Menunggu Jawaban

1035 Kata
"Hanya karena dendam orang tega melakukan hal keji apalagi sampai memperalat orang lain untuk menuruti keinginannya." ***** Niat buruk pasti akan mendapat balasan. Meski tak tahu kapan akan terjadi. Namun, Mario tak mempedulikan itu. Ia terus mengejar Veni yang menurutnya cukup mampu membuat Bhiya cemburu. Dengan paras cantik, hidung kecil mancung, bibis tipis merah alami, dan kulit putih selembut sutera. Veni benar-benar sempurna untuk bersanding dengannya. Bahkan Mario juga biaa melihat betapa banyak mata yang terpukat pada sosok Veni. Meski hanya sekilas, Veni tetap saja membius para mata yang memandang. Akan tetapi, meluluhkan hati seorang Veni memang tak semudah yang dipikirkan oleh Mario. Gadis itu sangat keras kepala dan sulit untuk termakan bujuk rayunya. Meskipun Veni merupakan salah satu gadis yang cukup membuatnya kesal sepanjang hari, Mario tetap ingin mendapatkan Veni. Sebab, ia berpikir hanya Veni yang dapat membantunya membuat Bhiya cemburu hingga memohon untuk bisa bersamanya lagi. "Gila. Lo gila, Bro. Nikah bukan buat main-main. Cewek secantik Veni mau lo jadiin alat buat balas dendam? Mendingan Veni buat gue. Emang dasar gila lo." Samuel benar-benar tak menyangka jika sahabatnya itu akan nekat menjadikan pernikahan sebagai ajang balas dendam. Apalagi memperalat gadis secantik dan sesempurna Veni. Samuel memang belum mengetahui bagaimana tanggapan Veni terhadap lamaran Mario. Namun, dengan melihat kegigihan Mario dan sikap baik yang palsu dari Mario, Samuel yakin jika Veni pasti akan menyerah dan bertekuk lutut pada si Playboy itu. "Veni emang cantik. Dia hampir di titik sempurna. Tapi ... kalau lo tau sifat dia. Lo nggak akan mau, deh, jadiin dia sebagai istri." Samuel menarik sebelah alisnya ke atas. "Emang dia gimana?"  "Jutek. Sok jual mahal. Ngeselin. Untung dia cantik. Kalau mukanya standar, udah gue injek-injek di depan umum." Mendengar jawaban Mario yang sesekali menyesap rokoknya, Samuel terkekeh. "Bro! Jaman sekarang, nggak ada cewek cakep yang jual murah. Mereka pasti jual mahal lah! Lagipula, semua sifat Veni itu lumrah buat seorang cewek. Itu pertanda kalau Veni adalah cewek baik-baik." "Cih!" Mario mematikan bara rokoknya dan membuangnya ke asbak. "Bodo amat dia mau cewek baik-baik atau nggak. Gue nggak peduli. Bagi gue, satu-satunya cewek terbaik itu cuma Shabiya." "Hati-hati, Bro. Apa yang lo lakuin itu pasti ada balasannya. Inget, apa yang lo tanam, itu yang lo tuai." Samuel beranjak dari duduknya dan menepuk bahu sahabatnya. Lalu, sosok itu menghilang dari balik pintu. "Gue balik!" Mario terdiam menatap pintu yang sudah menutup sempurna. Melenyapkan bayangan sosok yang telah menjadi sahabatnya sejak SMA. Seringainya muncul tiba-tiba. Setelah teringat wajah menyebalkan Veni saat ia melamar gadis itu. "I'll catch you, Ven." ### Hari demi hari berlalu. Veni masih belum memikirkan jawaban untuk lamaran Mario. Ia masih ragu dengan sosok yang baru ia kenal itu. Baginya, menikah bukanlah permainan. Ia tak ingin mendapat suami yang baik di luar sedangkan keburukannya masih belum terlihat. Ia takut jika salah memilih. Namun, melihat keberanian Mario datang ke rumahnya lalu melamarnya di depan kedua orang tua juga membuatnya sedikit terharu.  Memang banyak lelaki yang mendekatinya. Namun, baru Mario yang berani menghadap ke Abi dan Umi untuk mengajaknya menikah.  "Lo kenapa, Ven? Nggak biasanya kerjaan lo belum selesai di jam segini," celetuk rekan kerja yang duduk di sampingnya. Melihat meja Veni masih penuh dengan setumpuk kertas yang harus ia input di komputer. "Gue lagi males. Bingung mikir jawaban." Veni meletakkan tangannya ke dahi. Rasanya seperti ingin meledak saat itu juga setiap kali mengingat lamaran Mario. "Jawaban? Lo lagi kerja, Ven. Bukan lagi ujian." "Gue lagi ujian, kok." "Ujian apa?" "Ujian hidup." Rekannya terkekeh pelan dan menggeleng. "Ven, Ven, lo kenapa lagi? Digangguin cowok-cowok lagi?"  "Kali ini lebih parah dari itu." Tampak raut pasrah pada keadaan dari Veni. Sorot matanya meredup seakam gadis itu benar-benar kehilangan arah. "Emh? Kenapa?" ""Ada cowok yang baru gue kenal, ngelamar gue secara tiba-tiba. Menurut lo aneh nggak sih?" Rekannya itu hanya menyentuh dagunya. Mengusap-usapnya pelan sambil melirik ke atas seolah mencari jawaban.  "Enggak sih. Kalau dia serius sama lo, jelas dia pasti bakal langsung ngelamar lo. Karena apa? Karena dia mau menghindari zina. Dia suka sama lo. Dia nggak mau ngajak lo pacaran tapi langsung ngajakin lo nikah. Fix! Lo pasti bakal beruntung dapetin cowok itu. Siapa yang nggak melting, saat ada cowok baru kenal sama lo tapi udah yakin kalau lo yang terbaik buat jadi ibu dari anak-anaknya kelak?" Veni terdiam. Mendengarkan ocehan rekannya yang makin menggoyahkan hatinya. Ya, Veni mulai menerima sosok Mario. Ia pun melihat keseriusan di sikap Mario. Sosok itu selalu stay di luar perusahaan setiap kali jam pulang kerjanya. Seolah Mario sudah mulai hapal dengan semua kegiatannya sehari-hari. Meski selalu mendapat cuek dan judesnga, Mario tetap kekeh mendekatinya. Usahanya benar-benar patut diacungi empat jempol. "Kalau lo masih ragu, coba lo sholat istiqoroh. Minta biar dikasih pilihan yang tepat. Pasti lo bakal dikasih tau mana yang baik, mana yang buruk." Ucapan rekannya itu kembali menempa hatinya. Ia menjadi terarah dan berharap bahwa segala macam keraguan menghilang dari hatinya.  "Makasih, ya. Gue bakal lakuin saran dari lo." ### Seperti biasa, Mario sudah siap di tempat parkir. Padahal, Veni sudah bilang kalau dirinya membawa motor sendiri. Namun, Mario tetap saja nekat menjemputnya. Kali ini Mario memang tak sendirian. Ia melihat ada lelaki lain yang berdiri tak jauh dari Mario. Menatapnya dengan senyuman dan melambaikan tangan singkat. "Gue Samuel. Sahabatnya Mario. Ternyata lo yang namanya Veni? Lebih cantik aslinya daripada fotonya." Veni hanya memasang wajah datar dan mengabaikan uluran tangan Samuel. Hingga Samuel menarik kembali tangannya dan memasukkannya ke dalam saku celana. Mario menahan tawa melihat Samuel yang mendapatkan perilaku sama seperti dirinya saat pertama kali bertemu dengan Veni. "Hari ini, aku bawa temen biar dia bawain motor kamu. Dan kamu, bisa pulang sama aku," jelas Mario tanpa diminta oleh Veni. Veni tak menggubris. Gadis itu berlalu dan menuju motornya. Dengan sigap, Mario langsung menghadap jalan Veni dengan senyuman menyebalkan itu.  "Mario, jangan halangi jalan saya. Saya mau pulang karena hari mulai gelap." Dengan nada tenang namun penuh penekanan, Veni mengatakannya tanpa menatap kedua mata Mario.  "Aku akan mempersilakan kamu pulang, tapi dengan satu syarat." "Apa?" "Terima lamaranku." Veni mendesah pelan. Ia mwmijat keningnya yang pening dengan sikap Mario yang seolah terobsesi padanya. "Lusa. Lusa saya akan memberikan kamu jawaban. Jadi, sekarang kamu minggir karena saya mau pulang." "Oke. Lusa. Lusa saya tunggu jawaban kamu." .....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN