Jenny keluar dari flatnya, ia bermaksud pergi ke toko buku tempatnya bekerja. Ia terpaksa menyamarkan penampilannya, agar tidak ada orang yang mengenalinya sebagai Jennifer Pitterson, putri dari Braddley Pitterson.
Pekerjaan di toko buku, di dapatnya dari iklan di koran, pemilik toko buku adalah seorang nenek bernama Audrey. Jenny cukup senang dengan pekerjaannya. Lingkungan kerja, cukup menyenangkan baginya.
Sehingga ia bersemangat untuk berangkat bekerja.
Audrey, wanita usia lima puluh lima tahun itu, boss yang sangat menyenangkan bagi Jenny. Audrey suka mencoba berbagai resep masskan. Di lantai atas toko buku milik Audrey, adalah tempat tinggal Audrey.
Sore ini, Jenny tidak perlu memikirkan makan malamnya, karena Audrey memberinya makanan masakannya, yang bisa ia santap untuk makan malam.
Jenny menutup toko dengan hati riang gembira, ia berpamitan pada Audrey sebelum pulang.
Jenny hanya berjalan kaki menuju flatnya, karena tidak terlalu jauh jaraknya. Jenny melangkah dengan santai, sambil menikmati suasana senja. Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di sampingnya, dua orang ke luar dari mobil, dan membekap mulutnya.
Jenny tidak bisa melakukan perlawanan, ia pingsan karena obat bius yang ada di kain yang dipakai si pembekapnya. Mobil yang membawa Jenny langsung melaju meninggalkan lokasi di mana Jenny dibekap tadi. Salah seorang dari mereka menelpon seseorang, mengabarkan bahwa Jenny sudah berada di tangan mereka.
***
Jenny membuka matanya, yang pertama ia lihat adalah langit-langit kamar tempat di mana ia berada. Lalu ia menatap sekelilingnya, ruangan yang sangat akrab dengannya, kamar tidurnya di rumah Bradd.
"Sudah bangun," suara itu datang dari arah jendela. Jenny bangun dari berbaringnya, kepalanya terasa sedikit pusing, karena pengaruh obat bius yang tadi sempat dihirupnya. Jenny menurunkan kakinya ke lantai, ia duduk di tepi ranjang, dengan kakinya menjuntai di sisi ranjang.
Jenny menatap Bradd, yang tengah berjalan ke arahnya. Jenny tidak tahu, bagaimana cara Bradd menemukannya. Bradd duduk di tepi ranjang, tepat di sebelah Jenny.
"Kabur dari rumah bukanlah cara yang bagus untuk menyampaikan sebuah protes, Jenny," Bradd menolehkan kepalanya, untuk menatap Jenny.
"Jika ada yang tidak kamu suka, bisa kamu sampaikan langsung pada Daddy, jangan justru pergi, dan menimbulkan masalah baru."
"Katakan pada Daddy, apa yang membuatmu pergi dari rumah?"
"Aku tidak ingin tinggal satu atap dengan wanita itu," jawab Jenny lirih.
"Wanita itu? Angelica, maksudmu? Dia ibumu, Jenny."
"Aku tahu, tapi dia tidak pernah mencintaiku, bahkan aku merasakan dari tatapannya, kalau dia menganggapku saingannya!" Jenny merentak berdiri dari duduknya.
"Apa yang kamu katakan, saingan apa? Apa yang membuatmu berpikir, kalau kalian adalah saingan, apa yang diperebutkan, Jenny?"
"Daddy sangat mencintainya, iyakan? Daddy ingin menikahinya, iyakan? Lakukan apa yang Daddy mau, tapi sampai kapanpun, aku tidak ingin tinggal satu atap dengan wanita itu!" Seru Jenny dengan nada berapi-api.
Bradd menatap Jenny, tadinya ia pikir, Jenny pergi karena menolak perjodohan yang sudah diatur almarhum kakeknya. Tapi, ternyata ia salah.
"Jenny, Daddy tidak tahu, dari mana pikiran seperti itu kamu dapatkan?"
"Daddy tidak usah berpura-pura, Daddy masih sangat mencintainyakan, karena itu sampai sekarang Daddy tidak menikah lagi!"
Bradd berdiri dari duduknya, ia melangkah untuk mendekati Jenny, tapi Jenny mundur untuk menjauhinya.
"Hhhh, kamu perlu tahu Jenny, selama ini hanya dirimu yang Daddy pikirkan. Alasan Daddy tidak menikah, bukan karena Angelica, tapi karena Daddy ingin fokus melakukan apa yang menjadi pesan kakekmu." Bradd berhenti sejenak untuk menarik napas.
"Dia meminta untuk menjagamu, sampai seseorang bisa menggantikan tugas Daddy. Seseorang yang akan menjadi suamimu. Daddy tidak menikah, karena tidak ingin pikiran, dan perhatian terbagi, antara dirimu, dengan istri, dan anak-anak dari pernikahan Daddy." Bradd kembali menarik napas dalam.
"Daddy punya hutang budi pada kakekmu, hutang yang tidak akan mampu Daddy bayar, meski dengan nyawa. Jadi Daddy mohon padamu, bantu Daddy memenuhi pesan kakekmu."
"Aku tidak ingin menikah dengan Jason!"
"Daddy tidak akan memaksamu, Jenny. Kamu bisa memilih, pria mana yang kamu ingin jadikan suami, tapi tentu saja, jangan hanya cinta pertimbangannya, pikirkan juga kelangsungan perusahaan yang akan Daddy serahkan padamu. Karena, begitu kamu menikah, apa yang diwariskan kakekmu, akan Daddy serahkan semuanya padamu. Semuanya hakmu, Jenny."
Jenny menatap Bradd dengan lekat, Bradd menaikan alisnya, karena merasakan tatapan Jenny yang tidak seperti biasanya.
"Ada apa?"
"Apa kalau aku menikah, Daddy akan pergi dari rumah ini? Apa Daddy akan meninggalkan aku? Apa Daddy akan menikahi wanita itu?" Jenny menatap Bradd dengan mata berkaca-kaca.
"Aku akan tetap di sini, jika kamu menginginkannya," Bradd menjangkau bahu Jenny, lalu di dekap erat ke dadanya.
"Tapi, jangan bawa masuk wanita itu ke dalam kehidupan kita ya Daddy."
"Aku tidak akan membawa siapa-siapa ke rumah ini tanpa persetujuanmu, Jenny."
Jenny melingkarkan kedua tangannya di tubuh Bradd.
"Daddy," Jenny mendongakan wajahnya, untuk menatap wajah Bradd.
"Hmmm," Bradd melepaskan pelukannya.
"Kenapa tidak ada foto-foto pernikahan Daddy, dan wanita itu, saat kalian menikah dulu?"
Bradd menatap Jenny dengan wajah terkejut, karena baru kali ini Jenny menanyakan hal itu kepadanya.
"Kenapa, Daddy? Apa Daddy menyembunyikan foto-foto itu untuk Daddy sendiri?" pertanyaan Jenny terdengar sangat menyelidik. Bradd berusaha berpikir cepat, ia harus menemukan jawaban paling masuk akal bagi Jenny, yang bukan bocah lagi. Jenny sudah dewasa, dia akan tahu, kalau Bradd berdusta, kalau alasan yang Bradd berikan tidak sesuai logika.
"Jawab, Daddy! Apa kalian menikah tanpa ada pesta, tanpa ada kamera?" Jenny menuntut jawaban dari Bradd, Bradd menatap wajah Jenny, wajah yang sangat mirip dengan Angelica saat muda.
BERSAMBUNG