bc

Duka & Lara

book_age16+
225
IKUTI
1K
BACA
dark
forbidden
family
goodgirl
student
single daddy
highschool
abuse
lonely
victim
like
intro-logo
Uraian

Seperti sepasang luka yang memang sudah ditakdirkan untuk bersama, Duka Arkarna Gamaliel dan Lara Gemitir Senja bertemu di sebuah jembatan malam itu. Malam yang menyedihkan untuk mereka hingga membuat mereka memiliki niat untuk mengakhiri hidup mereka.

"Menurut Lo, apa setelah ini kita akan bahagia?" tanya Duka pada Lara.

"Gua ga tau, tapi mungkin bisa menyelesaikan segala luka yang ada." ujar Lara menjawab Duka.

"Apa Lo benar-benar siap?" tanya Duka dan Lara pun mengangguk.

Lalu, apa yang akan terjadi dengan mereka berdua malam itu? Apakah mereka akan mengakhiri atau memulai kembali?

Cover by Pixabay

chap-preview
Pratinjau gratis
1
Kediaman baru Fabio Gamaliel sekarang sedang diliputi oleh suara teriakan tak tertahan dari sang empu rumah. Fabio tampak sedang memarahi anak bungsunya sekarang, anak yang dulu memang ia harapkan kehadirannya. Namun setelah ia mengambil cinta pertamanya, setelah ia membuat istrinya meninggal karena melahirkan anaknya itu, Fabio sangat membencinya. Lima belas tahun yang lalu, istrinya meninggal saat melahirkan anak kedua mereka yang sekarang ini ia beri nama Duka Arkarna Gamaliel. Ya, anak keduanya itu hanyalah Duka bagi keluarganya. Gara-gara dia, istrinya meninggal dan Raksa, anak pertamanya juga harus merasakan kehilangan. "Kamu lebih baik tahu tempat Duka. Stop untuk sok tahu, kamu cukup diam dan ikuti apa saja yang Papa katakan. Besok kamu dan Raksa pindah ke sekolah baru. Tidak ada penolakan." ujar Fabio Gamaliel, kepada Duka. "Tapi Pah, aku udah punya teman di sekolah kemarin Pah. Papa tahu kan aku susah buat dapat temen Pah." ujar Duka mengutarakan yang sesungguhnya. Apa yang ia katakan saat ini memang benar-benar yang ia rasa karena dirinya merupakan tipikal yang sangat susah mendapatkan teman. Papanya tampak diam saja, ia menatap tajam ke arah Duka. Ia pun mulai mendekati Duka lagi sekarang. Ia tampak menatap dengan taman matanya. "Papa tidak perduli. Salah kamu sendiri tidak pandai mencari teman. Harusnya kamu kayak Raksa yang menurut sama Papa, dia juga mudah mencari teman. Kamu harusnya contoh kakak kamu itu. Jangan bisanya cuman menyusahkan saja kamu itu." ujar Fabio dan setelah itu ia pun pergi dari hadapan Duka. Duka tampak masih berdiri di ruang tamu rumah barunya. Selalu seperti itu, Papanya selalu tidak pernah mendengarkan dirinya. Papanya juga selalu membandingkan dirinya dengan kakaknya, Raksa. Padahal mereka berdua jelas berbeda. Raksa mendapatkan apapun yang ia mau, Raksa mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari Papanya juga. Namun tidak dengan Duka. Duka tidak pernah mendapatkan keduanya. Papa minta aku buat contoh Raksa, tapi Papa ga tau kalo aku sama Raksa jelas tumbuh dengan keadaan yang berbeda. Raksa pernah bertemu dengan Mama, sementara aku nggak. Justru aku yang buat Mama meninggal. Raksa selalu diurus sama Papa, sementara aku selalu diabaikan sama Papa. Ini semua juga ga adil buat aku Pah, tapi aku ga berani bilang ke Papa atau ke Raksa kalo selama ini aku keberatan. Kalo selama ini aku merasa tersiksa, aku ga berani karena kalian mungkin lebih tersiksa saat kehilangan Mama. Batin Duka, sekarang Duka sudah akan pergi ke kamarnya dan melupakan segala hal yang membebani dirinya malam ini. Namun langkahnya terhenti. Sepertinya Tuhan belum mau berhenti memberikan ujian kepada dirinya karena jika tadi Papanya yang memarahi dirinya kini Raksa yang mendekat. Jika Raksa sudah mendekat pasti ia hanya akan mencari keributan saja. Raksa dengan amarah dan rasa dendamnya kepada Duka, tak pernah hilang meskipun sudah lima belas tahun berlalu sejak Mama mereka meninggal. "Raksa kalo Lo mau ngajak gua berantem sekarang. Jujur gua lagi capek, give me more time again." ujar Duka kepada Raksa, meskipun Duka tahu bahwa Duka tidak akan pernah bisa menghentikan Raksa. Raksa akan bertindak semaunya sendiri dan Papanya akan selalu membela Raksa. "Gua ga pernah ngajak Lo buat berantem ya Duka, ga. Justru Lo yang hobby banget muncul di depan gua. Lo tahu? Dengan ngeliat wajah Lo gua seringkali ga bisa nahan buat ga hajar Lo. Karena wajah Lo, diri Lo itu penyebab gua kehilangan Mama gua." ujar Raksa kepada Duka saat ini. Duka hanya diam saja, kemarahan dari Papanya dan juga dari Raksa selalu sama setiap waktunya. Mereka masih tetap marah karena kehilangan seseorang yang mereka sayangi. Namun mereka tidak pernah berubah meskipun mereka tahu bahwa Mamanya Duka dan Raksa tidak akan pernah kembali karena sekarang Mama mereka sudah tenang berada di surga. "Raksa, Mama Lo juga Mama gua kalo Lo lupa. Gua juga ga mau kehilangan Mama. Gua juga ga mau jadi penyebab Mama meninggal, tapi mau gimana lagi Raksa, ini semua udah takdir Tuhan. Kita sebagai manusia cuma bisa menerima takdir yang udah digariskan sama Tuhan." ujar Duka tersebut. "Takdir kata Lo? Duka, Lo tahu? Andai waktu bisa berputar dan andai gua bisa meminta sama Tuhan gua mau tarik kata-kata gua dulu yang gua bilang mau punya adik. Gua bakalan buat Lo ga lahir. Lebih baik Lo ga lahir kalo dengan kelahiran Lo itu malah membuat duka di keluarga ini." ujar Raksa. "Bahkan Lo tahu Duka? Gua selalu berharap Lo mati. Karena kalo Lo mati seengaknya gua ga ada dendam lagi sama orang. Seengaknya gua ga akan tersiksa lagi ngeliat muka Lo ini." ujar Raksa kepada Duka. Setelah mengatakan hal itu, Raksa pergi dari sana. Ia pergi menuju kamarnya itu. Meninggalkan Duka dengan segala kekalutannya. Duka kini tampak terdiam cukup lama disana, ia memikirkan perkataan dari Raksa tadi. Ini bukan pertama kalinya Raksa mengatakan hal itu, bahkan Papanya pun juga sering mengatakan perkataan itu. Mereka berdua sama saja, sering berharap andai Duka meninggalkan dunia ini. Sepertinya mereka berdua akan menjadi manusia yang paling bahagia di bumi ini. Karena itu keinginan besar mereka. Lelaki pembawa duka, seperti itulah Duka bagi keluarganya. Bahkan bagi teman-temannya juga, mereka seringkali bermasalah jika berada di dekat Duka. Hal itu terjadi karena Raksa selalu mengganggu siapapun yang berani mendekati Duka. Itu juga menjadi satu alasan kenapa dirinya sangat sulit mendapatkan teman baik. Mereka semua menganggap Duka pembawa luka. "Apa kalo aku pergi, Papa sama Raksa akan bahagia?" tanya Duka itu. Duka tampak masih berada di ruang tamunya dalam beberapa saat. Mereka tadi baru saja pindahan, harusnya Duka sekarang beristirahat dikamarnya tapi ia sekarang masih disana karena permasalahan dengan kedua orang yang menjadi keluarganya itu ia sekarang tidak memiliki keinginan untuk pergi kesana. Sekarang ini ia masih berada di ruang tamu. Rasanya ia lelah, tadi ia habis pindahan dan ia mengangkat sendiri barang-barangnya. Lelah fisiknya itu kini bertambah dengan lelah dihatinya. Ia lelah terus menerus dibeginikan oleh keluarganya, padahal keluarganya seharusnya mencintainya bukan malah membencinya dan menginginkan kematiannya. Ia pun sekarang bertanya-tanya apakah kematiannya memang sangat diinginkan oleh Papa dan oleh Raksa? Pikirannya kini sedang kalut. Tanpa sadar Duka sekarang berjalan keluar dari rumahnya. Ia berjalan tanpa arah dan tanpa tujuan, ia sudah tidak memiliki tempat untuk pulang. Ah tidak, itu salah. Yang benar adalah dirinya yang memang sedari dulu tidak memiliki tempat untuk pulang, keluarganya tidak pernah menjadi tempat itu. "Pah, Gama juga mau disayang kayak Raksa Pah. Tapi kenapa Papa ga pernah melakukan itu padahal Gama juga anak Papa." ujar Duka tersebut, ia memang lebih senang menyebut dirinya dengan nama Gama ketimbang Duka. Karena meskipun itu namanya, ia tidak menyukai makna yang tersirat didalam namanya itu. Duka yang selalu dihubungkan dengan pembawa luka. "Apa Papa sama Raksa memang ingin Gama pergi? Apa Papa sama Raksa memang ingin Gama mati? Pah, Raksa apa kalo Gama pergi, kalian ga akan menangis atau kehilangan?" tanya Duka sembari ia masih berjalan tak tentu arah. Ia memang sedang lelah, lelah hati dan juga lelah fisiknya. Namun ia sekarang tetap berjalan di dalam kelelahan yang ia miliki. Ia tetap melangkah meskipun tanpa tujuan. Ia ingin pulang, tapi mau pulang kemana? "Dari dulu emang gua ga pernah punya rumah, mau seberusaha apapun gua dalam hidup mereka ga akan pernah nerima gua." ujar Duka sendiri pada dirinya sendiri karena faktanya ia sekarang masih sendiri di jalanan tersebut. Duka tetap berjalan hingga akhirnya langkah kakinya berhenti tatkala ia melihat ada jembatan cukup besar dijalanan ini. Kekalutan membawa dirinya berjalan menuju ke tempat itu. Tempat yang mungkin seharusnya tidak ia datangi disaat ia sedang tidak baik-baik saja dan hanya diselimuti oleh pemikiran negatif. Namun kali ini ia masih tetap berjalan ke arah jembatan itu. Pah, Raksa, Gama udah benar-benar capek. Gama udah ga kuat lagi sama semua ini. Rasanya masih semenyakitkan itu, apalagi Papansama Raksa ga berubah sama sekali. Masih membenci Gama dengan sebegitunya. Sekarang ini Gama udah sampai dititik terendah Gama. Gama capek. Batin Gama yang mana ia sudah semakin dekat dengan jembatan yang gelap itu. Jembatan ini hanya akan terang ketika ada motor atau mobil yang lewat. Ini sudah malam, hampir pukul dua belas malam maka dari itu jembatan ini sangat sepi. Duka sekarang sudah mencapai di trotoar dekat jembatan. Ia berjalan di trotoar tersebut hingga ia sampai di tengah-tengah jembatan dengan besi sebagai penyangga. Ia pun tampak terdiam di dalam kegelapan. Matanya menatap kosong ke bawah dimana ada derasnya air yang mengalir dibawahnya. Ia juga tampak melihat langit yang kini gelap, bahkan bintang dan bulan pun tak ingin menampakkan diri karena mendungnya langit. Bintang dan bulan seakan tahu bahwa di bumi sedang ada yang tenggelam dalam lautan kegelapan. Dia adalah Duka, Duka dengan segala lukanya. "Apa ini yang dimau sama Papa dan Raksa? Tapi gua emang udah ga punya tempat untuk pulang lagi. Ah, gua masih punya tempat pulang. Tuhan apakah ini sudah menjadi waktunya? Apakah ini waktu terbaik untuk pulang ke dalam pangkuan-Mu?" tanya Duka sembari menatap ke langit yang gelap. "Jika ya, tolong percepat semua ini. Hidup di dunia ini sudah sangat menyiksa, mungkin hidup di alam itu lebih membahagiakan. Lagi pula disana ada Mama juga. Mama yang belum pernah aku temui dari dulu. Mah, apa Mama Sudi untuk menerima Gama disana? Apa Mama sudi untuk menampung Gama Mah?" tanya Duka bertanya-tanya kepada angin disana. Dinginnya malam sudah tidak lagi Duka rasakan. Meskipun sekarang ini Duka tidak menggenakan jaket. Bahkan Duka hanya menggunakan celana jeans panjang dengan baju kaos berwarna hitam. Hitam merupakan warna kesukaan Duka, karena hitam juga merupakan hidup Duka.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Tentang Cinta Kita

read
202.8K
bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.8K
bc

DENTA

read
18.1K
bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
287.0K
bc

Head Over Heels

read
16.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
219.3K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook