5. Lebih Dekat

1170 Kata
Dito terlihat mengelus laptop miliknya dari dalam tas yang ia bawa tadi, pandangan pria itu terlihat fokus pada layar di depannya. Sementara Zenith pun hanya menyeruput coffee latte pesanannya yang sudah dibawakan tadi. "Kau... kenapa bisa ada di sini? Perasaan setahu saya acara kelulusan SMA Kencana hari ini," ucap Dito memecahkan keheningan di antara mereka. "Aku ikut dengan mommy ku ke sini, lagipula Los Angeles adalah kampung halamanku," ucap Zenith sentai. Dito terlihat menganggukkan kepalanya walaupun ia sama sekali tak mendongakkan kepalanya menatap gadis di hadapannya. "Pantas wajahmu bukan seperti orang Indonesia asli." "Om sendiri ngapain di sini?" tanya Zenith. Keduanya kini berkomunikasi dengan bahasa Indonesia yang lebih santai dan mudah mereka mengerti.  "Saya ada kerjaan di sini, sedang ingin bertemu dengan CEO Greer Company besok."  Kening Zenith mengerut mendengar nama perusahaan yang tak asing di telinganya itu. Seperti nama belakangnya. "Greer Company? Apakah CEO-nya adalah William Greer?" Mendengar tebakan Zenith yang benar membuat Dito menatap gadis di hadapannya. "Kau mengenalnya?" "Tentu saja. Dia adalah teman papaku," ucap Zenith berbohong.  Dito pun hanya menganggukkan kepalanya dan membulatkan mulutnya, ia terlihat melanjutkan pekerjaannya yang ada di dalam laptop.  "Ngomong-ngomong, kau ingin melanjutkan kuliah di mana?" tanya Dito lagi.  Sejenak Zenith terdiam mendengarnya, wajahnya yang tadinya sangat ceria mendadak berubah menjadi lesu. Ia melipat kedua tangannya di atas meja dan menidurkan kepalanya di sana.  Menyadari perubahan suasana hati Zenith membuat Dito kelabakan sendiri, pria dengan cepat mematikan laptopnya dan menyingkirkan laptop tersebut. Matanya menatap bingung pada Zenith, tingkah gadis itu bahkan mengingatkannya pada sang adik, Deandra.  "Ada yang salah dengan pertanyaan saya?" tanya Dito hati-hati, takut kalau wanita di hadapannya tengah PMS.  "Tidak. Hanya saja pertanyaan mu mengingatkan aku pada pilihan yang diberikan oleh daddy ku," ucap Zenith lesu.  Kening Dito berkerut mendengarnya. "Ada apa memangnya? Barang kali bisa saya bantu untuk menyelesaikan masalahmu." Zenith terdiam sejenak mendengarnya, ia merasa ragu saat hendak menceritakan pilihan yang diberikan oleh daddynya. Tetapi, melihat tampang dan mengingat umur Dito yang lebih dewasa dan matang darinya, sepertinya ia membutuhkan saran dari pria dewasa itu.  "Aku menginginkan untuk menjadi seorang desainer, tapi daddy selalu melarangku. Katanya aku harus meneruskan usaha keluarga atau aku harus menikah dengan seorang pengusaha untuk melakukan merger, baru aku bisa bebas melakukan impianku." Penjelasan dari Zenith membuat Dito terdiam sejenak untuk mencerna ucapan gadis di hadapannya. Ia tak bisa langsung memberikan saran sembarangan pada gadis itu, apalagi mengingat usia Zenith yang masih belia dan labil. "Menurut saya, bagaimana kalau kau mencoba untuk menikah seperti pilihan terakhir yang daddy mu berikan? Pernikahan tidaklah buruk, apalagi jika kau menikah dengan kekasihmu." "Kalau memang aku memiliki kekasih tentu saja tidak akan menjadi masalah besar, tapi masalahnya saat ini aku tidak memiliki kekasih om!" ucap Zenith frustrasi. "Atau om mau menikahi aku?" Kedua mata Dito membulat sempurna mendengarnya, tetapi dengan cepat ia mengubah ekspresinya dengan senyum menggoda. "Memangnya kamu mau menikah dengan saya? Saya sih terima-terima saja, apalagi kalau bisa melakukan merger dengan perusahaan kamu."  "Om betulan mau?!" ucap Zenith serius. Gadis itu malah seperti menanggapi ucapan Dito secara serius, sebegitu frustrasinya gadis itu saat ini.  Hingga Zenith merasakan jentikan jari dingin di dahinya. "Heh, kamu masih bocil." "Om mah PHP aja!" ucap Zenith dengan bibir yang dikerucutkan. Dito yang melihatnya menjadi gemas sendiri, tetapi ia berusaha untuk menahan diri agar tak melakukan perbuatan macam-macam kepada gadis di hadapannya.  "Bukannya PHP, saya bahkan belum tahu nama kamu siapa. Lagi pula saya juga sudah punya anak, apa kamu mau menerimanya?"  Zenith terdiam mendengar ucapan Dito. "Idih ogah, Om! Aku nggak mau jadi penghancur rumah tangga orang." Gadis itu bergidik ngeri membayangkan jika dirinya akan dihina oleh orang-orang karena merusak rumah tangga orang. Walaupun tak bisa dipungkiri oleh Zenith, pria berusia tiga puluh tahunan di hadapannya itu memiliki wajah tampan dan mempesona. Siapa pun yang melihatnya tak akan menyangka jika pria itu berusaha tiga puluh satu tahun.  Dito tersenyum kecut mendengarnya. "Saya cuma bilang kalau saya punya anak, bukan punya istri. Istri saya sudah meninggal karena melahirkan anak pertama kami." Tubuh Zenith menegang seketika, ia merasa bersalah mendengarnya. "Sorry, Om. Aku nggak tau." "It's okey," ucap Dito, pria itu kemudian menyeruput secangkir Coffee Latte pesanannya hingga tandas. "Mau ikut dengan saya?" "Ke mana?" tanya Zenith bingung.  "Ke rumah saya, tadi kamu bilang mau menjadi desainer kan? Kebetulan adik saya adalah desainer terkenal di Paris. Kamu tahu Deandra Mora?" Mendengar nama Deandra membuat kedua mata Zenith berbinar. "Serius Om? Aku penggemarnya Kak Dea! Setiap seminar yang dia buat pasti selalu aku datangin pake uang tabungan aku sendiri." Melihat Zenith yang antusias ingin bertemu dengan adiknya membuat kedua sudut bibir Dito tertarik ke atas. "Ayo ikut saya, kebetulan Dea dan keluarganya juga ikut berlibur di Los Angeles." Saat hendak beranjak dari duduknya, Zenith memicingkan matanya pada Dito. "Om beneran kakaknya Kak Deandra kan? Takut aku kalau om bohong terus om malah jual aku dipasar gelap." Dito sontak tertawa renyah mendengar penuturan polos dari Zenith. "Kalau saya mau culik kamu mah dari tadi juga saya paksa kamu ikut." Pria itu meronggoh kantung celana yang ia gunakan dan mengeluarkan ponsel miliknya dari sana. Jemarinya terlihat bergerak lincah di atas layar sentuh benda pipih tersebut, ia kemudian menyerahkan ponsel tersebut pada Zenith. Terlihat di layar ponsel ada sebuah foto keluarga besar di sana, ada Dea, Bagas, Sirius, Dito dan seorang gadis kecil yang berusia tak jauh dari Sirius.  "Percaya kan sekarang? Itu foto keluarga kami tahun lalu." Zenith pun akhirnya menganggukkan kepalanya penuh semangat, ia menyerahkan kembali ponsel Dito dan mengikuti langkah pria itu.  Pria itu berjalan ke arah sebuah Alphard hitam dan membukakan pintu penumpang tepat di samping kemudi bagi Zenith. Diperlakukan istimewa oleh pria itu membuat hati Zenith menghangat seketika. Dengan perasaan malu-malu dia memasuki mobil dan Dito kemudian menutup pintu mobil. Ia kemudian berlari kecil ke pintu kemudi dan memasukinya.  "Jauh nggak, Om? Takutnya mommy sama daddy nyariin aku," tanya Zenith saat Dito hendak memasang sabuk pengamannya.  "Nggak, hotelnya dekat sini kok," ucap Dito singkat.  Mobil milik Dito pun melaju dengan kecepatan sedang menyusuri jalanan kota Los Angeles, hingga tak membutuhkan waktu lama untuk mobil Dito memasuki area parkiran sebuah hotel bintang lima di sana.  Seusai memarkiran mobilnya dengan baik, mereka berdua pun turun dari mobil dan berjalan masuk ke loby hotel, menghampiri lift yang tengah bergerak turun.  Ting! Bunyi pintu lift yang terbuka membuat keduanya berjalan masuk ke dalam, Dito menekan tombol lantai sepuluh. Lift pun bergerak naik hingga ke lantai sepuluh, sesuai perintah dari Dito. Saat pintu lift terbuka, mereka berdua pun keluar dari lift dan Dito memimpin jalan sementara Zenith hanya mengikuti pria itu dari belakang. Hingga, langkah Dito berhenti di depan pintu dengan nomor 570.  Pria itu pun mengetuk pintu kamar di hadapannya beberapa kali, hingga pintu terbuka menampilkan seorang pria khas baru bangun tidur.  "Gila, lo baru bangun tidur, Gas?" tanya Dito cengo. Sementara Bagas sendiri hanya memberikan cengiran kecil dan menggaruk tengkuknya yang tak gatal.  "Mana anak gue?" tanya Dito seraya mengintip keadaan di balik pintu.  "Di dalam, lagi main sama Sirius. Masuk dulu yuk," ajak Bagas saat melihat ada Zenith di belakang Dito.  ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN