HAPPY READING
***
Ocha bersyukur bahwa Damian hanya mengajaknya keliling Puncak melalui jalur tol. Semalam mereka hanya ngobrol tidak melakukan apapun selain menikmati embun dan berhenti sebentar memakan jagung bakar. Ocha tidak habis pikir Damian mengajaknya ke sini demi jagung bakar. Mereka makan jagung bakar di mobil sambil menikmai embun yang dingin.
Tepat jam sembilan lewat ia sudah tiba di rumah. Ocha dengan cepat melepas sabuk pengaman, ia tidak ingin berlama-lama dengan Damian. Oh Tuhan, ia tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika hidupnya setiap hari dihantui oleh Damian.
Damian memandang bangun berpagar tinggi di hadapannya. Rumah bertingkat itulah tempat tinggal Ocha, ia tahu bahwa Ocha bukanlah wanita yang kekurangan apapun dalam hidupnya. Dia terlahir memang dari keluarga terpandang, papanya seorang diplomat, dan saudaranya pengusaha sukses. Ocha tumbuh dari keluarga harmonis dan berpendidikan.
Damian melirik Ocha yang hendak membuka pintu, namun dengan cepat Damian menarik pergelangan tangannya. Otomatis lampu dasbor menyala dan Ocha menoleh ke belakang menatap Damian,
Ocha gelagapan, memandang wajah tampan itu, “Apalagi?” Ocha mulai jengah,
Damian membuka sabuk pengaman dengan cepat ia lalu menarik Ocha dan menangkup wajah itu.
“Boleh aku cium kamu?” Tanya Damian.
Ocha tida bisa berpikir jernih, ia menelan ludah memandang tatapan intens Damian. Otak Ocha merespon dengan cepat, lalu menjawab “IYA BOLEHHH!” teriak Ocha dalam hati.
Tanpa menunggu persetujuan dari Ocha, Damian mendaratkan bibirnya ke bibir Ocha. Ocha tanpa sadar tubuhnya sudah terduduk di kursi lagi, ia merasakan nafas Damian beraroma citrus di permukaan wajahnya. Ocha terdiam beberapa detik kerena bibirnya sudah di serang oleh Damian. Ia merasakan bibir Damian menghisap bibirnya. Ia tidak tahu kapan terakhir ia diserang oleh pria, justru sekarang membuat libidonya semakin naik.
Ocha mengikuti ritmen Damian, ciuman seperti ini memang bukan hal baru lagi baginya, karena ia sudah pernah merasakan ciuman bersama mantan-mantannya dulu. Tubuhnya kaku, pernafasannya seperti tersumbat karena efek kaget, bibirnya sudah dilumat oleh bibir Damian secara ganas, tanpa henti.
Beberapa detik kemudian pandangannya kabur, Ocha mengangkat kepalanya, agar Damian memiliki akses lebih menciumnya lebih dalam. Tangan kanan Damian berada di pinggangnya, dan tangan kiri masih tengakuknya. Ocha baru saja ingin perotes membuka mulutnya, namun Damian malah balik menyerangnya lebih ganas.
“Dam …” ucap Ocha, ia melihat Damian melepaskan kecupannya satu detik.
Ocha mencoba meyakinkan dirinya bahwa yang menciumnya secara ganas itu adalah benar-benar Damian. Oh sweet Jesus, kenapa dia kissable sehingga Ocha tidak bisa berpikir secara jernih. Keberadaan Damian memang selalu menjadi mimpi buruknya, namun ciuman yang dia lakukan bisa termaafkan.
Ocha mengangkat kepalanya, ia mencoba mendorong tubuh Damian agar menjauh, justru tubuhnya malah bersandar di kursi tanpa melepaskan bibirnya sedikitpun. Tubuh Ocha dan Damian merapat dan tubuh mereka saling bergesekan. Posisi seperti ini membuat Damian semakin antusias menciumnya.
Tubuhnya memberi reaksi positif, ia menelusuri rambut Damian, dia memiliki style rambut tersendiri sehingga terlihat sangat berkharisma. Jari-jari Ocha juga menelusuri tubuh Damian, lengannya keras otot bisepnya terasa dipermukaan tangannya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana tubuh Damian dibalik kemejanya, dan d**a pria sangat bidang.
Ocha yakin pria ini pasti raji berenang dan ngegym. Ia merasakan aroma sampho mint dari rambut Damian, yang segar, yang jelas Damian itu sangat wangi dan ia betah berlama-lama dalam dekapan pria itu.
Ocha teringat, sudah berapa lama ia mendambakan sentuhan seperti ini, dari dua tahun dan sekarang ia merasakan lagi. Ocha melepaskan bibirnya untuk menarik nafas, ia merasakan jemari Damian menyentuh pahanya seecara perlahan dan berusaha menarik celana dalam. Namun tidak berhasil, karena ia menepis tangan itu.
Dari tatapan Damian, ia tahu bahwa mereka sudah melewati batas kemampuannya untuk berhenti, jemari Damian mendesak masuk. Apa yang harus ia lakukan? Apakah mereka akan bercinta di mobil tepatnya di depan rumah. Ah, rasanya sangat tidak masuk akal melakukannya di sini.
Ocha memandang beberapa detik tatapan Damian, akal sehatnya tidak bisa berkonsentrasi penuh, ia meraba d**a bidang Damian. Perlahan ia merasakan jemari Damian sudah berhasil masuk ke dalam celananya. Ia merasakan otot-ototnya bereaksi dan berdenyut, ia semakin gila dan bibirnya mendesah pelan.
“Dam …” Ocha memohon Damian untuk menghentikannya.
“Please,” belum sempat Ocha menyelesaikan kalimatnya, Damian mendaratkan bibirnya lehernya, mengecupnya secara lembut, bermain lidah dan menghisapnya. Ocha hanya bisa mendesah karena meleleh atas sentuhan Damian.
Ocha menyembunyikan wajahanya di leher Damian, merasakan sentuhan tangan dan ciuman pria itu. Damian benar-benar menyiksanya, pria itu mencium leher dan tulang selangkanya. Ia merasakan kehangatan dan sepertinya ia juga tidak rela Damian berhenti melakukannya. Bibir Damian turun ke bawah dan leher hingga ke d**a.
Ocha mencengkram tubuh Damian dan Damian menjauhkan bibir dari tubuhnya lalu menatapnya. Ia merasa tidak mengenali siapa dirinya karena tubuhnya bereaksi dengan hebat. Jemari Damian tanpa berhenti bermain di sana, semakin lama riteme jemarinya semakin cepat. Pria mendekatikan wajahnya dan mencium sudut bibirnya dengan lembut.
Damian membawa kepalanya ke lekukan leher dan memeluknya hingga erat tanpa berdaya. Tubuhnya menegang dalam pelukan Damian dan bergetar, beberapa detik kemudian tubuhnya kembali rileks. Nafasnya sulit diatur dan perlahan Damian melonggarkan pelukannya.
Oh Tuhan, kenapa semua seperti ini. Ini sangat tidak masuk akal menurutnya, seolah Damian memahami dirinya. Pria itu diam-diam tersenyum kepadanya. Damian mendaratkan kecupan itu di keningnya, rasanya sangat manis.
“Maaf kalau aku kelewatan, semua di luar batas aku,” bisik Damian, menghentikan cumbuannya.
“Kita harus berhenti, karena situasi dan kondisi tidak memungkinkan,” ucap Damian lagi.
Ucapan Damian membuatnya bingung, bukankah tindakan dia sudah lebih dari kelewatan menurutnya. Bahkan ia sudah suruh berhenti sejak awal pria itu menciumnya. Ocha dan Damian berdiam diri dalam keheningan dan menyelimuti mereka berdua.
Ocha merasakan kakinya mulai keram, ia lalu menjauhi dari tubuh Damian. Otomatis Damian menjauhi diri, kembali ke kursinya. Ocha menarik celana dalamnya lagi dan kurang dari tiga detik Ocha keluar dari mobil.
Damian membuk power window memandang Ocha, “Besok aku jemput.”
“Oh, tidak bisa,” teriak Ocha.
Ocha lalu bergegas melangkah menuju pintu pagar rumahnya dan penjaga rumah membuka pintu pagar.
“Eh, non Ocha, baru pulang non?” Tanya security.
“Iya, pak.”
“Dari mana non?” Tanya nya lagi.
“Dari kantor,” ucap Ocha bergegas masuk ke pintu utama.
Ia bisa gila jika berlama-lama dengan Damian, ia harus menceritakan ini dengan Feli, bahwa om nya itu m***m parah, dan perbuatan pria itu tidak bisa dibiarkan begitu saja. Sementara Damian tersenyum penuh arti dan lalu menunggalkan area rumah berpagar tinggi itu.
Suara ponselnya bergetar, “Wiga Calling.” Damian meletakan earphone ke telinganya.
“Iya, Wig,” ucap Damian.
“Lo di mana?”
“Gue di jalan, kenapa?” Tanya Damian sambil memanuver mobilnya.
“Bisa ke rumah?”
“Bisa. Ada apa?”
“Temanin gue minum, kepala gue pusing,” ucap Wiga lagi.
“Ada masalah apa?”
“Gue mau tunangan.”
“Serius?”
“Yes, gue baru saja berdebat sama nyokap bokap soal ini. Gue nggak ada pilihan lain.”
“Sama siapa?”
“Willo.”
Damian mengerutkan dahi, “Willo?”
“Siapa Willo?” Tanya Damian.
“Anak rekan bisnis papa.”
“Oke, gue langsung ke sana,” ucap Damian membanting setir, ia memutar arah menuju rumah Wiga yang berada di daerah Dharmawangsa.
***
Keesokan harinya,
Seperti biasa pagi-pagi sekali ia sibuk dengan dirinya yang akan ke kantor. Ia mengenakan turtle neck berwarna hitam dan celana kain berwarna coklat muda. Ia duduk di kursi meja hias menatap wajahnya. Ocha memasang earphone di telinga,
“Iya, Cha,” ucap suara serak Feli dibalik speakernya.
Ocha menarik nafas panjang, “Sumpah ya Fel, om lo itu gila. Sumpah dia itu gila banget?” ucap Ocha to the point, Feli menatap penampilannya di cermin, sambil mengoles skincare di wajahnya.
“Emang om Damian, kenapa?” Tanya Feli bingung, karena antara sadar dan tidak, pagi-pagi seperti ini Ocha menelfonnya.
“Semalam om lo ada di basement, jemput gua.” Ucap Ocha memekik,
“Sangat mengerikan tau nggak sih lo!”
Feli yang mendengar itu lalu menyadarkan dirinya, “Wah, jadi beneran om Damian samper lo?”
“Iya, apa lagi coba? Serem banget pokoknya om lo.”
Feli yang tadi posisinnya tidur lalu menjadi duduk, karena ia ingin mendengar Ocha bercerita, “Terus-terus, ceritanya gimana?”
“Gua mau kabur nggak bisa, badanya kayak kingkong gitu. Dia langsung ngurung gua di mobilnya. Gua berasa di culik.”
“Wah, nekat parah tuh si Damian.”
“Parah banget.”
“Iya lah, tuh badan kayak kingkong gede banget. Lo kemarin sama dibawa ke mana?” Feli mengambil botol air mineral di nakas.
“Gua diajak, om lo makan di restoran Fairmont. Gue pikir doi cuma ngajak makan doang kan, terus balik ke rumah. Eh taunya, dia ngajak gua ke Puncak lagi, parah banget.”
“HAH! Ke Puncak? Ngapain? Nginep? Awas, entar lo diperkosa sama dia,” Feli panik, karena om Damian mulai kelewatan dengan sahabatnya, ini tidak bisa dibenarkan.
“Di Puncak katanya cuma makan jagung bakar terus liat embun malam-malam. Ya, untung doi nggak apa-apain gua. Takut banget gue tadi malam, sumpah.”
“Lo enggak apa-apa kan, Cha?”
“Enggak apa-apa kok. Cuma pas semalam nganter gue balik, om lo nyium gua,” Ocha memekik.
“HAH! Nyium lo? Kok bisa?”
“Bisa lah, dia narik tangan gua!”
“Parah om Damian, sumpah parah banget. Terus gimana rasanya?” Tanya Feli penasaran.
“So hot,” ucap Ocha mengakui bahwa ciuman Damian.
“Tuh, kan bener om Damian, emang hot gitu kelihatannya. Iya kan.”
“Tapi tetep aja gua serem tau.”
“Itu yang gua takut, rada serem juga.”
“Fel, tolongin gua dong Fel, please,” rengek Ocha.
“Tolongin apa, Cha? Gua siap bantu lo kapan aja.”
“Bilangan sama om lo, jangan jemput gua lagi. Ngeri gue lama-lama sama dia,” dengus Ocha.
“Emang, om gue mau jemput lo lagi?”
“Iya, dia bilang gitu sama gue tadi malam.”
“Lo pulang jam berapa.”
“Jam empat,” Ocha mengoles eyebrow pada alisnya.
“Bisa sih, nanti gue jemput lo di kantor,” Feli beranjak dari tidurnya, ia membuka jendela kamar, memandang langit sudah terang.
“Nah, itu ide bagus tuh. Lo mau jemput gue?”
“Mau kok.”
“Lo nggak jalan sama Brian?” Mengingat Feli kedatangan teman dekatnya dari Jerman.
“Ya, jalan. Cuma demi lo, gue rela deh jemput. Brian bisa di on hold bentar. Lagian nyesel gue bawa lo kemarin ke rumah om Damian. Lo malah jadi sasaran dia, nggak bisa liat bening dikit, maunya di bungkus. Ini udah jadi tanggung jawab gue, buat lindungin lo dari kejaran om Damian,” ucapp Feli diplomatis, ada kekuatan diri untuk melindungi sahabatnya.
“Lo baik banget Fel, sama gue.”
“Iya dong, gue kan sahabat lo. Yaudah, lo sekarang tenang. Gue jemput lo dan gue mau ngomong sama om gue, jangan pernah ganggu lo lagi. Kalau gue yang ngomong, dia mungkin bakalan jera.”
“Yakin lo berani?” Tanya Ocha ragu, masalahnya Feli dan dirinya sama aja.
“Yakin lah, gue kan keponakannya.”
Ocha merasa lega, akhirnya Feli membantunya dari jeratan Damian, “Makasih ya Fel, lo emang sahabat gua yang paling the best.”
“Iya sama-sama.”
Ocha mematikan sambungan telfonnya, ia menarik nafas lega karena sahabatnya akan membantunya untuk menjemput dan mengatakan kepada om nya itu agar tidak mengganggunya lagi. Feli memang sahabat terbaik.
***
Ocha menuruni tangga, ia memandang mama dan papa turun sedang sarapan, sedangkan bibi mengepel lantai sambil menonton TV.
“Pagi, ma, pa,” ucap Ocha, ia melihat makanan di atas meja, tersedia roti tawar, sandwich dan nasi goreng buatan bibi.
“Pagi juga sayang. Mobil kamu mana?” Tanya papa.
“Di basemen kantor, kemarin pulang kerja sama temen.”
“Cowok apa cewek?” Tanya papa.
“Cowok,” ucap Ocha, ia mengambil toast dan memakannya.
“Pacar kamu?” Tanya mama, memandang putri bungsunya.
“Bukan ma, bukan, cuma temen biasa.”
“Kirain pacar kamu,” mama mengambil roti tawar dan lalu mengoles selai coklat dipermukaanya.
“Males pacaran, maunya kerja aja,” ucap Ocha terkekeh.
“Mama dan papa nanti malam mau ke rumah mas Evan, kamu mau ikut nggak?”
“Ada acara apa ma?”
“Enggak ada, cuma main aja, ada besan juga di sana.”
Ocha tahu, acara seperti itu sangat membosankan, apalagi ada besan. Sudah ia pastikan akan menjadi kambing congek. Ocha menarik nafas panjang, ia menggelengkan kepala.
“Enggak deh, ma. Salam buat mba Asti sama mas Evan.”
“Ikut aja lah, Cha. Nanti di sana ada Leon juga katanya di sana,” ucap papa lagi.
“Siapa Leon, pa?” Tanya Ocha penasaran.
“Sepupunya Asti.”
“Enggak ah, nggak kenal. Males,” dengus Asti.
“Dia, mau kenalan sama kamu loh.”
“Masa, enggak percaya. Rajin banget ceritain Ocha.”
“Asti sendiri yang cerita sama mama.”
“Kamu tau kan, aplikasi gojek?” Ucap papa.
Ocha mengangguk, “Iya tau lah, hari gini nggak pakek gojek, mustahil banget.”
“Katanya itu punya dia.”
Alis Ocha terangkat, dan ia lalu shock, “Serius punya dia, pa?”
“Iya.”
“Bentar-bentar, Ocha searching dulu siapa pemiliknya,” Ocha membuka ponselnya, menulis nama gojek di branda google dan menemukan siapa founder gojek.
“Leon Sebastian?”
Siapa yang tidak kenal Gojek, yang merupakan perusahaan teknologi asal Indonesia yang melayani angkutan jasa ojek, yang didirkan oleh Leon Sebastian.
“Iya itu dia.”
“Oke, mau, mau ikut,” ucap Ocha, ia tidak akan melewatkan kesempatan ini begitu saja.
***