Bab 3

2478 Kata
HAPPY READING *** Ocha duduk lagi di kursinya, ia memandang Damian yang masih menatapnya. Pria itu menyesap kopinya lagi. “Mau ngomong apa sih?” Tanya Ocha, ia mulai risih atas kehadiran Damian. Damian memandang Ocha, wajah cantik itu sama sekali tidak welcome kepadanya. Damian meletakan cangkir itu ditempatnya lagi. Ia menarik nafas dan menatap Ocah dengan serius. “Saya tertarik sama kamu, Sorcha,” ucap Damian dengan tenang. “HAH! Enggak salah denger?” Damian menyungging senyum, “Enggak, itu benar.” Ocha menarik nafas, ia pandangi laki-laki berwajah tampan itu, “Jangan pacaran sama gue, tolong banget, please,” Ocha memohon kepada Damian. “Tolong, please jangan ngejer-ngejer gue lagi,” rengek Ocha. “Cukup kenal aja, ya. Jangan ngejer-ngejer gitu. Cari yang lebih oke, misalnya artis atau putri Indonesia. Selebgram deh, cocok tuh sama lo. Jangan kayak gue gini, gue masih pingin hidup bebas.” Damian mendengar permohonan Ocha, ia menahan tawa, ternyata Ocha tidak hanya cantik, cerdas, dia juga sangat menggemaskan. Jujur ia baru kali ini berkenalan wanita dan lalu ingin menjadikan kekasihnya. Namun wanita itu justru tidak menerima kehadirannya. “Kamu pacaran sama saya, masih bisa hidup bebas.” “Tapi, jangan sama gue, please,” Ocha memohon lagi kepada Damian. “Please jangan sama gue.” Jujur ia bukan tipikal pria yang bisa mudah jatuh cinta, jika jatuh cinta ia benar-benar mencintainya. Ah, ia tidak tahu berapa tahun ia tidak pacaran, sehingga ia tidak tahu bagaimana caranya bersikap romantis dan berkenalan kepada seorang wanita. “Yah, sayangnya, saya mau sama kamu, Ocha. Gimana dong?” “Jangan sama gua. Cari cewek lain aja, ya, please.” “Enggak bisa Ocha, saya maunya kamu.” “Ih, enggak bisa. Jangan dipaksa kalau nggak mau.” “Kalau saya bilang tertarik, berarti saya suka kamu, dan kamu nggak ada pilihan lain kecuali terima saya.” Ocha yang mendengar itu nyaris ternganga, “HAH! Nggak bisa gitu dong.” “Bisa.” Damian dan Ocha masih bernegosiasi soal hubungan. “Saya tertarik sama kamu.” “Tertarik apaan, baru kenal. Kalau lo tertarik sama gue, bukan berarti gue nerima lo. Lagian gue ogah lah, pacaran sama om sahabat gue sendiri.” “Temenan aja ya, please.” Damian yang mendengar itu lalu tertawa. Bagaimana ia bisa menjadikan Ocha teman, sementara dia semenarik itu. “Ya, enggak apa-apa, jadi hubungan kalian semakin dekat, kan.” “Ih, enak aja. Enggak-enggak, enak aja terima sembarangan orang.” “Saya bukan pria sembarangan Ocha.” Ocha meraih cangkirnya dan ia menyesap kopi hitam. Ia memandang Damian, jujur ia tidak tahu apa-apa dengan pria itu. Dia hanyalah pria baru ia kenal tadi malam, lalu ingin menjadi kekasihnya. Itu merupakan tindakan yang tidak masuk akal. Baginya proses pacaran itu dimulai dari pendekatan terlebih dahulu, bukan asal comot dan menjadikan dirinya pacar. Minimal pengenalan satu tahun untuk proses menjadi pacar, itu pun belum tentu diterima. “Tolong, jangan pacaran sama gua. Sama orang lain aja ya, mau nggak? Gua cariin deh.” “Enggak bisa Ocha, saya sukanya sama kamu.” “Tapi gue nggak suka.” “Coba aja dulu, baru bilang nggak suka.” “Baru kali ini ada pacarann coba-coba. Makin aneh deh.” Damian memakan sarapannya, ia melihat ekpresi wajah cantik Ocha, namun ia menahan tawanya, “Kamu kerja di tempat saudara kamu?” Tanya Damian ia mengalihkan topik pembicaraanya. Alis Ocha terangkat, “Ih, kok tau?” “Posisi kamu General Manager.” “Ih, tau lagi.” Damian menyungging senyum, ia memandang Ocha, “Saya sudah bilang. Saya tau semua tentang kamu. Maka dari itu kita pacaran, ya.” “Enggak!” Protes Ocha tidak terima, rasa lapar dan pusingnya hilang, tiba-tiba Damian mengajaknya pacaran. Ia bukan wanita munafik secara tampang Damian bisa dibilang salah satu wanita yang bisa membuat wanita histeris dengan ketampanannya, apalagi kata Feli, Damian itu tajir abis. Tapi kalau ngajak pacaran secara tiba-tiba, tanpa proses pengenalan itu sangat mengerikan menurutnya. Ini tidak bisa ia lakukan, apalagi ia tidak kenal sama sekali tentang Damian. “Saya jarang-jarang loh, nawarin pacaran sama seorang wanita. Biasa wanita yang ngejar saya.” “Nah itu banyak yang suka, kenapa nggak pacaran sama mereka aja,” sahut Ocha. “Saya orangnya pemilih dan pilihan saya kamu.” “Yah, maaf nih, tapi gue nggak bisa pacaran sama lo. Gue tuh sama sekali nggak tertarik sama lo, justru gue ngeri,” teriak Ocha dalam hati. “Lo cari cewek lain aja, ya, soalnya gue rada ngeri sih pacaran sama om-om modelan kayak lo gini. Walau lo itu pengusaha sukses, presiden direktur, CEO atau apalah namanya. Tapi gue nggak bisa.” “Gue udah ngomong secara terbuka nih, udah lambaikan tangan nggak bisa. Beneran nggak bisa, jangan dipaksa-paksa, gitu.” Damian menahan tawa, melihat ekspresi Ocha yang menolaknya, “Bukannya kamu mesti bersyukur kalau saya deket sama kamu. Ini saya loh nawarin diri, jadi kekasih. Kamu pacaran sama saya, kamu dapat segalanya.” “Walau lo punya harta, milyader, bukan berarti gue langsung mau. Gue nggak bisa, seriusan.” “Ocha.” “Pacaran nggak semudah itu lah, butuh proses yang panjang. Gue bukan cewek yang bisa, baru kenalan sama cowok, lalu langsung suka. Apalagi cowok yang pemer harta, jatohnya ilfiil, tukang pamer, sok paling kaya,” timpal Ocha. Damian memandang Ocha, baru kali ini ia ditolak secara terang-terangan kepadanya. Namun semakin ditolak, ia semakin tertantang mengejarnya. Ocha melirik jam melingkar ditangannya menunjukan pukul 09.10 menit, “Gue udah telat nih. Gue cabut ya, dah,” Ocha lalu beranjak dari duduknya. Namun Damian dengan cepat menahan pergelangan Ocha, wanita itu otomatis memandangnya. “Apaan lagi sih, udah telat gua.” “Pulang kerja, saya jemput kamu.” “Enggak!” “Saya jemput.” Ocha melepaskan cekalan tangan Damian, ia lalu pergi begitu saja dan berlari menuju lobby. Damian menahan tawa ia melanjutkan makannya, ia melihat Ocha dari balik jendela, wanita itu masuk ke dalam mobil Mercedes Benz dan meninggalkan area restoran. Damian meraih cangkir dan menyesapnya kembali. Ia tahu apa yang akan ia lakukan setelah ini. Baginya cinta itu harus dicari dan dikejar. Dimulai dengan membuka hati . Cinta itu bisa dipupuk dari hati, saling memahami dan mengagumi. Ia bisa memantaskan diri untuk mendapatkan cintanya lagi. *** Ocha merasa aman ketika dirinya sudah berada di dalam mobil, ia buru-buru meninggalkan area restoran. Jujur ia masih terkejut atas hadirnya Damian secara tiba-tiba di restoran. Bulu kuduknya masih merinding, ia merasa hidupnya sekarang tidak aman. Bayang-bayang Damian seakan mengintainya menghantuinya, jujur tadi malam aja dia sulit tidur karena Damian menawarkan diri menjadikan kekasihnya. Ah, kenapa dengan pria itu? Apa dia sakit jiwa? Seketika Ocha teringat tentang Pet film yang ditulis oleh Jeremy Slater dan disutradarai Carles Torrens. Kisah itu berfokus kepada peran utama Seth yang sikapnya manis tapi sebenarnya kesepian. Seth menghabiskan hari-harinya bekerja dipenampungan hewan. Suatu hari, ia bertemu dengan Holly, gadis cantik yang bekerja sebagai pelayan. Kemudian Seth terobsesi, karena Seth selalu ditolak, lantas Holly lalu diculik lalu dan menaruhnya dikandang dan diperlakukan tidak wajar. Itu salah satu film membuatnya tidak bisa tidur, cerita seperti itu sangat mengerikan. Oh Jesus, bagaimana jika Damian seperti itu? Dia seperti pria psikopat, yang terobesesi mengejar targetnya. Padahal mereka baru berkenalan tadi malam, namun pria itu dengan mudahnya mendapat informasi tentang dirinya. Ocha memanuver mobilnya lagi lalu menuju kantor yang hanya melewati beberapa gedung dari Loewy. Ocha memarkir mobil di basement, ia melepas sabuk pengaman. Ocha keluar dari mobil menuju lift. Ia memandang security berjaga di lobby gedung, ia menoleh ke belakang dan berharap bahwa Damian tidak mengikutinya. Ocha bergegas masuk ke dalam lift bersama karyawan lainnya. Ocha mengatur nafasnya yang sulit diatur, jantungnya masih berdegup kencang, namun ia teringat Damian lagi. Oh Tuhan, lepaskan ingatan itu dari pikirannya. Pintu lift terbuka, Ocha melangkah kan kakinya ke koridor, ia melewati kubikel-kubikel karyawan. Ia di sini menjabat sebagai general manager, yang merupakan pejabat tertinggi di perusahaan. Tugasnya di sini memimpin jalannya operasional, termasuk koordinasi pegawai. Semenjak ia bekerja di sini, ia banyak belajar tentang laporan operasional dan analisa evaluasi kinerja pegawai. Bahkan ada beberapa masalah yang ia hadapi di kantor, ia harus memberikan solusi terbaik. Ia di sini dituntut loyalitas yang sangat tinggi pada perusahaan. Walau ia adiknya Evan sang pemilik perusahaan ini, namun ia bekerja dengan baik, selayaknya pegawai yang lain. Dengan posisi inilah, ia jadi tahu bagaimana membangun perusahaan. Evan juga mengakui keberhasilan kinerjanya selama ini, karea selalu memberikan inovas-inovasi agar perusahaan ini lebih berkembang. “Pagi ibu Ocha,” ucap beberapa karyawan yang lewat di depannya. Ocha tersenyum, “Pagi juga.” Ocha membuka kunci ruangannya, ia melirik beberapa karyawan sudah menunggu di ruang tunggu, untuk mengantar berkas laporan. Ocha menghela nafas, ia masuk ke dalam ruangannya. Ia akan dihadapi dengan setumpuk pekerjaan pada pagi ini. Satu persatu karyawan masuk memberi laporan kepadanya. “Bu, ini laporan keuangan untuk Minggu ini,” ucap Mery anak finance. “Ok, letakin aja di meja, nanti saya periksa dulu.” “Terima kasih, bu.” Setelahh Mery pergi ada, Bian selaku HRD datang, “Ini laporan gaji karyawan bu.” Ocha tersenyum dan mengambil berkas laporan itu, “Terima kasih, saya periksa dulu ya.” “Baik, bu,” ucap Bian, lalu meninggalkan ruangannya. Ocha menatap tumpukan pekerjaan itu meja. Ocha menghidupkan power computer dan ia memeriksa laporannya. Setelah ia periksa, ia akab menandatangani laporan itu lalu mengembalikan kepada orangnya. Ocha melihat Caca masuk ke dalam ruangannya, dia merupakan salah satu admin barunya yang baru join di perusahaan ini Minggu kemarin. “Bu, ini laporan proposalnya,” ucap Caca, menatap atasannya. “Udah kamu cek?” Tanya Ocha. Ocha melihat laporan yang dibuat Caca, ia baca sekilas, “Kayaknya saya kurang suka deh, sama plan nya.” “Terus saya mesti ngapain bu?” “Loh, kok kamu tanya saya? Kan saya minta tolong sama kamu.” “Yah, saya kan perlu tau bu, mulainya gimana.” Ocha membuka laci, ia mengambil beberapa proposal dan memberikan kepada Caca, “Saya pikir kamu udah tau. Ini contohnya, kamu bisa ikutin ini.” “Terima kasih bu.” Beberapa jam berlalu, Ocha sudah menyelesaikan pekerjaanya. Biasa jam 12.00 semua pekerjaan sudah selesai, selebihnya ia bisa bersantai ria, duduk di kursi sambil bermain dengan ponselnya. Ia melihat pesan masuk dari Feli. Feli : “Lo sibuk nggak?” Ocha membalas pesan singkat itu, Ocha : “Udah jam istirahat, nggak sibuk. Kenapa Fel?” Seketika ponselnya bergetar, “Felicia Calling” Ocha menggeser tombil hijau pada layar, dan ia letakan ponsel ke telinga kirinya. “Iya, halo, Fel?” Sapa Ocha, ia bersandar di kursinya. “Lo, lagi apa?” Tanya Feli, duduk di sofa kamar. “Lagi kantor, kenapa?” “Nanya aja, sih. Gabut gua, makanya nelfon lo,” ucap Feli, tertawa, ia juga bersandar di sofa, sambil menatap view kolam renang dari atas. “Kirain ada apaan.” “Oiya, Fel,” ucap Ocha. “Apa?” Ocha menarik nafas, “Om Damian itu umurnya berapa sih?” Tanya “Kayaknya tiga puluh enam, deh, kenapa?” “Nanya doang. Dia orangnya kayak gimana?” Tanya Ocha semakin ingin tahu siapa Damian. “Kurang tau juga gue om Damian itu kayak gimana. Kan lo tau sendiri gue enam taun di London terus lanjut S2 di Jerman. Waktu SMA juga gua nggak deket sama keluarga belah mama. Jadi kurang kenal gitu sama om Damian, gue taunya punya om super keren yang buat cewek-cewek histeris karena cool parah, sekarang.” “Hemmm.” “Menurut gue kayak misterius gitu sih orangnya, tertutup, ngumpul sama keluarga juga jarang banget, kecuali natal deh ketemu om Damian, itupun kita samper ke rumahnya. Maklum gila kerja orangnya. Tiba-tiba nih dia ada di Jakarta, besok tiba-tiba udah ke Singapore terus ke New York. “Kenapa, tanya om Damian?” Tanya Feli penasaran. Ocha mulai berpikir apa ia harus menceritakan kepada Feli tentang Damian yang mengejarnya, “Fel,” ucap Ocha Ragu. “Iya, kenapa, Cha.” “Om lo ngejar gua,” ucap Ocha pada akhirnya. “HAH! Serius?” Feli terbelalak kaget. “Iya, serius. Tadi dia samper gua. Gimana dong?” Rengek Ocha. “Samper di mana?” “Damian samper gue breakfast di Loewy.” “Emang om Damian, ngomong apa sama lo?” “Doi bilang, gue harus jadi pacarnya dia.” “HAH! Ih, serem amat, nggak kenal, langsung ngajak lo pacaran,” timpal Feli. “Nah itu, gue juga ngeri tau, kayak psikopat jatuhnya.” “Lo kabur aja kalau ada dia.” “Enggak bisa kabur gua tadi, kan di resto, mana pakek heels.” “Terus.” “Lo tau nggak?” “Apa?” “Dia tau kalau gue kerja sama Evan, terus jabatan gue jadi GM di sini. Katanya dia tau semua tentang gue.” “OMG!” Lagi-lagi Feli kaget dengan aksi Damian yang menyukai sahabatnya, itu merupakan hal yang tidak wajar menurutnya. “Gimana dong, Fel,” rengek Ocha. “Haduh, gimana ya. Gue juga nggak tau nih, harus ngapain? Om Damian bukan kuasa gua. Lo hindarin aja om Damian. Itu cara satu-satunya, Cha.” “Lo ada ngasih nomor HP gue nggak sama om lo?” “Enggak lah, ngapain gue ngasih nomor lo. Gue aja nggak pernah berhubungan dengan om Damian.” “Tuh kan, dia ngincer gua. Gua takut tau, tiba-tiba dia nongol depan gua, terus ngajak gua pacaran, terus tau semua kegiatan gua. Ngeri banget gue!” “Ih, sumpah parah abis sih, kalau itu,” timpal Feli. “Gue harus selamatin lo, Cha. Dari om Damian. Lo tenang aja.” “Gimana caranya?” “Nah, itu gua masih mikir.” “Kalau tiba-tiba dia samper gue di kantor gimana? Terus gua diculik?” “Ah, masa segitunya?” “Kayaknya om lo itu nekat Fel, serius!” “Serem juga ya.” “Serem banget, kalau gua diculik terus gua nggak bisa balik ke rumah orang tua gua, gimana?” “Masa sih, sampe segitunya,” Feli juga bingung memberi solusi apa untuk Ocha. “Siapa tau aja Fel, gua ambil buruknya aja.” Feli mengerutkan dahi, “Kok bisa sih, om Damian suka sama lo.” “Lah, mana gua tau.” “Lo tolak aja lah.” “Dia nggak mau Fel, serius.” “Wah, itu udah parah sih. Pemaksaan.” “Nah, itu Fel. Solusinya gimana dong Fel.” “Lo terima aja lah, nyari selamat dulu.” “Ih … Feli!” “Gua juga nggak tau Cha. Sumpah gue bingung juga. Gua cari tau dulu deh, om Damian itu gimana.” “Yaudah kalau gitu, nanti lo langsung kasih kabar gua ya.” “Iya, iya lo tenang aja.” “Oke.” Sambungan telfonpun terputus begitu saja. Ocha bersandar di kursi sambil mencari solusi cara menghindari Damian. Ah, tampang Damian pasti nekat, orang kayak dia nggak ada takut-takutnya. Apa ia harus lapor polisi? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN