Chapter 3 - Lucas Kecil
~ Lima tahun berlalu ~
Lucas Damian Carter baru saja turun dari mobil Bentley miliknya. Tatapannya dingin, rahangnya menegang. Ia tampak marah karena kematian tunangannya Rose Aurora Hailey mengejutkan publik.
Bagaimana bisa dia meninggal dalam kecelakaan tunggal yang merenggut nyawanya dengan tragis.
Usianya baru beranjak 25 tahun. Gadis yang masih sangat muda, namun naas kehidupannya tak semulus yang dia pikirkan.
“Apa pendapat Anda tentang meninggalnya tunangan Anda, Tuan Damian?” Salah seorang reporter mengejarnya untuk mewawancarainya sejak dia datang ke pemakaman tunangannya itu.
Lucas yang berganti nama menjadi Damian sejak malam itu, tidak merespon pertanyaan sang reporter.
Tentu saja para reporter lainnya tak menyerah, karena berita kematian Rose menjadi buah bibir terhangat pekan ini.
Selain karena Rose adalah seorang fotomodel yang sedang naik daun, dia juga menggemparkan publik dengan pengakuannya sebagai tunangan Damian. Berita kematiannya, tentu mengejutkan publik dan para penggemar.
Pebisnis muda nan handal dari keluarga Carter yang menjadi bagian dari keluarga konglomerat di kota York ini.
“Tuan Damian, apa Anda berduka atas kematian tunangan Anda?” Pertanyaan itu menggelitik Lucas. Dia berhenti sejenak hanya untuk memberikan tatapan tajam pada si reporter. Sedetik kemudian ia pun mengambil langkah kembali. Pergi, meninggalkan kerumunan para wartawan yang haus akan berita.
“Hei, kau baik-baik saja?” Darren yang sudah menunggunya di dalam mobil, mengkhawatirkan dirinya.
“Apa kau lihat wajahku sedang tidak baik-baik saja, hah?” komentar Lucas, sinis.
“Ya, seperti biasa. Kau selalu dingin pada orang-orang. Kau berubah Luc. Sejak gadis itu membayarmu malam itu.”
“Si-al, jangan kau ungkit-ungkit lagi gadis itu!” gerutu Lucas, kesal.
“Ya, terserahlah! Sekarang mau ke mana kita?”
“Ke kantor.”
“Kau gila? Di hari pemakaman tunanganmu, kau bahkan sibuk bekerja!” pekik Darren, nyaris tak mempercayainya.
“Lho, memangnya apa yang harus aku lakukan, hah? Meratapi kepergiannya?”
“Minimal kau harus sedikit memberinya simpati dengan menghadiri pemakamannya.”
“Sudah kulakukan!”
“Hanya menengok sebentar. Tidak sampai lima menit. Lalu kau pergi begitu saja. Kau bahkan tidak mengikuti upacara pemakamannya.”
“Terlalu membosankan!” sahut Lucas, acuh tak acuh.
“Jangan bilang kau akan meluncurkan bisnis barumu di saat kematian Rose sekarang?”
“Memang itu rencanaku,” sahut Lucas, dingin.
“Kau memang keji, Luc.”
“Setidaknya bukan aku yang membunuhnya.” Lucas menjawab singkat, membuat Darren hanya bisa menggelengkan kepala melihat keacuhan dirinya.
***
Kematian Rose, saudara kembarnya mengejutkan Lily. Dia tahu kalau mungkin sejak dulu mereka tidak saling dekat, karena ayah mereka selalu membeda-bedakan Lily dan Rose.
Tidak seperti kakaknya, Lily adalah wanita yang berani dan independen. Dia juga gadis yang kuat serta tak mudah goyah, tipikal gadis pembangkang. Suatu sifat yang sudah tertanam sejak ia lahir. Karena itulah sang ayah sangat membenci dirinya.
Bagi sang ayah, dia adalah aib yang sangat memalukan. Hamil di usianya yang menginjak tujuh belas tahun, ia pun terusir dari rumah karena aksi gilanya malam itu. Tapi sedetik pun Lily tak pernah menyesalinya.
“Apa kau yakin?” Ia meragukan informasi yang diberikan sepupunya, Nathan.
“Tentu saja. Kau bisa membaca beritanya di portal berita mana pun di negeri ini. Sayangnya kau sedang tidak ada di benua ini.”
“Berikan link beritanya padaku sekarang!” pinta Lily.
Semenit kemudian sebuah link muncul melalui pesan singkat. Ia membukanya. Terkejutlah dirinya saat membaca berita kematian saudari kembarnya, Rose. Terlebih berita tersebut sedang memberitakan tentang absennya sang tunangan, Damian. Lelaki kejam itu memilih untuk meluncurkan bisnisnya yang beruntungnya berhasil berkat berita kematian tunangannya yang sedang naik daun.
Lily menyipit tajam memandangi foto seorang lelaki tampan yang sukses itu. Ia menduga adalah intrik di balik kematian Rose. Ia yakin kalau lelaki ini bertanggung jawab akan hal itu.
“Aku akan pulang ke York City, sekarang!” Ia menelepon Nathan lagi.
Lelaki itu terkejut bukan baik mendengar keputusannya. Segera ia memesan tiket untuk kepulangan gadis itu, kembali ke kota kelahirannya.
***
Lucas menunggu penerbangan first class di kabin miliknya. Ia tak sengaja melupakan koper miliknya yang terbawa oleh asistennya, Darren. Hari ini ia harus menemui klien bisnisnya di negara lain, tapi ia lupa membawa satu dokumen penting lainnya.
Ia beranjak dari sofa yang terbuat dari kulit, seorang bocah lelaki berlari ke arahnya. Terlihat antusias, sehingga tak menyadari dirinya menabrak pria dewasa yang tak lain adalah Lucas.
“Oops, Sorry Uncle,” ucap bocah lelaki itu dengan wajah menyesal.
Lucas tersentak saat melihat wajah bocah lelaki itu. Dia mematung sejenak, wajahnya memucat. “Uncle, Uncle baik-baik saja, ‘kan?” Bocah itu terlihat mengkhawatirkannya.
“Berapa umurmu adik kecil?”
“Huh, aku bukan adik kecil!” gerutunya sambil merajuk. “Meski Mama tidak mau memberiku adik, tapi panggil aku Kakak!”
Lucas tersenyum melihat sikapnya yang lucu, “Baiklah, Kakak ... “ Lucas terdiam karena ia bahkan tak mengenal nama bocah lelaki yang menggemaskan ini.
Melihat keraguan di matanya, bocah tersebut menarik Lucas mendekat, lalu berbisik, “Sebenarnya namaku Lucas, tapi aku tak tahu kenap Mama bersikeras memanggilku Alex. Padahal aku menyukai nama belakangku.”
“Lu-cas?” ulang Lucas sedikit terkejut. Selain wajahnya yang menarik, bocah ini memiliki nama yang sama dengannya. “Aku juga Lucas.” Lucas memperkenalkan dirinya.
Bocah itu tertawa, “Lelucon Anda sangat menghibur Uncle.” Ucapanya terdengar seperti orang dewasa.
“Berapa usiamu?” Lucas sedikit tertarik mendengarnya.
“Bisa kau tebak usiaku?” Lucas kecil mulai memainkan permainan favoritnya.
“Hmm, biar kutebak. Usiamu pasti tujuh belas tahun!”
Mata Lucas kecil berbinar-binar mendengar jawaban Lucas yang sesuai keinginannya. “Wah, Anda hebat sekali Uncle!” Dengan antusias Lucas kecil menepuk punggung Lucas.
Lucas menahan senyum melihat tindakannya yang seperti lelaki dewasa. “Apa kau sering melakukan itu?” Merasa sedikit janggal, karena di usianya yang masih balita, bocah itu bertindak sangat dewasa.
“Melakukan apa?” tanya Lucas kecil bingung.
“Bersikap seperti gentleman sejati,” sahut Lucas, mengenang kembali masa-masa saat dia kecil dulu yang sangat ingin diakui sebagai orang dewasa dibandingkan bocah kecil. Karena itu Lucas menghargai keinginan bocah kembarannya itu yang sangat ingin diakui.
“Aku harus menjadi gentleman sejati untuk melindungi, Mama.”
“Wah, kau memang keren, Bro!” Lucas memperlakukannya layaknya lelaki sejati. Mata Lucas kecil berbinar-binar, karena ia seolah-olah menemukan lelaki yang mengakui dirinya.
“Apa itu artinya sekarang kita berteman?” Lucas berlagak seperti lelaki dewasa lagi, membuat Lucas dewasa tak tahan untuk menarik senyum yang telah lama hilang dari dirinya. Bocah ini membangkitkan kembali sesuatu yang telah lama hilang darinya.
“Yaps, kita berteman!” Lucas menjabat tangan mungil bocah itu.
“Wah, kau teman pertamaku di negara ini.”
“Apa itu artinya kau baru pertama kali datang ke kota ini?”
“Yaps, kau betul sekali, Luc!” Lucas sama sekali tak tersinggung saat bocah itu memanggil nama kecilnya.
“Wah, suatu kebanggaan bagiku.” Lucas menjawab dengan bangga.
“Alex ... Alexander!” Mereka mendengar suara wanita memanggil seseorang. Dari suaranya terdengar nada kecemasan dan putus asa saat memanggil nama itu. “Alex!” teriaknya lagi.
Bocah bernama Lucas seketika menegang, “Sepertinya ibumu mencarimu!”
“Dia mencari Alex, bukan diriku!” Lucas mendengar nada memberontak dari dalam diri bocah itu.
Lily panik saat kembali dari toilet dia tidak menemukan putranya. Hampir setengah jam ia mencari putranya di bandara yang sangat luas ini. Ia nyaris putus asa.
“Lucas!” panggilnya putus asa. Ia akhirnya menyerah dan memanggil putranya dengan nama yang sangat disukainya.
Ia benci mengapa harus menamai putranya dengan nama kecil ayahnya. Mengingatkan dirinya akan kesalahan yang pernah dilakukannya di masa lalu.
Barulah ia menemukan Lucas putranya. Bocah kecil itu tengah asyik berbincang bersama seorang lelaki yang membuat jantungnya seakan berhenti berdetak. Karena lelaki itu adalah lelaki yang membagi malam b*******h bersamanya.
“Lucas, apa yang kau lakukan disitu?” Lucas tersentak saat mendengar ibu dari bocah itu memanggil nama ‘Lucas’. Apakah itu dirinya atau bocah kecil ini.
“Mama!” Lucas kecil berlari memeluk sang ibu.
“Lucas, darimana saja kau, hah? Aku terus mencarimu! Kau membuatku khawatir.”
“Maafkan aku, Mama.”
“Maaf sudah merepotkan Anda, Tuan.” Lucas tersenyum singkat merespon permintaan maaf ibu dari bocah itu. “Saya permisi dulu, Tuan.” Lily segera menarik diri, berharap Lucas tak mengenalinya.
Lucas mengangguk singkat, ibu dan anak itu berjalan melewatinya. Barulah saat itu Lucas bersumpah mencium aroma parfum yang digunakan wanita itu sama persis dengan gadis yang tidur dengannya lima tahun lalu.
“Lily?” Ia menyebutkan nama aroma bunga yang menguar darinya.
Lily tersentak, ‘Bagaimana lelaki itu mengenalinya?’ batinnya berbicara.
Lucas kecil tersenyum lebar, “Bagaimana kau tahu nama mamaku?”
Lucas terperanjat, kaget karena ia tak sengaja menebak nama perempuan beraroma lily. Mungkinkah? Pikiran Lucas mengembara jauh.
“Permisi.” Lily menarik putranya pergi, menjauh dari lelaki yang telah memberikannya Lucas. Dengan cepat ia menggenggam tangan putranya.
Pergi sejauh mungkin dari lelaki masa lalunya.
***