Bab 43

1176 Kata
Emely yang sudah sadar sedang berada diruang tamu menunggu kedatangan Steve dan Justin. Gadis itu ingin memastikan sesuatu, perihal kejadian demi kejadian yang berhubungan dengan Emma. Ia tak percaya, bahwa Emma mati dengan mudah, Jasatnya saja belum ditemukan sama sekali. Makanya, Emely meminta Hans untuk kembali ke tempat kejadian. Tidak lama kemudian, ia mendengar suara deru mesin mobil berhenti. “Buka pintunya!” titah Emely sambil menuruni tangga. Apa yang diharapkan ternyata datang, mereka pun datang bersama Emma yang digendong oleh Steve. “Emma...!” teriak Emely dengan wajah haru. Emma masih hidup, dan itu merupakan hadiah terbesar dalam hidupnya.“Langsung bawa ke kamar saja.” Gadis itu menangis dengan bahagianya. “Aku akan meninggalkan Emma bersamamu.” Steve pun hendak pergi, tapi Emely mengeluarkan suaranya. “Terimakasih....” “Berterimakasihlah kepada Zack. Karena dia yang menyelamatkan Emma, bukan aku ataupun Justin. Gadis itu pun mengangguk patuh. Steve pergi menutup pintunya dengan perlahan. Sedetik kemudian ia tersenyum karena merasa kalau dirinya snagat luar biasa. “Aku tak percaya bisa sebijak itu. Aku memang pantas menjadi raja,” gumanya sambil menggelengkan kepala. Pria itu pun menuruni tangga. Dahinya mengerut saat tak melihat Justin dna Hans di ruang tamu. “Apakah Anda mencari mereka?” tanya pelayan yang sedang mempersiapkan teh. “Kemana mereka pergi?” Steve celingak-celinguk mengedarkan seluruh pandnagannya untuk menyapu ruangan. “Kamar nomor dua,” tunjuk pelayan itu dengan ramah. Steve pun bergegas menuju ke ruangan tersebut. Saat membuka pintu, ia melihat Justin yang batuk seteguh darah. “Justin...! Apa yang terjadi?” Justin menoleh dengan wajah tersenyum, “Tenang saja, aku baik. Sangat baik. Hanya saja, aku tak tahu apa yang di alami Zack.” Steve menghela nafas panjang, lalu menyodorkan sapu tangannya. “Sepertinya, dia sedang melawan sesuatu. Istirahat saja..., aku yang akan menemaninya.” "Aku akan menunggu dia sadar," kata Justin mengelap tangannya dengan tisu. Zack terlihat gelisah di dalam tidurnya, bahkan ia seperti mimpi buruk. Namun Justin tidak khawatir sama sekali, karena itu pertanda kekuatan bola kehidupan elemen tanah mulai merasuk ke dalam tubuhnya. Lantas di bawah alam sadar Zack, tubuh pria itu bergetar kala menatap manik emerald milik Emma. Tangan mungil itu pun terangkat, mengusap air mata yang membasahi pipi. “Kau menangis...? Kenapa kau menangis?” “Aku hanya tak ingin kau meninggalkanku.” Baru kali ini Zack memohon kepada seorang bocah yang baru saja dikenalnya. Ia merasa perasaan akrab dengan Emma, seperti sudah mengenail ratusan tahun. “Dasar naga bodoh..., kau seperti bayi kemarin sore.” Mata Zack terbelalak, takut salah mendengar perkataan Emma, bahkan ia sampai melongo dibuatnya. “Aku jelas bukan Emma. Dan kau malah menangis seperti anak kecil.” Seketika Zack langsung berdiri, mundur dua langkah ke belakang. Wajahnya tampak syok, dna itu membuat Emma tertawa senang. “Tidak seru!” Gadis itu pun berubah menjadi patung, seperti golem bentuk naga. “Aku sudah bersamamu selama ratusan tahun, dan kau tidak mengenaliku.” Zack balik badan dengan perasaan kecewa berat, sampai-sampai nyawanya melayang entah kemana. Naga batu itu mendesah ringan. Ekornya pun bergerak mengelilingi pria tersebut. “Ketahuilah..., rasa kasih itu ada berkat diriku. Jika bukan karena aku, anak itu pasti sudah mati.” Sebulan yang lalu, bola kehidupan elemen tanah pergi ke arah timur, dimana jiwanya seakan dipanggil oleh manusia yang sudah tidak memiliki aura kehidupan sama sekali, yaitu Emma Makanya bola tersebut memutuskan singgah ke dalam tubuh Emma. Sejak saat saat itu, mereka hidup berdampingan satu sama lain. “Aku merasa dibodohi oleh semua orang, termasuk kau.” Zack memilih duduk dengan wajah putus asa. “Ketahuilah..., ada alasan kenapa manusia melakukan semua ini