"Sebenernya dia merasa berat tapi apa boleh buat. Tugas istri hanya menuruti suami selama itu untuk kebaikan mereka."
***
Veni sudah selesai periksa dari rumah sakit. Dia pun meminta kepada Mario untuk pulang ke rumahnya dan memberitahukan kabar bahagia ini kepada orang tuanya. Padahal, baru kemarin dia dari rumah kedua orang tuanya.
Mario sebenernya ingin menolak karena takutnya nanti Veni meminta nginep. Lebih baik mereka tidak menginap di sana lebih dulu.
"Mario ayo ke rumah Umi sama Abi aku enggak sabar kasih tahu mereka kalau aku hamil." Veni terlihat senang untuk memberitahukan ini kepada kedua orang tuanya.
"Kamu mau nginap lagi di sana?"
"Emang enggak boleh kalau aku nginep di sana?"
"Bukan enggak boleh, Ven. Baru beberapa hari yang lalu kita nginap di sana. Bahkan kita baru tidur di rumah Mama berapa kali masa mau nginep di sana lagi enggak enak, Ven."
"Tapi itu kan rumah orang tua kamu. Rasanya aku masih enggak enak."
"Tapi kamu juga udah suami aku ya berarti kamu juga bagian dari keluarga lah."
"Bukan gitu maksud aku, Ven cuma—"
"Kamu kenapa? Keluarga aku ada bikin salah sama kamu? Aku ada ngelakuin sesuatu buat kamu atau kamu enggak suka tinggal di rumah keluarga aku?" tanya Veni berurutan. Mario jadi serba salah sekarang dia harus menjawab apa.
"Yaudah kita ke rumah kamu." Malas berdebat lama-lama dengan istrinya dia pun menyalakan mobilnya dan menuju ke rumah mertuanya.
"Kalau enggak ikhlas enggak usah! Biar Aku aja yang ke sana kasih tahu Umi sama Abi. Ini kabar bahagia untuk kedua orang tua aku pasti dan kamu ngelarang aku untuk ngasih tahu mereka. Aneh tahu enggak, Yo!" Mario mengelap mukanya kasar dengan tangan, "Bukan enggak boleh ngasih tahu aku kan tadi nanya apa harus kita nginep lagi di sana? Beberapa hari yang lalu kita baru nginep di sana. Aku cuma canggung aja kalau harus balik lagi dan nginep di sana," jelas Mario lagi.
"Serah." Veni memutar badannya membelakangi Mario. Mario yang baru menjalankan mobilnya pun menepi.
"Ngapain berhenti?" tanya Veni melihat ke Mario lagi.
"Kamu ngambek ya aku berhenti. Soalnya mobilnya berat sebelah kamu nengok sana." Veni menatap Mario datar. Mana bisa seperti itu.
"Mana ada gitu. Udah buruan jalan."
"Iya tapi jangan marah lagi dulu. Ntar kita jalan. Masalahnya aku besok ada ketemu client kalau kamu mau nginep ya enggak papa aku aja yang pulang." Veni mengerutkan keningnya.
"Tapi kan kamu belum kerja? Toh, kerja juga di Perusahaan sendiri."
"Iya emang kerja di Perusahaan sendiri tapi kan harus memberikan contoh. Marvel mau nemuin client juga. Sedangkan client ini pun jauh-jauh dari luar negri. Jadi, mau enggak mau aku harus nemuin dia. Dan malam ini aku mau ngurusin persiapan-persiapannya."
Veni menganggukan kepalanya, "Tapi kan persiapan bisa sama sekretaris."
"Iya emang tapi kan enggak semua kerjaan harus dikerjain sekretaris. Aku juga harus mantau kalau bangkrut gimana?"
"Tapi, Bosku semua yang ngerjain aku dia tinggal terima beres. Ada rapat pun aku yang nyiapin." Mario berusaha sabar dengan istrinya.
Apakah ini efek hamil hingga membuat istrinya super menyebalkan?
Untung saja dia hanya bisa menggumam itu dalam hati saja. Tidak mungkin dia mengatakan itu kepada istrinya perihal menginap saja urusannya jadi panjang.
"Beda perusahaan beda kebijakan sayang. Mungkin kerja kamu udah bagus jadi ya bosnya percaya. Tapi, kamu jangan terlalu deket sama bosnya. Walaupun, kamu sekretarisnya," ucap Mario dengan wajah datar. Veni malah tertawa.
"Bosku udah tua tahu," jawab Veni sambil tertawa.
"Udah tua kalau dia seneng kamu terus kamu seneng dia," saut Mario lagi. Veni menggelengkan kepalanya dan tertawa.
"Yaudah ayo ke rumah orang tau kamu lagi. Jangan ngambek lagi. Jangan nengok sana masa suaminya dianggurin," ucap Mario.
"Iya-iya."in
"Jadi, kalau kamu mau nginep aku enggak usah ikut ya."
"Enggak jadi nginep deh. Aku di rumah aja sama kamu." Mario tersenyum tangan satunya memegang kepala Veni dan mengelusnya. Untung saja istrinya itu paham. Dia sebenarnya jujur ingin bertemu dengan clientnya tapi tadinya dia tidak akan bilang. Dan memilih mengatakan dari pada Venita marah.
***
"Yang bener, nak?" tanya Uminya terkejut setelah memberitahukan kalau Veni hamil. Uminya itu malah tersenyum bahagia mendengar ucapan itu dari anaknya.
"Kamu beneran hamil, Ven?" tanya Abinya gantian
"Iya, Umi ... Abi aku hamil."
"Kenapa enggak ngasih tahu kemarin aja padahal kamu juga baru ke sini," ucap Abinya.
"Kemarin, Veni itu muntah-muntah terus pingsan yaudah aku panggilin dokter aja, Mi terus tahunya dia hamil," jawab Mario menjelaskan kejadiannya. Dia tidak menjelaskan kejadiannya secara mendetail.
Veni pun yang ingat kejadian kemarin jadi malu sendiri. Pasti Mario sudah mau melakukan sesuatu. Ahhh ... tidak ... tidak dia tidak boleh berpikiran sampai sana.
"Alhamdulillah ya dikasih momongan cepet," ujar Abinya ikut senang. Dia tidak menyangka anak perempuan satu-satunya akan memiliki anak dan dia sebentar lagi akan menjadi seorang kakek.
"Emang kamu enggak ngitung kapan terakhir haid?" tanya Uminya.
Veni menggelengkan kepalanya, "Kan Umi tahu haid ku enggak lancar aku jadi males ngitunginnya. Tapi, emang telat sih seharusnya kemarin kalo diprediksi untung aja Mario cepet ngabarin Dokter eh terus tahunya hamil."
"Oh gitu...."
"Yaudah dijaga kandungannya, Ven. Istirahat yang cukup makannya juga diatur jangan asal-asalan," ucap Uminya.
"Jangan makan pedes juga. Mario istri kamu dilarang nanti kalau enggak dilarang bisa-bisa kalap kayak kemarin lagi. Berarti kamu itu kemarin makan pedes udah hamil. Untung aja bayi kamu enggak papa," ujar Abinya gantian.
"Nahkan iya untung aja kemaren. Hadeuh punya anak kebiasaan banget kalau dibilangin kalau makan pedes jangan suka makan banyak-banyak."
"Iya, Mi. Kemarin sewaktu pulang dari Bogor juga dia minta soto Betawi. Itu Mario langsung mundurin aja sambelnya. Mario yang kasih." Adu Mario kepada kedua mertuanya.
Veni yang tidak terima pun berbalas lagi, "Dan itu enggak ada rasanya sama sekali. Masa cuma dikasih dua sendok doang," dumal Veni.
"Se sendok aja itu pedes gimana dua sendok coba," jawab Mario lagi.
"Ck. Emang kamunya aja enggak suka pedes. Coba kamu suka pasti segitu enggak ada rasanya. Ibarat kamu makan es krim masa itu es krim rasanya anyep," ucap Veni tidak mau kalah.
"Mana ada rasa es krim anyep."
"Adalah. Es krim kan emang rasanya anyep," jawab Veni lagi.
"Lah pengertian anyep kan banyak. Anyep bahasa jawa artinya dingin kalau bahasa emm I think ya anyep itu kek enggak ada rasa gitu. Anyep yang kamu maksud ambigu." Veni menatap suaminya datar dan sinis. Mario pun terkekeh, "Iya-iya terserah kamu aja. Kamu selalu bener kok, Ven." Mario pasrah dari pada istrinya itu mendiamkanya kembali.
"Kalian ini mengingatkan waktu kita masih muda saja," ucap Uminya.
"Iyadeh percaya, Umi sama Abi kan always romantis tapi sekarang anaknya udah punya suami juga jadi bisa kok sayang-sayangan enggak Umi sama Abi aja." Veni menggandeng tangan Mario. Kedua orang tuanya hanya menggelengkan kepalanya.
"Kalian mau nginep enggak biar Umi masakin buat kalian."
"Enggak, Mi. Besok Mario ada kerjaan dadakan gantiin kakaknya jadi enggak bisa nginep dulu. Veni sama Mas Mario langsung pulang aja."
"Emm ... gitu. Yaudah enggak papa," jawab Uminya. Mario tersenyum dan mengelus kepala istrinya.
***
Malam harinya setelah mereka selesai makan malam di rumah Mario. Dian ingin anak-anak dan menantunya semua berkumpul. Dia ingin membahas keluarga mereka.
"Ada apa, Ma? Udah malam kok nyuruh kita kumpul?" tanya Marvel.
"Kalian sibuk sama urusan kalian terus jadi yaudah malam ini aja mumpung Marvel dan Bhiya belum pulang," ucap Dian.
Marvel hanya mengangguk dan Bhiya terlihat hanya menundukkan kepalanya. Dian beralih pindah duduk di samping Veni. Veni malah merasa tidak enak saat Dian beralih. Dia pun menggeser tubuhnya ke samping.
"Emm ... ada apa, Ma?" tanya Veni takut-takut. Dia masih merasa canggung dengan Dian. Apalagi saat dia mendengar gertakan kasar Dian kepada Mbak Bhiya. Dia takut kalau dirinya pun disepertiitukan.
"Kamu masih kerja?" tanya Dian.
"Belum, Ma masih cuti. Tapi, sesekali aku kerja dari rumah."
"Emmm kamu mau kerja sampe kapan?"
"Kenapa emangnya, Ma?"
"Mama tanya aja soalnya kamu kan lagi hamil."
"Ma...." Mario berusaha menghentikkan ucapan Mamanya. Dia yang ingin mengatakan kepada Mamanya kalau hal ini tidak perlu dilanjut biar Mario saja yang bilang.
"Kamu enggak berani ngomong langsung ke Veni kan karena enggak enak, Mar? Yaudah Mama aja. Kamu enggak papa kan kalau Mama yang bilang ke kamu?" Veni jadi bingung harus menjawab apa. Dian terlalu to the point. Kenapa bukan Mario yang mengatakannya kenapa malah mertuanya. Apa Mario sengaja meminta tolong kepada Mamanya agar dirinya mau karena kalau cuma Mario pasti Veni akan membantah. Apa itu maksud Mario.
"Ven kok malah bengong?" tanya Mamanya lagi. Veni benar-benar tidak tahu harus menjawab apa sekatang.
"Gini loh, Ven. Maksud Mama itu baik. Kamu lagi hamil nah sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan kayak...." Dian melirik ke arah Bhiya sekejab. Lalu beralih lagi kepada Veni dengan senyum. Veni benar-benar merasa kalau Mama mertuanya ini sedang menyindir kakak Iparnya.
"Ah maksud, Mama. Biar kamu enggak kecapekan kamu kan lagi hamil. Mama mau punya cepet cucu. Takut gagal lagi. Makanya menurut Mama kamu berhenti kerja aja deh ya," ucap Dian dengan langsung mengatakan hal tersebut.
Veni melirik ke arah mereka semua. Tatapannya beralih kepada Mbak Bhiya. Terlihat sedih wajahnya, apa yang dibilang Mbak Bhiya waktu itu berhenti bekerja karena anaknya tidak berhasil diselamatkan.
"Gimana, Ven? Kamu enggak kasian sama anak kamu kalau kamu bawa kerja? Nanti kecapekan. Lagian kamu mau minta apa aja ke Mario pasti diturutin kok. Dulu Bhiya juga gitu iyakan, Bhiy?" tanya Dian di akhir kalimat tapi dengan nada menyindir.
"Iya, Ma," jawab Bhiya dengan suara pelan.
"Nah tuh iya. Tapi, Bhiya dulu suruh berhenti kerja gamau."
"Udah, Ma. Nanti bulan depan Bhiya juga berhenti kerja kok," ucap Marvel.
Mama mertuanya tidak peduli dengan hal itu lantas dia beralih lagi melihat Veni dengan pandangan lembut. Tidak seperti saat memandang Bhiya tadi. Veni merasa Mama mertuanya ini tidak ingin kalau nasib dirinya sama seperti Kakak Iparnya.
"Gimana, Ven? Kamu masih mau lanjut kerja kasihan lo sama anak kamu."
"Tapi, Ma kayaknya Veni juga enggak bisa langsung ngundurin diri. Veni kan sekretaris harus bisa cari Pengganti juga." Dian seperti membuang napas kasar.
"Sampai kapan kira-kira kamu harus terus kerja?"
"Emm ... Veni enggak tahu, Ma. Cuma secepatnya nanti Veni pikirin apa harus berhenti atau meminta keringanan kerjaan aja. Biar enggak sibuk kayak biasanya," ucap Veni dengan sabar.
"Yaudahlah kalau itu pilihan kamu. Mama mau istirahat dulu." Dian lantas bangkit saat Veni menjawab seperti itu.
"Ma...." panggil Marvel ingin mengamit tangan Mamanya tapi ditangkis oleh Mamanya.
"Mario, Mama kenapa?" tanya Veni.
"Enggak papa kamu enggak usah pikirin ya. Nanti kita pikirin berdua mau kamu gimana juga biar Mama bisa ngertiin kamu juga."
"Tapi kok tadi aku lihat Mama kayak kesel sama aku, Mar. Aku jadi enggak enak sama Mama tapi aku juga tadi bingung harus jawab apa."
"Udah enggak papa yaudah yuk kita ke kamar aja. Kamu istirahat, kan tadi siang bekas dari rumah Abi sama Umi."
"Eh Mbak Bhiya tapi sendiri di sini?" tanya Veni saat melihat Bhiya terlihat murung masih duduk di sofanya.
"Eh enggak papa. Kamu ke kamar aja."
"Beneran enggak papa?" tanya Veni lagi.
"Enggak papa kok."
"Oiya, Ven kamu duluan ke kamar ya aku mau bawain cemilan buat kamu bikinin kamu s**u dulu juga."
"Gausah biar aku aja yang buat."
"Udah enggak papa gih kamu ke kamar aja. Biar aku buatin cemilan buat kamu sama s**u buat kamu dulu." Veni pun mengangguk dan menuju ke kamar.
"Mbak Bhiya, Veni duluan ke kamar ya."
"Iya. Kamu istirahat yang cukup ya. Makan yang bener juga."
"Iya, Mbak Bhiya...." Mario pun ikut berdiri tapi Veni lantas masuk ke kamarnya. Mario melihat ke Veni yang sudah semakin jauh menuju ke kamar. Mario maju sedikit untuk memastikan kalau Veni sudah masuk ke kamar.
"Mama kenapa, Bhiy?" tanya Mario.
"Kamu lihat sendiri. Mama kayaknya nyindir aku yang enggak hamil lagi setelah keguguran. Mama minta aku resign cepet tapi aku kan enggak bisa. Aku juga nunggu Bulan depan dulu tapi sebenernya belum di acc aku jadi bingung." Bhiya menengkupkan tangannya ke mukanya. Mario jadi merasa kasihan. Dia pun mendekat ke arah Bhiya.
"Mar kamu jangan deket-deket nanti kalau misalnya ada yang lihat dikira kita ada apa-apa." Mario pun mau tidak mau akhirnya mundur. Tapi, dia merasa iba dengan Bhiya perasaannya ingin memeluk gadis itu. Tapi apa daya mereka sedang ada di rumah takut ada yang lihat juga. Tangisan Bhiya benar-benar membuatnya tidak tega.