Chapter 8 - Bukan Lily
“Aku melihat Lucas mengobrol dengan dua pria asing siang ini.” Nathan menceritakan pengalamannya menjemput Nathan yang menurutnya sedikit aneh.
“Oh ya?” Lily merasa gugup mendengar cerita Nathan tentang dua pria yang sekiranya ia kenal dari cerita Lucas kemarin malam.
“Sepertinya aku mengenal lelaki yang satu.” Nathan berusaha mengingat wajah dua lelaki itu. Satu memang familiar baginya, namun satunya sama sekali asing. “Wajahnya terlihat tidak asing. Tapi, di mana aku pernah bertemu dengannya?” Nathan semakin keras mengingat wajah lelaki yang familiar.
“Mungkin mereka hanya para ayah yang menjemput anak mereka.” Lily berusaha tenang, agar tidak menimbulkan kecurigaan Nathan. Walau sejujurnya ia menahan kegugupannya.
Selama ini Nathan tidak pernah tahu siapa ayah kandung Lucas. Karena itulah dia menyembunyikannya.
Meski terlihat lembut di luar, Lily tahu Nathan sangat impulsif dan mudah tersulut emosi. Ia tak ingin mengacaukan situasi. Lagipula kesalahannya lah yang membuatnya sampai harus hamil di luar nikah.
Itulah adalah satu-satunya kegilaan yang pernah Lily lakukan. Meski ayahnya selalu menyebutnya gadis pemberontak dan nakal. Lily tidak pernah melakukan itu. Ia hanya sengaja membuat imej seperti itu untuk menutupi kesalahan kakaknya, Rose.
Rose lebih liar dibandingkan dirinya. Di usianya yang beranjak tujuh belas tahun, Rose bahkan pernah menggugurkan kandungannya. Lily mengetahui rahasia kelam itu.
“Tolong jangan beri tahu, Ayah.” Rose memohon padanya saat dia tengah menjerit kesakitan saat akan mengeluarkan bayinya secara paksa.
Ayahnya hanya tahu, Rose mengalami anemia karena kekurangan darah. Padahal Rose baru saja melakukan tindak aborsi semalam. Lily menyimpan rapat rahasia saudarinya.
Di mata sang ayah, Rose adalah anak gadis sempurna. Dia tidak pernah membangkang perintah ayahnya sedikit pun. Sikapnya pun selalu santun dan lembut. Dia digemari banyak guru karena kepintarannya.
Tanpa mereka sadari, kalau selama ini mereka selalu berganti peran. Rose tidak sepintar dirinya, jadi Rose selalu meminta Lily menuliskan namanya di setiap lembar kertas ujian. Lily selalu berhasil mendapatkan nilai sempurna untuk Rose.
Sedangkan Lily harus menerima konsekuensi karena nilainya yang selalu dibawah rata-rata. Barulah saat itu mereka akan kembali ke peran masing-masing.
Lily menerima hukuman, tapi Rose selalu bebas dari hukuman para guru maupun sang ayah karena sikapnya yang selalu memberontak.
Bukan hanya itu, Rose selalu mengekspresikan kebebasannya dengan menjadi Lily saat dia membantah pada sang ayah. Dia akan berpura-pura menjadi Lily, melawan ayahnya dengan kata-kata tajam dan sengit.
Sedangkan Lily hanya bisa diam di balik pintu kamar, melihat kenakalan kakaknya yang semakin menjadi-jadi.
Berbeda dengan Rose yang liar, sebenarnya Lily-lah yang lebih penurut dan pendiam. Hanya saja selama ini, Rose terlalu sering menggunakan identitasnya sebagai Lily. Bukan sebagai dirinya yang sejati.
“Hei, Lily, apa kau di sana?” Nathan terus memanggilnya karena Lily terlalu larut dalam lamunannya.
“Eh, kenapa?” Lily pun tersadar. Kenangan akan masa lalunya pun memudar.
“Kau sedang melamun!” seru Nathan sambil terkekeh.
“Tidak! Aku hanya memikirkan Rose tiba-tiba.”
“Apa kau mulai merindukannya?”
Kalau boleh jujur, sebenarnya Lily tidak terlalu kehilangan saudarinya. Meski begitu, tetap saja ada ruang kosong di hatinya saat mengetahui Rose telah tiada.
Apalagi kematiannya begitu tragis dan terdengar janggal. Sebagai seorang saudari kembar, Lily takkan tinggal diam.
“Tentu saja,” sahut Lily dengan sorot mata berkabut duka.
“Oh Rose yang malang.” Nathan bersimpati. “Oh iya, ngomong-ngomong soal Rose. Apa kau menemukan sesuatu yang mencurigakan dari tunangannya?”
Lily menggeleng. “Tidak ada! Mereka bahkan memberiku banyak sekali pekerjaan. Aku tidak sempat mengecek semua data yang mencurigakan.”
Lily berusaha menutupi fakta kalau Damian, tunangan Rose adalah lelaki yang sama yang memberinya Lucas.
Tentu saja, Lily tidak akan menceritakannya pada Nathan. Ada beberapa bagian yang masih harus ia sembunyikan dari sepupunya.
“Tidak apa-apa. Pelan-pelan saja. Jangan gegabah. Setidaknya kau masih bisa bertahan hidup dari gajimu di sana ‘kan?”
“Kau tahu, tanpa bekerja pun aku selalu bisa bertahan hidup.”
“Itu karena kau menolak semua bantuanku, Ly!” gerutu Nathan. Kecewa karena Lily menampik semua bantuan materi darinya.
“Aku tidak kekurangan uang, Nath. Kau tahu, aku menghasilkan banyak dari meretas sistem perusahaan besar.”
“Iya. Tapi kau tidak tahu betap berbahayanya aksimu itu. Kau bahkan bisa menyeret Lucas jika suatu saat identitasmu terungkap.”
“Makanya, aku butuh pekerjaan nyata.”
“Aku sudah memberikannya. Bahkan pekerjaan yang kuberikan memuluskan niatmu membalas dendam.”
“Entahlah, aku tak yakin apa ini namanya balas dendam?”
“Aku yakin Rose di bunuh. Tapi siapa pelakunya, kita masih belum memiliki bukti.” Nathan berkata dengan sangat yakin dan percaya diri.
“Apa polisi sudah merilis hasil investigasi bekas mobil Rose yang rusak itu?”
“Sudah.”
“Dan apa hasilnya?”
“Tidak ada hal yang aneh sama sekali dari mobilnya. Remnya tidak bermasalah. Mesin dalam kondisi prima.”
“Mungkinkah, Rose berencqna bunuh diri?” tanya Lily, skeptis dengan pikirannya.
“Jika memang itu yang terjadi, dia tidak akan berusaha keras menjadi fotomodel terkenal, ‘kan?” gumam Nathan, mematahkan pikirannya.
“Kau benar. Lalu apa penyebabnya?”
“Entahlah. Kita perlu mencari tahu lagi.”
“Baiklah. Aku juga akan membantumu.”
“Terimakasih.”
“Sekarang ke mana Lucas?”
“Dia sedang tidur di kamarnya.”
“Kalau begitu, selamat tidur, Lily. Selamat beristirahat.”
Nathan hendak pergi, tapi Lucas tiba-tiba muncul di depan pintu kamarnya.
“Apa kau akan pergi?” tanya Lucas setengah meracau. Otaknya masih belum berfungsi normal.
“Bisakah kau tinggal di sini lebih lama, Pa? Biarkan aku tidur nyenyak, karena ada kamu di sisi Mama yang akan menjaganya.” Lucas berkata aneh. Lily tersenyum getir melirik ke arah Nathan.
Bagaimana bisa mereka bersama, sedangkan status mereka adalah sepupu. Jadi tidak akan mungkin ada hubungan khusus antara dirinya dan Nathan. Lily menampik kemungkinan itu.
Sedangkan Nathan, melirik Lily penuh harap. Ia memohon pada Tuhan, agar Lily membuka hatinya sedikit saja.
Menyadari perasaannya selama ini, bukan perasaan kakak sepupu pada adiknya. Melainkan perasaan khusus antara pria dan wanita dewasa.
Sudah sejak lama Nathan mencintai Lily, meski Lily tak menyadarinya.
“Bye, Nathan. Sampai ketemu besok.” Lily mengantarnya ke luar pintu. Nathan mendesah kecewa, karena Lily tak sekali pun memahami perasaannya.
***