padamu? Kau jangan menyalahkan siapapun.” Naga itu kembali menjadi manusia yang menyerupai Emma. “Kita harus berjuang, maukah kau kembali bersamaku?” Emma meraih tangan Zack dengan lembut, sesuai perasaan yang berhubungan dengan bola kehidupan elemen tanah. Tanpa sadar, pria itu pun tersenyum, menggengam erat tangan gadis tersebut. “Perjalananmu masih panjang untuk mengumpulkan kami. Kebenarannya adalah Amerta tidak akan menghianati kita.” Emma pun melebur menjadi gundukan tanah. Sementara Zack dibuat bingung karena perkataan gadis itu. Yang dilakukan adalah berteriak memanggil nama Emma hingga bangun, bahkan sampai Justin dan Steve berjingkat kaget. Ada getaran kecil yang terjadi di dalam tanah. Steve dan Justin bergegas melihat ke luar jendela. Mereka melihat ada sedikit retakan di tanah. "Justin..., Steve....," panggil Zack dengan pelan “Zack...,” panggil mereka bersamaan. Zack memijat kepalanya yang sakit. Ketika hendak bicara, tenggorokannya sangat kering. “Dia haus, Steve. Ambilkan minum!” Justin bicara tanpa menoleh sediitpun karena matanya fokus dengan keadaan Zack. “Apakah ada yang sakit? Bagaimana perasaanmu? Kau bahkan sampai menangis.” Melihat Justin yang sangat khawatir, Steve hanya berdecih kesal, memilih segera pergi mengambil air. Saat membuka pintu, tampak dua gadis berdiri dengan canggung. “Zack...,” panggil Emma dengan lembut. Hans pun muncul disamping mereka, tersenyum dengan sumringah. “Emma....” Zack hendak turun tapi dicegah oleh Justin. Dia seperti seorang polisi galak dihadapannya. “Aku pergi. Jangan bangun dari tidurmu.” Justin segera menyeret Justin dan Hans menjauh dari ruangan itu. Begitu mereka pergi, Emely langsung membungkuk. “Maafkan aku...” Zack kebingungan, melihat Emma dan Emely secara bergantian. “Apa yang kau lakukan? Itu bukan gayamu.” “Zack....” Emma memeluk Zack dengan erat. “Maafkan dia, karena selalu bebuat kasar padamu.” “Kau berdiri yang tegak. Jangan melakukan hal itu dimasa depan.” Ah, Emely ingin menangis, tapi ditahannya. “Terimakasih karena sudah membuat Emma kembali seperti semula.” Zack tersenyum, “Bukan aku yang melakukannya, tapi karena dia bertekat.” Emma semakin suka dengan Zack, seolah tak ingin melepas dia pergi. Namun, gadis itu tahu kalau pria tersebut hanya singgah sementara waktu. Planet Aques Amerta membuka kedua matanya karena merasakan keanehan didalam tubuh. Rasa sakit di lengan bagian kanan yang membuatnya terbangun dari tidur. “Sakit...,” ringisnya berusaha bangkit. Amerta membuka kaosnya, telrihat tanda kekuatan elemen air yang samar-samar. “Akhirnya kembali juga.” Amerta berdesis saat rasa terbakar mulai menusuk tulangnya. Tanda yang samar itu akan menebal seiring berjalannya waktu, pada saat Ares mendapatkan kekuatannya kembali. “Dia berhasil mendapatkan bola kehidupan elemen tanah,” gumam Amerta dengan wajah terharu. Pria itu tak berhenti menatap cermin yang menampilkan bayangan dirinya. Hari-hari tanpa kekuatan sungguh sangat tersiksa. Sepuluh ksatria yang dipilih langsung oleh Lanka menatap penuh permusuhan, kecuali satu orang. Namun tetap saja, ia harus waspada dimanapun berada. “Tinggal sedikit lagi. Aku harus bertahan.” Amerta memakai kaosnya kembali. “Aku akan ke perpustakaan sekarang.” Pria itu pun segera pergi meninggalkan kamarnya, tapi tak menyadari jika Lanka telah berada di sekitarnya. “Moran..., kenapa setiap hari dia ke perpustakaan?” tanya Lanka menatap kepergian Moran hingga masuk ke dalam ruangan. Apakah aku harus jujur dengan kebenaran hubunganku dengan Amerta? Aku bingung. “Saya akan mencari tahu, Tuan.” Moran undur diri, tapi Lanka langsung menhadangnya. “Katakan padaku, apa yang kau sembunyikan selama ini?” Moran tercekat, tak bisa menjawab pertanyaan Lanka. Haruskah dia jujur untuk saat ini? Kebimbingan dan ketakutan pun menggerogoti tubuhnya sedikit demi sedikit. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN