Alecas (Alecas bertubuh Lucas)
LuXa (Lucas bertubuh Alexa
Gemercing suara lonceng mengikuti setiap gerak langkah kaki itu, lantai ubin yang sudah usang di hiasi darah segar. Pria tua itu datang, dengan kepala yang masih tertanam peluru.
Lucas berdiri dan diam tidak bergerak, hanya itu yang bisa dia lakukan. Tubuhnya membeku dan lidahnya kelu, ingin dia berteriak tapi ada sesuatu yang menahannya dengan kuat.
Seekor kucing hitam melompat mengikuti seekor burung, mereka bergerak ke bawah meja dan diam disana. Melihat apa yang akan terjadi.
"Kau menikmatinya?" Joe tersenyum, dia melangkah mendekat dengan satu kaki yang di seret. "Itu hanya permulaan Lucas."
Bibir Lucas berusaha bergerak, namun dia tetap tidak berdaya. Dia hanya bisa berteriak dan memaki di dalam hati.
Joe mencondongkan kepalanya, Lucas bisa melihat kilauan belakang pelurunya yang tertanam di kening Joe. Joe tertawa keras, menunjukan gigi kemerahannya karena darah. "Kuota ciumanmu sudah habis nak. Air hitammu sudah kering, yang tersisa air suci."
Perlahan Lucas bisa mengangkat bibirnya, namun Joe mulai bergerak menghilang di antara cahaya.
"Jangan pergi! Bebaskan aku!" Teriakan Lucas menggema.
Lucas terbangun dan duduk dengan tegak, nafasnya memburu dengan keringat membasahi tubuhnya.
Dia telah bermimpi. Lucas mengusap wajahnya beberapa saat, dia sudah berada di dalam tubuh Alexa lagi.
Matahari mulai bergerak naik perlahan. Lucas butuh minum dan berbicara pada Armin, mungkin pria itu tahu jawaban dari mimpinya. Dia turun dari tempat tidurnya setelah mendengar ketukan Alexa di pintu.
Saat pintu terbuka Alecas langsung berlari ke arahnya dan melompat ke ranjang. Alecas langsung mencium LuXa tiba-tiba dan melepaskan ciumannya dengan cepat.
Mereka saling menatap...
Tubuh mereka tetap tertukar...
"Kenapa tidak berefek lagi?" Alecas meringis dengan gerakan tidak nyaman di kakinya.
"Kau kenapa?."
"Aku ingin kencing" Alecas merengek. "Tolong aku."
LuXa langsung menarik tangan Alecas dan membawanya ke kamar mandi. LuXa sudah tidak tahan melihat wajah dingin dan berwibawanya di gunakan untuk merengek.
"Turunkan celanamu" perintahnya seraya membuka closet.
Alecas menurunkan celana dan celana dalamnya bersamaan, matanya terpejam enggan melihat milik Lucas.
"Pegang Alexa. Atau kau kencing di celanamu" perintah Lucas dengan bangga.
Alecas menggeleng dengan ringisan.
"Seperti ini. Lihatlah!" LuXa mengarahkan, "Tundukan kepalamu dan lihatlah!."
Mau tidak mau Alecas menundukan kepalanya dan melihat ke bawah. "Hey. Itu tanganku."
"Keluarkan sekarang. Dan berhenti bicara" desis LuXa mulai emosi, dia berusaha untuk tidak membayangkan Alexa tengah memegang miliknya. Sama seperti apa yang di lakukannya sekarang dengan tangan Alexa.
LuXa semakin menahan erangan dan fikiran kotornya.
"Sudah" ucap Alecas dengan ketus. Dia menarik celananya ke atas dengan cepat, "Kau tidak boleh menyentuh milikku, mengerti?."
"Aku sudah melakukan banyak hal dengan tubuhmu Alexa. Jadi berhenti bersikap seperti orang suci" LuXa tersenyum sinis seraya menurunkan gaun tidur bagian atasnya. "Salah satunya ini" dia meremas p******a Alexa yang terbuka.
Alecas berteriak menjerit. "Dasar c***l! b******k!." Alecas langsung memeluk LuXa, dia menarik tangan LuXa agar menjauh dari payudaranya.
"Ouwwhh" suara Caroline dan William terdengar, mereka berdiri di ambang pintu toilet yang sejak tadi terbuka lebar.
Mereka melihat Lucas memegang p******a Alexa dengan gaun acak-acakan.
LuXa dan Alecas hanya mematung melihat Caroline dan William yang menganga.
William berdehem dengan canggung, "Kalian.. kalian lanjutkan. Kami akan pulang" ucapnya terbata-bata sambil mengusap tengkuk.
William menarik lengan Caroline dan bersiul dengan sumbang, mencoba melepas kecanggungan.
***
LuXa duduk bersila dengan tangan bersedekap, wajah cantik Alexa berubah menjadi garang dan ketus.
"Pejamkan matamu" perintah Alecas yang tengah memegang eyeliner, LuXa memejamkan matanya dengan malas. Dengan telaten Alecas meriasi wajahnya.
"Kenapa wanita selalu suka dandan sih?" Ucapnya ketus dengan bibir mengerucut karena di paksa memakai lipstick.
"Tanyakan kepada pria, kenapa mereka suka wanita berpenampilan cantik. Pertanyaanmu sialan munafik" jawab Alecas tidak kalah ketus.
LuXa mendengus kasar. "Kau semakin berani padaku. Jika orang lain yang bicara, mungkin nyawanya suda melayang" desis LuXa dingin dengan serigai jahatnya yang khas, membuat Alecas merinding ketakutan.
LuXa terkekeh pelan, merasa ironis. Melihat wajah miliknya ketakutan dengan wajah pucat dan tatapan polos tidak berdosa. Sangat tidak di kenalinya.
"Berhenti memasang wajah seperti itu" LuXa memperingatkan.
Alecas memutar mulutnya, dia merunduk dan mengecup bibir LuXa. Berharap tubuh mereka kembali dan dia berhenti memaki tubuhnya sendiri lagi.
Namun tidak ada perubahan, meski mereka telah berciuman beberapa kali dalam satu jam terakhir ini.
***
"Selamat pagi" Shwan menyambut kedatangan Alexa dan Lucas yang baru keluar dari kamar.
"Apa Anda baik-baik saja Tuan?" Shwan merasa heran, melihat mata tuannya sembab seperti habis menangis.
Alexa memang telah menangis, sudah beberapa kali mereka berciuman, dan tubuh mereka tidak kembali seperti semula.
"Ikut aku ke ruangan kerja!" bentak LuXa padanya.
Shwan mengerutkan keningnya setengah bingung, merasakan keanehan saat Alexa yang membentaknya. Namun Shwan tidak berani berkomentar, dan lebih memilih mengikuti kemana Lucas dan Alexa pergi.
Shwan menutup pintu, dan berdiri di depan LuXa juga Alecas. Dia terlihat tenang namun waspada, begitu melihat Alexa yang duduk di meja kerja tuannya. Sementara tuannya duduk patuh di sofa.
"Shwan" kata LuXa dengan tenang.
"Ya, Nona."
"Aku Tuanmu."
Shwan terdiam beberapa saat, mencoba mencerna apa yang telah di katakan Alexa. Dia melihat ke arah Lucas dan Alexa bergantian, "Maksud Anda?."
LuXa menyerigai jahat, membuat Shwan tercengang.
Serigai itu hanya di miliki tuannya.
LuXa beranjak dari duduknya dan mendekati Shwan dengan tenang. Namun ketegangan semakin terasa mengintimidasi seiring dengan mendekatnya LuXa ke arahnya.
LuXa memilih diam dan melihat.
"Kesetiaanmu tidak pernah berubah Shwan" ucap LuXa dalam bisikan, dia meremas bahu kokoh itu dan menarik lengan Shwan, kakinya menghimpit kaki Shwan yang lebih panjang. Dengan mudah LuXa membanting Shwan ke lantai.
"Kau ingin penjelasan yang lebih panjang Shwan?" Tanya LuXa dengan penekanan. Dia meraih tangan Shwan dan membantunya bangun.
"Tidak Tuan" Shwan kembali berdiri.
Pria itu langsung mengerti dan berusaha menutupi rasa terkejutnya.
Sekarang Shwan tahu, kenapa akhir-akhir ini Alexa dan Lucas sering bersikap aneh.
"Kenapa bisa terjadi?" Shwan tidak dapat menutupi rasa penasarannya.
"Joe" jawab LuXa singkat. "Kau masih ingat kutukkan yang dia katakannya sebelum mati?. Sekarang terjadi."
Shwan menelan ludahnya perlahan, dia melirik Alecas yang duduk layaknya seorang wanita meski dengan tubuh pria.
Alecas menghentakan kakinya, bibirnya di tekan merajuk. "Karena kebrengsekan dan kejahatanmu, aku ikut terseret."
"Diam Alexa!"Geram LuXa menahan teriakan.
"Diam katamu?. Karena kelakuanmu aku ikut terkutuk!. Dan kau masih bersikap seperti orang yang tidak bersalah. Aku benci padamu" Alecas berteriak frustasi.
Alecas menghapus air matanya dengan cepat. Dia beranjak dari duduknya dan pergi keluar dengan bantingan pintu.
"Sialan!" LuXa mengerang, dia meninju permukaan meja dengan keras.
LuXa memang tahu semua yang terjadi sekarang adalah kesalahan yang telah di buatnya, dan Lucas tidak bisa membela diri selain segera menyelesaikan masalahnya secepatnya.
***
Lucas diam termenung di depan pemandian. Restorant kumuh yang dulu di pijaknya disana, kini telah berubah menjadi sauna.
"Masuklah dan cari barang yang tersisa pria itu, apapun. Aku butuh sendiri" Armin melangkah lebih dulu. Meninggalkan Alecas yang kegirangan seperti anak kecil.
"Aku ingin mandi disini" Alecas berlari kegirangan. Dia masih enggan berbicara dengan Lucas sejak pertengkaran tadi pagi.
"Pergilah!" perintah LuXa pada Shwan. Shwan mengangguk kecil, dia segera pergi menyusul kemana perginya Alexa.
LuXa masih diam di landa kegetiran, dia tidak bisa membayangkan bila semua ini akan terjadi selamanya.
Alexa masih marah padanya, Lucas mengerti apa yang sebenarnya terjadi, tapi dia tidak mau melukai harga dirinya dengan meminta maaf dan mengakui kesalahannya.
Lucas tidak pernah meminta maaf.
***
Alecas berjalan malu-malu, dia hanya mengenakan celana pendek dan bertelanjang d**a.
Wajah tampan milik Lucas memang tidak bisa di ragukan. Apalagi tubuh atletisnya, membuat banyak wanita menelan ludah melihatnya dengan ketertarikan yang kuat.
Sementara di tempat lain LuXa tengah menyerigai senang, dia berdiri di ruang ganti wanita yang berlalu lalang telanjang tanpa malu.
LuXa segera melepaskan pakaiannya dan menggantikannya dengan handuk, dia mengikuti seorang wanita cantik yang sejak tadi yang telah mencuri perhatiannya.
LuXa menurunkan setengah kaki jenjangnya ke kolam pemandian air hangat, dia ikut melepaskan handuknya, sama seperti yang di lakukan wanita yang di ikutinya.
Pandangannya mengedar, mencari sesuatu yang lebih penting baginya di banding dengan wanita telanjang.
***
"Anda tunggu disini. Biar saya saja yang mencari" Shwan melesat pergi, meninggalkan Alecas di dalam sauna.
Alecas memilih duduk dan menikmati panasnya ruangan, lalu kembali ke tempat ruang ganti dan membersihkan diri.
Setelah cukup lama Alecas di dalam, dia memutuskan untuk keluar dan membersihkan diri sebelum Shwan datang menjemput.
"Dev" batinnya berteriak, melihat Devon memasuki ruang ganti.
Alecas segera menundukkan kepalanya begitu melihat kilatan kemarahan permusuhan Devon yang tertuju padanya.
Alecas menelan ludahnya, menikmati keindahan tubuh Devon yang bertelanjang d**a dan berdiri di sebelahnya tengah mengambil sesuatu di loker .
"Hay.." sapa Alecas dengan ramah, dia tidak tahan untuk tidak menegur kekasihnya.
Devon tidak membalas, dia hanya meliriknya sekilas dengan tatapan kebencian.
Devon tidak berminat berbasa-basi dengan orang yang hampir merebut kekasihnya dari tangannya, meski Devon percaya Alexa tidak akan berpaling.
Tapi, Lucas pria yang berbahaya, dia tahu beberapa catatan hitamnya.
Alecas tersenyum malu-malu, mencuri-curi pandangan pada tubuh Devon yang basah dengan handuk kecil yang melilit pinggangnya. Pria itu terlihat seperti habis mandi.
Devon memang seorang model, jadi dia harus menjaga tubuhnya dengan baik.
"Apa yang kau lihat?" Devon bersedekap dengan tegak, Alecas nyengir malu.
"Kau boleh bersombong diri karena Alexa tinggal bersamamu. Satu hal yang perlu kau tahu, Alexa milikku. Dan aku tidak akan pernah melepaskannya." Ucap Devon tanpa ragu.
"Benarkah?" Alecas tersenyum takjub dengan hati yang berdebar-debar. Dia menahan diri untuk tidak melompat dan memeluk kekasihnya.
Devon mengeryit heran, melihat ekspresi Lucas yang tidak marah dengan gertakannya.
"Persetan" Devon mengumpat.
Wajah Alecas memerah sampai ke telinga-telinga, begitu melihat Devon melepaskan handuknya dan membiarkannya terjatuh ke lantai.
Alecas kehilangan nafas, tidak bisa berhenti menyusuri kaki Devon hingga ke atas.
"Apa yang kau lihat?" Devon menggertak, dia berbalik dan berhadapan langsung dengan Alecas dengan tubuh telanjangnya.
"Ti.. tidak" jawab Alecas terbata-bata, namun jantungnya berdegub semakin cepat. Dia menggerakan kakinya tidak nyaman, "Ya ampun."
Alecas berlari melesat, menutupi milik Lucas yang menegang di balik handuk kecil itu.
To Be Continue...