohan.
Tania masih muda, baru lulus sekolah menengah umum. Dia belum mengerti apa itu pernikahan. Gadis itu justeru dipaksa untuk mengikat janji sehidup semati, dengan orang yang tidak dia inginkan.
Andaikan dulu Bram menyerahkan Tania kepadanya untuk dirawat, mungkin semua ini tidak akan terjadi. Ovi merasa kakaknya tidak mempercayainya. Air mata wanita itu pun menetes.
* * *
Ovi berjalan menuju tempat acara tadi berlangsung. Beberapa tamu dan keluarga masih berkumpul, berbincang-bincang sembari makan. Ada juga yang kembali ke kamar untuk beristirahat.
Sedangkan wedding organizer masih sibuk mengubah panggung tempat akad tadi, menjadi tempat resepsi. Berbagai macam bunga yang cantik mengiasi ruangan, mulai dari pintu masuk sampai ke dalam. Segala jenis sajian dipersiapkan untuk menjamu para tamu. Hilir mudik orang-orang tidak mengurangi kesakralan acara tadi.
Bram memang pintar menyusun rencana, hingga banyak orang yang tidak tahu bahwa pernikahan itu dilakukan terpaksa oleh kedua pengantinya.
Jika Ovi menjadi Tania, mungkin dia memilih akan lari meninggalkan acara. Namunn gadis itu tetap menjalaninya walaupun terpaksa. Untunglah akhirnya dia menurut dan tidak berbuat macam-macam.
Ovi jadi teringat akan pernikahan dulu dengan Mike. Suasananya sama, seluruh ruangan dihiasi dengan bunga-bunga. Hanya saja dulu mereka sangat bahagia.
"Hai, Darl. Duduk di sini."
Mike menarik kursi untuk istrinya. Ovi ikut bergabung di meja dan mengambil makanan.
"Tania mana?" tanya Bram.
"Istirahat di kamar. Semalaman dia gak tidur. Kasian kalau dia capek. Bentar lagi, kan, lanjut resepsi," jawab Ovi.
"Dia sudah makan?" tanya Mike dengan bahasa Indonesia yang agak kaku.
"Udah, tadi aku suapin. Masih manja, padahal sudah jadi istri."
Saat mengucapkan itu, Ovi tersenyum mengerling Nero. Sementara itu, yang dilirik hanya diam sedari tadi dengan wajah yang memerah. Namun, lelaki itu berusaha memasang ekpresi biasa saja di depan semua orang, walaupun hatinya berdebar tak karuan.
"Nero, sana ke kamar. Temani Tania. Kamu juga butuh istirahat. Acara nanti malam padat. Undangan rame." Bram menyuruh menantunya masuk.
"Nanti aja, Mas. Masih mau ngobrol di sini," tolaknya halus.
"Loh kok panggil mas? Panggil papa, dong." Mike menggoda Nero.
Mereka semua tertawa. Nero sendiri hanya bisa tersipu malu karena sejak tadi menjadi bahan bercanda oleh yang lain.
"Sudah sana. Kamu istirahat. Lagian di kamar juga sama istri sendiri," ucap Bram sembari mengedipkan mata.
"Mas ini." Nero menunduk dengan wajah memerah.
"Kamu gak usah malu-malu, Nero. Kayak belum pernah nikah aja." Ovi menggodanya lagi. Lalu mereka kembali tergelak.
"Yaudah, aku pamit dulu."
Nero meninggalkan meja dan berjalan ke arah lift, lalu menekan tombol menuju kamarnya.
* * *
Nero berdiri lama di depan pintu. Dia merasa bimbang, hendak masuk atau tidak. Kunci kamar sedari tadi hanya dia genggam. Tangannya gemetaran setiap kali hendak membuka pintu.
Ada Tania di dalam. Sekarang dia sudah bukan gadis kecil lagi, tetapi sudah tumbuh menjadi wanita yang cantik. Bahkan, saat ini sudah sah menjadi istrinya.
"Ayolah Nero, masuk saja. Tania pasti juga pasti ketiduran karena kelelahan," Benaknya berbisik. Keringat Nero bercucuran, padahal di sini tidak panas sama sekali.
"Kamu hanya perlu masuk kamar. Lalu berganti pakaian dan beristirahat. Ini juga kamarmu." Bisikan itu terus bergema di kepalanya.
"Bagaimana kalau Tania marah dan mengusirnya?" Pertanyaan itu kembali bergulir memenuhi benaknya.
Setelah tahu mereka dijodohkan dan harus menikah, Tania menghindari Nero. Gadis itu marah dan mengatakan bahwa laki-laki itu sengaja menjebak dan ingin menghancurkan masa depannya. Dia berpikir Nero sengaja ingin menguasai perusahaan sang papa dengan cara menikahinya.
Nero hanya bisa terdiam dan menerima semua tuduhan itu. Janji kepada kepada Bram untuk merahasiakan semua masih dia pegang teguh. Hingga saatnya tiba, lelaki itu sendiri yang akan bicara kepada putrinya.
"Masuk saja. Gak apa-apa. Jika dia marah, kamu cuma perlu diam. Mungkin kamu bisa menenangkannya." Suara-suara itu bergaung kembali.
Sekarang semua sudah berbeda. Tania bukan gadis kecilnya lagi. Menyentuhnya sudah tak sama seperti dulu. Dalam kegamangan hati, Nero mengambil keputusan. Akhirnya, dengan mengumpulkan sedikit keberanian, dia masuk juga.
Nero berjalan pelan. Tania sedang tertidur lelap. Suara dengkur halusnya terdengar. Dengan perlahan lelaki itu menutup pintu. Lalu mengganti pakaian dan mencuci wajah.
Nero meragu hendak tidur di mana. Tubuh besarnya pasti tidak cukup jika berbaring di sofa. Kakinya pasti akan menekuk. Pinggang juga terasa sakit jika dipaksakan.
Lama menimbang, akhirnya Nero naik ke ranjang. Tubuhnya lelah, hati dan pikiran juga.
Lagipula, dia tidak akan berbuat maca-macam walaupun mereka sudah menjadi suami istri.
Sejak awal Bram memintanya menikahi Tania, hari-hari dirasakan Nero begitu berat. Juga penuh dengan konflik, tuduhan, dan penolakan yang tiada henti. Dia pasrah menerima. Semua sudah ada resiko, bukan?
Diantara rasa bimbang yang berkecamuk di benaknya, tak lama Nero ikut terlelap.