“Maaf, saya ganggu pagi-pagi, Buk!” ucapnya berjalan masuk dan berdiri tak jauh di depanku.
Aroma sampho menguar dari rambut basahnya. Sepertinya dia sudah mandi, keramas lagi. Kenapa dia keramas, coba? Bukankah dia seorang janda? Bukankah aku yang harusnya keramas pagi ini? Entah kenapa pikiranku ngelantur ke mana-mana?
“Ada apa, Mbak? Gimana keadaan Mbak Yati? Bercak-bercak merah di d**a dan leher Mbak udah ada kurangnya? Kalau belum, mau kita berobat sekarang?” cecarku meneliti lehernya yang tertutup rambut basahnya.
“Udah, kok, Buk. Saya gak sakit. Mereh-merah itu karena tadi malam gatal-gatal mungkin di gigit kutu kasur, jadi saya garuk. Makanya gak pake baju saya tadi malam, gatal semua. Maaf, ya, Buk, saya agak kasar tadi malam sama Ibu. Saya kesal, karena saya sedang menderita gatal itu, tiba-tiba Ibu gedor pintu. Tapi, sekarang saya menyesal, Bu. Itu sebab saya datang ke mari. Saya mau minta maaf.”
Perempuan itu sepertinya sangat menyesali sikapnya tadi malam. Wajahnya menunduk begitu dalam. Seketika terbit rasa tak enak di hatiku.
“Gak apa-apa. Saya juga minta maaf udah ganggu Mbak. Soalnya saya curiga ada suara aneh dari kamar Mbak Yati. Uh , ah, uh, ah, auu, uh, ah, kek gitu. Terakhirnya suara erangan panjang. Kukira Mbak Yati kesakitan. Itu makanya aku gedor pintu kamar Mbak Yati,” tuturku juga ikut menyesali sikap lancangku tadi malam.
“Saya memang kasakitan, Buk. Sakit menahan gatal. Bukan apa-apa. Bu Amel udah maafin kesilapan saya tadi malam, kan, Buk?” Wanita itu mengangkat wajahnya, menatapku begitu memelas.
“Iya, gak apa-apa. Lupakan saja!”
“Makasih, Buk. Bu Amel memnag baik. Dan satu lagi, Buk, eh, anu –“
“Kenapa? Anu apa, bilang aja, jangan sungkan!”
“Anu, Bu. Anu … eem.”
“Apa, Mbak? Bilang aja!”
“Anu, kalau hari ini Ibu dan dan Pak Dar pindahan, saya boleh ikut, ya, Bu! Digaji berapapun saya mau. Asal ada tempat tinggal yang lebih layak buat anak-anak,” pintanya teramat mengagetkanku.
Aku dan Mas Dar menyusun rencana itu tadi malam. Saat ini Mas Dar masih tidur di kamar belakang. Aku yakin belum ada yang tahu rencana itu. Lalu, bagaimana bisa ART ini bisa tahu?
Aneh, ada yang terasa janggal. Sedangkan Mas Dar saja pulang larut tadi malam. Mereka belum bertemu, kan? Atau mereka bertemu saat aku tertidur? Atau memang Mas Dar orang yang kulihat dengan tubuh berbungkus selimut di kamarnya tadi malam? Dan kunci mobil itu? Ini harus kuselidiki. Makin lama sikap mereka makin mencurigakan.
“Kamu tau kami mau pindah? Siapa yang bilang?” tanyaku penasaran.
“Mas Dar,” jawab wanita itu spontan.
“Mas Dar? Mbak Yati manggil suami saya, ‘Mas’?” seruku makin kaget.
“Eh, maksud saya, Pak Dar. Maaf, Buk. Pak Dar gak suka dipanggil ‘Pak”. Dia lebih senang dipanggil ‘Mas’. Begitu selama ini, tapi kalau Ibu gak setuju saya akan manggil ‘Pak’ aja. Maaf, ya, Bu, kalau saya lancang!” terang Mbak Yati semakin gugup.
“Gak apa-apa. Gak masalah, kok. Tapi, saya heran, kapan Mas Dar beritahu Mbak Yati bahwa kami akan pindah?” selidikku menatap lekat wajahnya yang tiba-tiba memucat.
“Oh, anu, kapan, ya? Oh, iya. Saya kebetulan ke dapur mau minum tadi malam saat Bu Amel bercakap-cakap dengan Mas Dar di kamar Ibu. Jadi saya dengar.”
Aku terdiam. Wanita ini semakin mencurigakan.
“Boleh, ya, Bu Mel, saya ikut? Saya bisa kerja, kok, Bu. Sebenarnya saya udah lama disuruh berhenti kerja dari sini. Mbak Dina dan Mbak Dinda gak sanggup lagi menggaji saya. Tapi, saya gak tahu mau pergi ke mana? Sekedar untuk tempat tinggal saja makanya saya bertahan di sini. Meskipun untuk makan sering terancam. Kasihan anak-anak. Kalau ikut Ibu, setidaknya makan anak-anak terjamin, Bu. Kasihani saya, Bu Mel! Saya ini janda, gak tahu harus kerja apa untuk perut sejengkal anak-anak. Boleh, ya, Buk? Kami ikut ke rumah Ibuk!”
Perempuan itu makin memelas. Air bening menetes dari sudut matanya. Kelemahanku adalah mudah merasa iba. Dan itulah yang membuatku gampang diperdaya. Kali ini pun sama. Kutepis rasa curiga yang sempat mendera.
“Baik, Mbak! Jangan nangis, ya! Udah, Mbak Yati dan anak-anak boleh, kok, ikut kami!”
“Makasih, Buk! Kalau gitu, saya permisi, ya. Mau buat sarapan!”
“Iya, Mbak!”
Wanita itu berlalu. Kasihan dia, masih muda, cantik, tapi sudah janda. Semoga keputusanku menerima dia ikut bersama kami nanti, tidak jadi masalah. Bukankah menolong janda miskin dan anak yatim itu perbuatan yang mulia? Ah, semoga.
Aku harus mandi sekarang, sebelum Mas Dar bangun aku harus terlihat bersih dan cantik. Buru-buru aku ke belakang. Satu-satunya kamar mandi di rumah ini adanya di sudut dapur.
“Mel, udah bangun? Mau mandi, ya?” tegur mbak Dina. Kedua iparku tengah duduk di meja makan kayu sederhana di dekat meja kompor.
“Iya, Mbak,” sahutku tersenyum ramah.
“Holang kaya bangun paginya cepat juga, ya?” Mbak Dinda mulai menyindir lagi. Aku hanya tersenyum tipis.
“Kamu penghuni baru, jadi antrianmu paling belakang! Di rumah ini udah ada aturan! Bergiliran memakai kamar mandi kalau pagi hari. Ini masih giliran suamiku, lalu aku. Baru Dinda dan suaminya. Nah, baru giliran kamu dan suami kamu! Sabar, ya!” terang mbak Dina.
“Oh, gitu, ya, Mbak!” sahutku patuh.
“Iya, makanya kamu jangan mau tinggal di sini! Di sini susah! Gak seperti di rumah kamu, setiap kamar ada kamar mandinya. Percuma punya adik ipar orang kaya, kirain kita akan diajak tinggal di istananya, eh, malah ikut neyempitin rumah jelek kita!” celetuk mbak Dinda
“Eem, kalau gitu saya nunggu giliran di kamar aja, deh, Mbak,” ucapku tak mengmbil hati sindirannya.
“Ya, terserah!”
Lebih baik aku menunggu di kamar saja, daripada mendengarkan sindiran-sindiran kedua iparku itu. Entah mengapa mereka tak bisa bersikap sedikit ramah. Aku bingung. Sindiran mereka selalu mengenai aku orang kaya. Maksudnya apa, coba? Apakah mereka ingin aku membawa mereka pindah semua meninggalkan kemiskinana mereka? Jadi bingung.
Bersender aku duduk di bagian kepala tempat tidur papan di kamarku. Mencoba merenungi sikap ipar-iparku. Kepala kembali berdenyut.
“Udah, dong, Mas! Nanti ketahuan, lho!”
Aku tersentak, suara apa lagi sih, itu?
“Enggak, si kribo sedang nunggu antrian kamar mandi di dapur, bareng Mbak Dina dan Mbak Dinda.”
Ups, tak salah lagi. Itu suara Mas Dar. Dia nyebut ‘si kribo’. Siapa maksudnya? Aku?
“Mas, udah, dong! Aku udah keramas, lho! Masa iya, aku di suruh mandi lagi!” Itu suara Yati.
“Ayolah! Tadi malam tanggung! Pas lagi enak-enaknya, si kribo bikin ulah! Gak apa-apalah, kamu mandi lagi, Sayang, ya! Pening, nih!”
Astaga! Mas Dar ada di kamar Yati? Ngapain mereka?
*****