Aku hanya ingin anakmu

1454 Kata
Semenjak ia memutuskan untuk memenuhi permintaan istrinya, Abizar tidak pernah lagi menunjukkan wajah ceria. Sikapnya yang dulu ramah dan selalu menyapa setiap karyawan, kini berubah dingin dan tidak peduli. Abizar banyak menghabiskan waktunya dalam ruangan. Semua karyawan tentunya merasa heran dan bingung dengan perubahan sikap sang bos. Bahkan sang sekretaris yang biasanya selalu mengetahui setiap detail masalah Abizar hanya menggeleng setiap kali orang-orang menanyakan perihal perubahannya. Tapi mereka hanya memilih diam dan tetap bekerja seperti biasa. Siang itu terlihat Jelita bersama 2 orang rekannya makan di kantin. “Eh kalian tau gak, Pak bos kayaknya lagi ada masalah deh?” komentar Vira, salah satu teman akrab Jelita di kantor. “Masalah apa maksudmu?” sahut Rika sambil memasukkan potongan gorengan di mulutnya. “Kau gak merasa beberapa hari ini, Pak Abi hot terkesan dingin gitu. Gak seperti biasanya,” ucap Vira lagi. “Iya juga sih, Pak Abi memang terlihat berbeda. Mukanya yang ganteng itu gak secerah matahari lagi, murung dan dingin. Apa dia kurang facial ya, duh bos idolaku kurang perawatan deh kayaknya. Hu…hu…” Celetuk Vira dengan muka di buat sesedih mungkin membuat Rika hanya melengos. Rika dengan kesal menuding kepala sahabatnya. “Ih kamu ini kerjanya cuma menghayal aja. Ngawur! Mana ada pak Abi hot gak perawatan. Maksud aku itu dia kayak lagi nyimpen masalah gitu, jadinya dia terlihat gak segar dan bersemangat seperti biasanya,” jelasnya. Vira pun hanya mengangguk sambil kembali memasukkan potongan gorengan ke mulutnya yang lebar. “Iya sih, memang kalau aku perhatikan dia kayak menyimpan kesedihan,” Vira mencoba menimpali. Sedangkan Jelita hanya fokus dengan makanannya. “Menurutmu bagaimana, Ta? Pak Abi berubah kan?” Jelita mengangkat kepalanya menatap Vira yang meminta pendapatnya. “Hmm, iya sih. Tapi kan itu urusan dia. Ya, mungkin memang sedang ada masalah kali,” sahut Jelita acuh tak acuh merespon kedua temannya. Ia memang merasa perubahan sikap Abizar, tapi sepanjang tidak mempengaruhi pekerjaannya di kantor, ia merasa biasa-biasa saja. lagi pula, setiap bos kan memiliki sisi privasi mereka sendiri yang karyawan sepertinya tidak berhak untuk tahu dan ikut campur. Jelita hanya ingin fokus bagaimana mengumpulkan uang untuk biaya pengobatan ayahnya. Ia tidak punya waktu untuk memikirkan masalah orang lain. “Loh, kok kamu responnya gitu aja. Apa gak kasian sama bos hot kita itu? kita jadi gak bisa lihat wajah tampannya yang cerah lagi. Wajahnya selalu saja kusut dan tidak bersemangat, aku malah khawatir jangan-jangan ada masalah yang serius menimpanya.” Ucapan Rika membuat Jelita terdiam sejenak, tapi kemudian dia kembali menjelaskan. “Kasian sih kasian, tapi kan kita tidak bisa berbuat apa-apa juga, Lain hal kalau bos bicara atau minta pendapat dan solusi kepada kita. Baru kita bisa ikut bantu. Selama dia diam aja, kita tidak boleh ikut campur,” papar Jelita. “Ya tapi kan tetep aja, aku kasian sama pak Abi hot..” rengek Rika. “Kalau pak bos minta pendapatku tentang bagaimana mengembalikan wajahnya agar cerah lagi, dengan senang hati pak Abi aku ajak ke salonku. Akan ku buat dia bahkan lebih tampan dari dewa.” Vira berseloroh dengan semangat. Rika lagi-lagi hanya memutar bola matanya melihat kelakuan sahabatnya itu. “Ya udalah, jangan terlalu dipikirkan. Selama bos tidak melampiaskan kekesalannya kepada kita para karyawan, aku rasa tidak ada masalah. Mending habisin tuh makananmu lalu kembali bekerja,” ucap Jelita menengahi. Mereka pun melanjutkan makan dalam pikiran masing-masing. Jelita melanjutkan makannya tanpa bersuara, ia jadi memikirkan apa yang Rika ucapkan. Ada sedikit kekhawatiran yang menyelimuti hatinya, tapi mengingat jika ia bukan siapa-siapa, perasaan itu ditepisnya jauh-jauh. Sementara itu di ruang kerjanya, Abizar terlihat fokus memeriksa bbarapa file yang ada di hadapannya. Ia tampak tidak bersemangat. Meskipun demikian, ia masih bekerja professional. Semua urusan kantor ia selesaikan dengan baik dan semuanya berjalan dengan lancar. Hanya saja, saat ini pikiran dan perasaannya sedang kacau karena memikirkan pernikahan keduanya nanti. Ia sama sekali tidak menginginkan hal itu terjadi, ia selalu berharap jika pikiran istrinya akan berubah. “Tok…tok…!” suara ketukan pintu terdengar sebelum seseorang memasuki ruangan. Abizar mengangkat kepalanya dan melihat Jovanka berdiri di hadapannya dengan senyum cantiknya yang mengembang. “Jova….?!” Abizar berdiri dari duduknya dan menghampiri istrinya. mencium bibirnya sekilas dan memeluk tubuhnya. “Kenapa kau datang kemari, sayang?” tanya Abizar sambil membawa istrinya duduk di sofa. “Apa harus ada alasan seorang istri mengunjungi suaminya di kantor?” Jovanka balik bertanya. Abizar hanya menggeleng. “Aku bertanya karena baru kali ini kau datang mengunjungi kantor setelah 4 tahun. Apa ada masalah? Atau apakah kedatanganmu ini ada hubungannya dengan rencanamu itu?” tanya Abizar menyindir halus. “Apa kau tertekan sayang? Aku minta maaf, ya. Aku tidak bermaksud membuatmu menderita tapi ini semata-mata hanya untuk mendapatkan keturunan. Aku datang kemari untuk mencari perempuan yang tepat untuk menjadi ibu yang mengandung anak kita nanti.” Hati Abizar terasa nyeri mendengar ucapan istrinya. Sungguh ia merasa sakit hati dan terluka melihat ekspresi bahagia yang tergambar di wajah Jovanka meskipun ia mengatakan akan ada perempuan lain yang mengandung anak darinya. Abizar menatap istrinya dengan wajah sedih. Apakah Jovanka tidak mencintainya lagi, bisa-bisanya dia berekspresi seperti itu. “Apa keputusanmu ini sudah bulat, Jova? Apa kau sedikitpun tidak merasakan sesuatu yang membuatmu marasa cemburu, kesal atau semacamnya menyebut perempuan lain akan aku nikahi nanti?” mendengar hal itu, senyum Jovanka sirna. “Perempuan mana yang tidak akan merasa cemburu dan sedih melihat suaminya menikah. Tidak terkecuali aku, Abizar. Tapi perasaan itu aku buang jauh-jauh demi mendapatkan seorang anak. Aku menekan kecemburuanku karena aku ingin memiliki anak kandung darimu. Jadi sayang, aku minta kau jangan berubah pikiran .” Jovanka mendekatkan tubuhnya ke arah Abizar dan mencium bibir suaminya. Mereka pun berciuman lama. Setelah puas, mereka melepas ciuman dan menatap satu sama lain. “Tidak akan nada yang berubah setelah kau menikah lagi, Abi. Kita akan terus seperti ini. Setelah menikah nanti kau hanya perlu menyentuhnya saja sampai ia mengandung anakmu. Dan jika kau tidak bisa melakukannya, maka bayangkan saja jika wanita itu adalah aku. Kalau perlu saat kau ingin melakukannya dengan prempuan itu, aku akan meninggaljan rumah supaya kalian bisa melakukannya tanpa keraguan. Aku berjanji, jika perempuan itu sudah mengandung, kau tidak perlu lagi berhubungan dengannya. Dan setelah bayi kita lahir, kau akan menceraikannya.” Jovanka kembali memaparkan semua rencananya kepada Abizar, meyakinkan suaminya itu jika semuanya akan berjalan dengan baik. Abizar hanya menghela nafas dalam. “Terserah kau saja,” ucapnya lirih. Abizar sama sekali tidak tertarik dengan apa yang istrinya itu bicarakan. Jovanka kembali tersenyum. “Bagus, sekarang aku tinggal mencari gadis itu.” *** Jelita sedang berjalan tergesa-gesa menuju ruangannya, tapi ditengah perjalanan ia melihat seorang karyawan yang membawa troli makanan berjalan terbungkuk-bungkuk sambil mendorong troli. Jelita jadi khawatir. Ia lalu menghampirinya. “Kau tidak apa-apa?” tanya Jelita. “Ah, syukurlah kau datang. Aku sejak tadi mencari-cari orang buat mita tolong,” ucap orang itu. “Memangnya kau kenapa?” tanya Jelita. “Perutku sakit sekali, mungkin mag aku kambuh. Bisa kau bawa makanan ini ke ruangan Pak Abi? Kebetulan istrinya datang dan beliau memesan makanan ini. Kau hanya perlu mengantarkan saja lalu pergi. Apa kau bisa?” pintanya penuh harap. “Oh, tidak masalah. Kau boleh pergi makan dulu lalu minum obat,” Jawab Jelita. “Wah kalau begitu terima kasih ya, Jelita.” Jelita hanya tersenyum lalu mengambil alih troli itu kemudian berjalan menuju ruangan Abizar. Dalam hati ia bertanya-tanya apakah bosnya itu sudah baik-baik saja? yah semoga saja, apalagi sang istri ada bersamanya semoga semuanya baik-baik saja. Jelita berharap dalam hati sambil terus berjalan menuju ruangan Abizar. Jelita menghela nafas dalam sebelum mengetuk pintu. Terdengar pintu diketuk dari luar, Abizar dan istrinya menoleh ke arah pintu. “Ah, itu pasti pesananku,” ucap Jovanka. “Masuk…!” seru Abizar. Pintu terbuka dan jelita masuk dengan membawa troli makanan. Jelita melangkahkan kakinya masuk dengan senyum canggung. “Selamat siang Pak, Ibu. Ini pesanannya,” sapa Jelita sambil membungkuk sopan. Kening Abizar berkerut. “Loh, kenapa kau yang datang membawa makanan ini?” tanya Abizar. “Tadi orang yang membawa makanan ini tiba-tiba sakit perut, Pak. Jadi dia meminta saya untuk menggantikannya,” jelas Jelita. “Ya sudah, bawa itu kemari,” perintah Abizar. Jelita pun dengan perlahan menghampiri meja dan meletakkan makanan dan minuman itu lalu menyajikannya. “Bagaimana kondisi ayahmu?” tanya Abizar tiba-tiba. Jelita mengangkat kepalanya dan menatap Abi. “Ayah saya masih menunggu jadwal kemoterapi, Pak. Kemungkinan minggu depan,” jelasnya. “Semoga Kemoterapinya lancar, ya,” sahut Abi. “Iya, terima kasih, Pak.” Setelah menyajikan makanan itu, Jelita pamit lalu meninggalkan ruangan itu. Abizar kemudian meminta istrinya memakan makanannya. Jovanka tersenyum kemudian menikmati makannya. Wanita itu tampak memikirkan sesuatu, dan Abizar tentu saja tidak menyadari hal itu. Abizar tidak tahu saja betapa terkesan istrinya itu kepada jelita.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN