"Mencoba untuk menerima."
***
Setelah percakapannya semalam dengan suaminya yang memang menyuruhnya resign, mau tidak mau hari ini dia akan mencoba mengatakanya kepada bosnya kalau dia mengundurkan diri. Dia tidak mau durhaka dengan suaminya karena memang seharusnya setelah menikah dia menuruti mau suaminya.
Veni menarik napas dalam, dia akan bicara dengan bosnya sekarang. Veni bangkit dari kasurnya dia akan mencoba mengatakanya entah apa hasilnya nanti. Jujur Veni gugup ingin mengatakan ini bukan karena ada perasaan atau apa tapi dia merasa takut kalau seandainya bosnya itu malah marah kepadanya.
"Misi, Pak," ucap Veni dengan sopan. Bram melihat ke arah Veni yang datang. Pandangannya yang ke arah laptop kini melihat ke arah Veni.
"Ya, Veni ada apa?" tanya Bram.
"Ada yang mau saya bicarakan, Pak," ucap Veni ragu-ragu dengan perasaan yang takut.
"Silahkan duduk. Apa yang mau kamu bicarakan."
"Terimakasih, Pak." Veni duduk setelah dipersilahkan oleh bosnya. Veni benar-benar gugup ingin berbicara ini. Tapi, dia tidak mau ada masalah lagi.
"Silahkan bicara, Ven kamu mau ngomong apa?" tanya bosnya lagi.
Veni menarik napas dalam, "Gini, Pak. Mohon maaf sebelumnya. Selama ini saya kerja sudah lama dan saya sampai menjadi sekretaris bapak juga sebelumnya tidak pernah saya pikirkan. Saya mau pamit untuk resign dari kerjaan ini." Pak Bram mengerutkan keningnya lantas dia melihat Veni serius seperti pandangan tidak suka atau entahlah Veni tidak paham.
"Kenapa? Apa ada yang membuat kamu tidak nyaman? Atau masalah gaji kemarin yang saya potong? Kalau gaji kamu tidak akan saya potong."
"Eh ... eng ... enggak gitu kok, Pak. Ini enggak ada hubungannya sama gaji yang dipotong. Saya emang mau resign aja."
"Enggak pasti gara-gara gaji yang kemarin kan? Karena baru kemarin kamu saya panggil dengan Dewi terus kamu dan Dewi saya potong gajinya. Apa karena itu?"
"Enggak kok, Pak. Sama sekali bukan karena itu serius. Saya emang mau resign pengen serius ngurus rumah."
"Lah bukannya kamu nikah sama Mario? Dia orang kaya masa kamu suruh ngurus rumah?"
"Ya enggak gitu, Pak. Intinya saya mau resign, Pak."
"Ven kamu enggak sayang sama kerjaan kamu? Dulu kamu yang mohon biar diterima sampe akhirnya saya lihat tekad kamu yang serius kamu bisa jadi sekretaris saya apa kamu enggak sayang? Atau gaji kamu kurang? Kalau gaji kamu kurang bilang aja biar saya tambahin. Kamu butuh berapa? Dua digit? Tiga digit?"
"Bapak mau kasih saya tiga digit beneran?"
"Hmm kemungkinan kalau kerja kamu bagus tapi kan gaji kamu udah dua digit lebih, Ven masa kamu masih kurang?"
"Bukan kurang, Pak saya emang pengen resign aja. Saya lagi hamil jadi saya harus jaga kesehatan enggak boleh kecapekan juga."
Bram sedikit terkejut mendengar ucapan Veni yang mengatakan kalau dirinya hamil. Padahal, hal biasa juga. Toh, dia juga hamil punya suami kok.
"Jadi mulai besok saya tidak hadir, Pak."
"Enggak segampang gitu, Ven. Kamu enggak bisa resign kalau kamu belum menemukan posisi yang tepat untuk Pengganti kamu. Kalau kamu pergi begitu saja urusan kerjaan saya nanti berantakan."
"Loh aku kan punya wakil jadi tidak ajak aja si Sarah buat jadi sekretaris kamu."
"Aku enggak sreg sama dia. Dia itu kalau dibilangin salah ngeyel, bahkan kalau dia ngelakuin kesalahan lagi akan saya keluarkan." Bram terlihat benar-benar marah saat Veni menjelaskan maunya.
"Maaf banget, Pak. Tapi, saya benar-benar harus resign keluarga suami saya enggak ngebolehin saya kerja toh hidup saya juga sudah berkecupan."
"Ya artinya kamu ke luar dari tanggung jawab! Kalau gitu kamu harus denda."
"Loh kok denda masa resign aja harus denda sih toh saya kerja di sini udah lama loh, Pak. Dan sebelumnya gaada perjanjian apapun." Veni jelas tidak terima kalaupun dia salah itu dia terima. Dia bekerja menjadi sekretaris Bram sudah lama dan artinya banyak waktu yang sudah dilewati.
"Iyalah. Kamu resign artinya kamu ngelepas tanggung jawab kamu."
"Maaf, sebelumnya, Pak. Tapi jujur saja saya ingin istirahat dari kerjaan apalagi suami saya juga udh suruh saya makanya saya mau resign."
"Kalau mau resign kamu harus denda dan juga segera mencari Pengganti kamu."
"Pak kalau saya harus mencari nanti saya enggak bisa resign juga. Sedangkan saya sudah tidak bisa lagi lanjut kerja."
"Terserah kamu itu aturan dari saya kalau kamu mau resign." Veni pun kesal setengah mati. Bram langsung bangkit dan meninggalkannya sendiri di kursi tersebut. Setelah itu Veni juga ikut bangkit dan kembali ke mejanya. Ah, kepalanya benar-benar sakit sekarang.
***
Kini sudah jam pulang kerja. Veni membereskan perlengkapannya untuk pulang. Sejak perdebatan tadi bersama Bram. Bosnya itu belum kembali juga. Tapi, dia tidak ambil pusing dia langsung membawa tasnya untuk pulang.
Singkat cerita Veni sudah di Mobil bersama Mario. Mario memperhatikan wajah istrinya yang murung sejak tadi masuk ke mobil. Mario pun mulai menayakan kepada Veni.
"Ven," panggil Mario. Veni pun menoleh ke samping suaminya yang sedang menyetir.
"Kenapa?" jawab Veni.
"Kamu dari tadi diem aja kenapa? Kamu sakit?"
"Enggak, Mar."
"Terus kenapa muka kamu kelihatan murung gitu? Di kantor ada masalah?" tanya Mario lagi. Veni pun menggelengkan kepalanya tapi sedetik kemudian dia menggantinya dengan anggukan kepala.
"Cerita sama aku kalau kamu ada masalah. Jadi, kamu enggak pusing mikirinnya sendiri. Aku 'kan udah jadi suami kamu apa kamu masih belum percaya sama aku?". Veni mengerucutkan bibirnya.
"Malah dimajuin gitu bibirnya. Kode minta dicium?"
"Ish Marioooo pikiran kamu kebiasaan ya." Veni menepuk bahu Mario lumayan kencang tapi Mario hanya terkekeh.
"Ya makanya kamu cerita sekarang. Kalau ada yang kamu pikirin jadi kita sharing bersama kali aja aku bisa bantu kamu kan."
"Emm ... aku ... aku tadi udah bilang sama bosku mau resign."
"Terus?"
"Terus dia malah marahin aku. Aku ngomong siang tadi ampe sore dia enggak balik ke mejanya apa aku minta resignnya salah kali ya, Mar. Aku jadi kepikiran sekarang."
"Emang kenapa dia malah marahin kamu?"
"Ya dia ungkit gara-gara aku berantem sama Dewi kemarin terus gaji dipotong samle segitu bahkan dia bilang kalau emang gara-gara itu dia bisa naikin aku gaji sampe tiga digit juga, Mar. Aku jadi mau resign mikir lagi tapi aku enggak mau Mama marah. Gimana dong, Mar aku jadi bingung tahu." Veni sudah frustasi dengan izinya kepada atasan itu.
"Bos kamu aneh deh," jawab Mario.
"Ya makanya itu aku jadi bingung sekarang."