"Hatinya gusar. Tapi, entah kenapa satu sisi dia merasa yakin."
***
Mereka sudah sampai di rumah Veni, Mario lalu ikut mematikan mesin mobilnya dan turun bersama Veni. Veni pun mengerutkan keningnya bingung untuk apa dia ikut turun.
"Kamu ngapain ikut turun?" tanya Veni dengan nada yang tidak suka.
"Ya mau anterin kamu sampai dalem lah. Laki-laki sejati itu kalau nganter cewenya sampe dalem rumah ketemu orang tuanya terus baru pamit pulang," jawab Mario.
"Enggak usah. Mending kamu langsung pulang aja."
"No ... no ... no. Aku enggak mau. Aku mau nganter kamu sampe dalem terus ngeyakinin orang tua kamu anaknya selamat."
"Lebay banget sih." Veni pun malas berbicara lama-lama dengan Mario lantas dia masuk ke dalam. Di dalam dia melihat Abi dan Uminya yang sudah menua bercanda tawa bersama. Veni tersenyum apakah Pernikahannya kelak akan selalu seperti mereka. Di saat dia malah akan menikah dengan orang yang tidak dia cintai.
"Tenang aja nanti kita juga kayak mereka kok," ucap Mario mengagetkan Veni yang sedang bengong melihat kedua orang tuanya.
"Bisa enggak sih enggak ngangetin orang?! Kalau saya jantungan terus mati muda gimana?!" Mario bukannya merasa bersalah dia malah terkekeh mendengar lontaran ucapan Veni. Orang tuanya yang tadi tidak sadar bahwa anak mereka sudah datang pun lantas menengok ke arah belakang. Jadi, posisi mereka tadi membelakangi Veni dan Mario karena mereka sedang merajut bersama.
"Kalian sudah pulang," kata Abinya bangkit dari duduk diikuti Uminya. Veni tersenyum hangat kepada kedua orang tuanya berbeda saat bersama dengan Mario.
"Sudah, Bi, Mi. Maaf Veni pulangnya kemaleman."
"Ndak papa kok. 'Kan kamu juga sudah dewasa kamu perginya juga sama nak Mario," jawab Abinya.
"Tapi, tadi Abi kamu juga kebiasaan was-was deh, Ven nanyain anak semata wayangnya terus kok enggak pulang-pulang," ledek Uminya membuat Veni tersenyum.
"Maaf ya Abi, Umi aku bawa pulang Veni malam. Soalnya tadi masih ngobrol sama Mamanya Mario jadi agak telat nganter, Veni pulang," kata Mario angkat bicara karena merasa dia juga yang membuat Veni pulang terlambat.
"Iya enggak papa. Ayo duduk dulu biar dibuatin minum dulu," ucap Abinya lagi.
"Ah enggak usah, Bi, Mi. Makasih sebelumnya tapi udah malam juga jadi saya pamit pulang aja," ucap Mario dengan sopan. Terlepas dari keributan tadi yang Veni dengar selebihnya Mario adalah orang yang sopan menurutnya. Walaupun, dia masih sangat kesal dengan laki-laki itu karena seenaknya melamar dirinya di saat mereka baru ketemu sekali.
"Oh gitu. Yaudah makasih ya."
"Saya yang makasih, Umi karena boleh bawa Veni ke rumah saya." Kedua orang tuanya pun mengangguk terlihat orang tuanya sangat bahagia dengan Mario.
Mario menyalami kedua orang tua Veni lantas pamit untuk pulang. Saat Veni hendak masuk ke dalam menuju kamarnya. Abi-abinya lagi-lagi menyuruhnya untuk mengantarkan Mario hingga depan rumah.
"Veni kamu kok langsung masuk aja? Anterin pulang Mario dulu sana."
"Masa, Veni suruh anterin dia pulang lagi sama aja Veni tadi mending pulang sendiri."
"Maksudnya kamu anterin sampe depan sana masa kamu mau langsung masuk aja. Bilang terimakasih dulu dong sama Mario udah dianterin pulang."
"Lagian, Bi bukan Veni juga kok yang mau diajak jalan. Dianya aja yang maksa jadi ya biarin aja dia pulang sendiri."
"Udah enggak papa, Abi, Umi. Dari pada ribut gini saya jadi enggak enak hehehe...."
"Veni...." Intrupsi dari Abinya pada akhirnya tidak bisa dia tolak. Dia pun menuruti ucapan Abinya untuk mengantarkan Mario ke luar tanpa sepatah kata pun. Sekali lagi Mario pamit kepada kedua orang tua Veni dan mengucapkan salam untuk pamit pulang ke rumah.
Veni mengantarkan Mario sampai depan teras dengan raut pandangan yang sepertinya malas-malasan, "Udah sana pulang udah aku anter 'kan."
"Enggak ikhlas banget nganter aku pulangnya padahal sebentar lagi kita bakal satu rumah juga. Masa suaminya nanti kerja kamu enggak nganterin sampai depan."
"Kita belom suami istri ya jadi tolong jangan terlalu banyak bereksptasi."
"Tapi, kamu udah mau tuh dibawa ke rumah aku tadi."
"Bukan mau orang tadi kamu paksa 'kan." Veni pun dengan keras kepalanya menyahuti apa yang diucapkan oleh Mario.
"Iyadeh, aku ngalah aja. Oiya, Ven...." Veni masih menatap Mario datar dan enggan banyak bicara. Dia menunggu saja apa yang akan diucapkan oleh laki-laki pemaka di depannya.
Mario yang tidak mendapat respon apapun dari Veni pun lantas dia melanjutkan saja ucapannya, "Untuk soal yang tadi aku minta maaf ya. Kalau ada ucapan Mama atau Kak Marvel yang nyakitin kamu."
"Oh yang soal kamu banyak cewe? Dan kemungkinan aku bakal jadi target kamu selanjutnya?" ucap Veni menyindir Mario. Entah kenapa sedari tadi dia memendam hal kesal itu karena merasa Mario ragu juga dengan Mario.
"Maaf, Ven. Dan bukan itu juga maksud aku. Serius aku itu mau nikah sama kamu."
"Lagian kamu tuh aneh tahu enggak. Di luar sana banyak cewe, temen cewe kamu juga saya yakin banyak. Kenapa sih harus saya. Kamu itu dateng-dateng buat saya pusing tahu enggak!"
"Iya aku tahu, Ven. Tapi, setelah ketemu sama kamu pertama kali aku langsung mikirin kamu terus. Jadi, aku langsung aja nyari info tentang kamu. Oiya satu lagi cara aku kan juga bener langsung nemuin keluarga kamu juga," ucap Mario tetap harus meyakinkan Veni bahwa dia beneran serius dengan Veni. Walaupun, ada maksud terselubung di dalamnya. Tapi, apapun itu Mario harus mendapatkan Veni.
"Serah. Apapun alasan kamu saya enggak suka apalagi sampe sayang. Di saat kita aja belom kenal!"
"Iya, kita emang belum kenal tapi 'kan—"
"Udahlah, Mario saya tadi cuma mau anter kamu aja sampai depan bukan malah kebanyakan omong. Saya capek mau istirahat besok kerja."
"Iya-iya deh. Kalau kamu capek kerja setelah nikah kamu di rumah aja biar aku yang kerja." Veni memutar matanya malas dan berbalik meninggalkan Mario yang masih terus saja mengoceh.
"Eh ... eh ... Iya, Ven ini aku pulang. Tunggu dulu kenapa. Buru-buru banget." Mario pun terpaksa pulang segera karena Veni yang hendak masuk duluan dan tidak menunggunya di depan.
"Yaudah buruan enggak usah banyak omong." Mario pun lantas berjalan menuju mobilnya. Veni menyilangkan tangannya di depan d**a menatap kepergian Mario dengan banyak pertanyaan dipikirannya. Dan bingung juga dengan keputusannya yang secara langsung pasti Mario menganggap Veni menerimanya karena mau diajak ke rumahnya.
Di tengah lamunannya tentang Mario dia tidak sadar kalau mobil Mario sudah pergi dari pelataran rumahnya. Dia juga tidak sadar kedua orang tuanya menyusulnya dan berada di sampingnya.
"Enggak rela banget calon suaminya pulang sampe masih ditungguin di depan padahal udah enggak ada," saut Abinya membuat Veni pun segera tersadar dari lamunannya. Di depannya memang benar sudah tidak ada mobil Mario dan malah kini ada orang tuanya.
"Ihh, Abi apaan sih. Enggak gitu kok," ucap Veni yang kegap malah jadi kamu sendiri.
"Kamu udah yakin banget ya sama Mario?" tanya Uminya sambil mengajak anaknya masuk ke dalam.
"Enggak juga sih, Mi."
"Tapi, Umi lihat Mario beneran anak yang sopan kok, Ven. Toh, dia juga deketin kamu langsung ketemu sama Abi dan Umi loh," ucap Uminya lagi. Uminya mengajak Veni untuk duduk dulu di ruang keluarga dengan tv yang masih menyala.
"Masalahnya Veni sama dia itu juga baru kenal. Mana pertemuannya sama sekali enggak elit juga lagi, Mi masa Veni langsung suka gitu. Ya Veni juga lagi mikir."
"Tapi, kamu diajak ke rumahnya tadi gimana?" tanya Abinya lagi.
"Kamu diterima baik enggak sama keluarganya?" lanjut Uminya lagi. Veni bingung harus menjawab apa. Apa tadi dikatakan bahwa itu pertemuan baik atau malah sebaliknya?
Sebelum Veni hendak menjawab handphonenya bergetar. Ada pesan masuk ternyata. Dia membuka ponselnya dan melihat siapa yang mengirim pesan untuknya.
"Ven, aku mohon ya soal apa yang tadi keluargaku bilang ke kamu jangan bilang ke orang tua aku. Aku janji hal itu enggak akan terulang lagi. Lagian sebenernya Mama ku setuju banget kok sama kamu. Cuma dia malah enggak mau aku nyakitin kamu aja. Urussan sama Bang Marvel juga udah beres kok." Veni mengerutkan keningnya. Darimana cecengguk satu itu mendapatkan nomornya. Padahal, dia sama sekali tidak memberikannya kepada cecengguk itu.
"Ada apa, Ven?" tanya Uminya yang melihat anaknya diam saja.
Veni melihat ke Uminya dia ragu akan mengatakannya atau tidak. Tapi, dia melihat Uminya juga sudah harap-harap dengan Mario. Apa benar dia diterima dengan keluarga Mario.
"Ven? Kalau kamu emang enggak disambut baik sama keluarga sana bilang aja. Abi juga enggak maksa kamu buat nerima dia kok. Walaupun, dia kaya tapi kalau kamu emang enggak sreg ama dia kamu boleh kok enggak nerima dia," ucap Abinya yang seakan bisa membaca pikirannya.
"Tapi, sebenernya baik kok, Bi Mario tuh, Umi aja suka lihat anaknya yang sopan kayak gitu," ucap Uminya lagi.
"Kalau Veninya enggak sreg terus dia enggak bahagia emang kamu mau, Mi? Kita aja selalu buat bahagia dia sebisa kita. Masa setelah diambil orang anak kita malah enggak bahagia? Kamu mau?" tanya Abinya lagi. Uminya pun dengan raut yang sepertinya kecewa apabila Veni menolak permintaan Mario menikahinya.
"Iyasih, Bi. Ven kamu gimana?" tanya Uminya gantian. Veni menghembuskan napasnya kasar. Akhirnya, mau tidak mau sepertinya dia harus menerima permintaan Uminya.
"Ikut takdirnya aja ya, Mi. Kalau emang kita berjodoh kita pasti bakal bersatu kok. Yaudah ya, udah malem, Veni mau istirahat dulu besok Veni kerja lagi." Veni tidak mau obrolan ini semakin panjang jadi dia memilih untuk pamit saja ke kamarnya.
"Yaudah deh, kamu juga capek kayaknya habis dari rumah calon mertua. Istirahat aja dulu."
"Umi apaan sih," ucap Veni sambil tertawa. Kedua orang tuanya pun ikut tersenyum melihat anak semata wayang mereka ternyata sudah besar dan sebentar lagi akan menjadi milik orang lain.
"Yaudah gih sana istirahat biar besok fresh lagi kerjanya," ucap Abinya. Veni mengangguk dia mencium kedua pipi orang tuanya sebelum pergi.
"Selamat malam Abi, Umi."
"Selamat malam sayang...."
"Abi, Umi juga jangan lupa istirahat loh udah malem. Enggak baik begadang buat kalian...."
"Iya, nak setelah kamu masuk kamar Umi sama Abi bakal istirahat juga kok," ucap Uminya.
"Nah bagus." Veni lantas berjalan menuju kamarnya.
"Anak kita udah bener-bener dewasa ya, Bi. Padahal, baru kemarin rasanya Umi anter dia masuk tk tapi sekarang udah mau kita anter saja ke kua," ucap Uminya.
"Iya, Mi. Putri kecil abi udah bakal jadi ratu milik suaminya." Uminya menyenderkan kepalanya di Abinya. Dalam hati mereka berdua berdoa agar anaknya itu selalu bahagia nantinya.
"Yaudah yuk kita istirahat juga," ucap suaminya mengajak istrinya untuk istirahat karena hari juga sudah malam.
***
"Arghhhh .... bingung ... bingung, masa iya sih tuh cecengguk Mario mau nikahin aku. Aku masih ragu sama dia. Masa iya orang kayak Mario yang notabennya kata keluarganya aja suka mainin cewe bisa serius sama aku. Duh tapi, Umu kelihatan udah seneng banget sama dia kalau aku nolak nanti Umi sama Abi kecewa enggak ya," ucap Veni langsung sambil mendudukan dirinya di kasur.
Drtt ... drt....
Gemetar dihpnya membuat Veni menyingkirkan rasa kesalnya lagi, "Ah cecengguk itu lagi. Ngapain sih dari tadi wa mulu. Lagian dia dapet nomor aku dari mana coba.
"Jangan lupa istirahat dan mimpi indah ya calon istri...."
Veni mengangkat bibirnya dengan kesal. Dia pun langsung menghapus pesan yang menurutnya menjijikan itu, "Ahhh ... dasar cecengguk Mario kenapa sih tu orang dateng-dateng bikin pusiing aja. Aku 'kan mau nikah sama Habib kenapa dapetnya malah kayak gitu." Ya, Veni selalu berfikir bagaimana jika dia mendapatkan habih. Sekalipun Habib itu tiba-tiba datang dan dia belum memiliki rasa apapun sudah pasti Veni langsung menerimanya.
Hey ... Kalian jangan berfikiran buruk tentang ku. Pasti kalian juga mau 'kan kalau tiba-tiba dilamar seorang Habib walaupun kalian belum menyukai. Lalu, setelah itu menikah dan dibimbing menjadi istri solehah. Ah sekarang harapannya itu musnah. Apa nanti setelah dia benar-benar berjodoh dengan Mario bukannya dia menjadi istri solehah malah jadi istri solehot?
Ahhhh ... tidak ... Aduh ada apa dengan pikirannya ini. Kenapa malah bercabang ke mana-mana lagi pula ya dia juga tidak mungkin lah akan jadi wanita solehot selain dengan suaminya.
Membayangkan hal itu membuat Veni langsung menggelengkan kepalanya. Bisa-bisanya berfikiran aneh-aneh. Veni langsung bangkit dari kasurnya dan menuju ke kamar mandi untuk mencuci mukanya. Setelah itu perawatan dia sebelum tidur agar wajahnya besok tetap fresh saaat berangkat kerja.
Walaupun, perawatan yang Veni lakukan tidak banyak tapi dia juga wanita yang ingin selalu terlihat cantik tetapi tetap tidak mencolok kaum Adam.
Setelah dari kamar mandi, dia duduk di depan meja rias. Pikiran tentang Mario benar-benar tidak bisa pergi begitu saja.
"Ayo, Veni fokus jangan ngayal tentang Mario terus. Harus mikirin bener-bener enggak boleh salah pilih. Yuk, bisa yuk, Veni," ucap Veni pada dirinya sendiri. Padahal, banyak temannya yang mencoba mendekati dirinya tapi kenapa baru Mario ini yang membuatnya benar-benar pusing tujuh keliling dengan tingkahnya yang aneh itu.