"Haduh, Kriiiiss! Sumpah deh, aku pusing sama si Adrian itu!"
Tak perlu menunggu lama, saat masuk ke dalam mobil Danisa langsung menumpahkan isi hatinya. Kristo nyengir di sebelahnya.
"Kirain kamu naksir. Tadi wajahmu merah-merah gitu pas digodain."
"Duh, maaf ya! Merah kena matahari kali, bukan karena dia. Emang cuma dia yang bisa support SDM buat kita, ya?"
Kristo memutar audio mobil, bersenandung pelan mengikuti suara Michael Bubblè, Save The Last Dance for Me terdengar mengiba di telinga Danisa.
Kamu boleh saja menari, pergi dan bersenang-senanglah di sana. Sampai malam menghilang dan pagi menyapa. Itulah saatnya bagimu untuk pulang. Dan jika dia bertanya apakah kamu sedang sendirian, jawab saja tidak.
Karena memang benar kamu tidak sendirian.
Jangan lupakan siapa yang sedang bersamamu saat ini. Jangan lupakan siapa yang mengantarmu pulang. Dan jangan lupakan tangan siapa yang merengkuh dan memelukmu agar kamu tak jatuh.
Tolong kamu sisakan irama terakhir dan menarilah bersamaku.
"Kris! Ditanya malah nyanyi, gimana sih?" Danisa menepuk lengan Kristo yang sedang memegang tuas persneling.
Laki-laki itu menengok sebentar ke Danisa, alisnya terangkat, "hum?" lalu memalingkan wajahnya kembali memperhatikan jalan raya.
Karena tidak mendapatkan respon seperti yang diharapkannya, Danisa menjadi kesal. Perangkat audio menjadi sasaran kejengkelannya. Dia ubah-ubah frekuensi radio, hingga terdengar suara khas Didi Kempot membawakan irama patah hati.
"Ya ampun, Sa! Tega banget deh, suaraku tadi sudah mirip Michael Bubblè malah diganti!"
"Suaramu ngerusak lagu, Kris!"
"Daripada kamu, selera broken heart terus! Move on, Bu... Move on!"
Ejekan Kristo sebenarnya hal yang biasa didengar Danisa. Namun entah apa yang merasukinya, kali ini dia merasa tersinggung. Tanpa disadari, matanya berkaca-kaca dan air mata jatuh menetes begitu saja. Dia terdiam, mengusap pelupuk mata dengan jemarinya. Menghirup napas dalam-dalam, lalu menghela panjang.
"Eh, Sa, kamu kenapa? Kok tiba-tiba nangis?" Kristo menjadi khawatir. "Ada omonganku yang salah, ya? Sa? Danisa? Jawab dong!"
Sayangnya jalanan yang mereka lalui bukan jalan yang lurus dan datar, melainkan berkelok-kelok dan bergelombang. Kristo ingin segera menepikan mobilnya, agar dia bisa fokus bicara dengan sahabatnya itu. Dia menyesal dengan apa yang tadi diucapkannya, tapi sudah terlanjur. Ucapan yang keluar sudah tidak bisa ditarik kembali. Sengatannya telah melukai hati Danisa. Tanpa dia tahu pasti, bagian mana yang membuat sahabatnya itu tersinggung hebat.
Suasana di dalam mobil menjadi sangat tidak nyaman bagi keduanya. Danisa diam, wajahnya berpaling ke kiri, namun tidak memperhatikan apa yang mereka lewati sepanjang perjalanan. Pikirannya melayang-layang. Beribu 'kalau saja' menjadi permainan yang mengasyikkan, pengisi waktu perjalanan. Di satu sisi hatinya, ia pun bertanya-tanya, mengapa hatinya mendadak terluka dengan ucapan Kristo tadi. Toh tidak ada salahnya dengan kata-kata itu. Sudah sewajarnya dia move on. Bukan untuk melupakan mendiang suaminya, tapi untuk menatap masa depan, membuka pintu hati, dan melupakan kesedihan. Membiarkan kenangan tetap menjadi kenangan, bukan menjadi sandaran untuk bertahan hidup, seperti yang dilakukannya sekarang ini.
Apa semua itu pantas? Ryan baru dua tahun pergi. Di mana letak kesetiaanku?
Kesetiaan? Aku hidup, muda, dan masih cantik. Sudah selayaknya aku move on dan bahagia.
Hey, dude! Move on tidak berarti harus mencari pendamping baru! Bahagiamu tidak ditentukan oleh statusmu! Menikah, single, widow, divorced, semua bisa bahagia, dan semua bisa larut dalam luka. It just a choice, all you have to do is choose. Happiness is just a decision away.
Kristo menepikan mobil di halaman parkir Pepito Minimarket. Daripada cuma diam, lidah kelu, tidak tahu harus bicara apa yang bisa mencairkan suasana, lebih baik membeli sesuatu di sana, pikir Kristo.
"Kok berhenti, Kris? Kenapa?" tanya Danisa dengan suara serak dan tercekat.
Kristo mengedipkan matanya, "Something I should buy. Tunggu di sini atau ikut ke dalam?" tanyanya balik.
"Di sini aja. Nggak lama, kan?"
"Nggak."
Danisa membuka jendela, membiarkan udara luar masuk ke rongga hidungnya. Tidak terlalu bersih atau segar, sudah bercampur dengan asap knalpot kendaraan bermotor yang ramai lalu lalang di jalan raya Canggu yang cukup sibuk. Namun demikian, pergantian udara di dalam mobil dengan yang ada di luar dapat menurunkan emosi di hatinya. Mungkin memang harus demikian cara kerja otak manusia, dapat dimanipulatif asalkan mau melakukan hal-hal yang berbeda. Oksigen di dalam mobil telah menipis tadi, terdesak oleh ion-ion negatif yang membuat pikirannya kalut dan hati menjadi sempit jadi mudah tersinggung.
Kristo datang membawa sebuah plastik tas belanja daur ulang ukuran kecil. Dia mengulurkannya pada Danisa.
"Apa ini?" Perempuan yang sedang menetralisir hati itu bertanya dengan heran. Dia tidak menginginkan atau membutuhkan sesuatu yang harus dibeli segera di supermarket.
Kristo urung memundurkan mobil, menarik kembali kakinya yang telah berada di atas pedal gas. Dia mencondongkan tubuhnya menghadap Danisa, tangannya terjulur membelai pucuk kepala perempuan itu. "Pernyataan minta maaf, telah membuatmu sedih. Aku nggak bisa menarik kembali ucapan yang sudah membuatmu terluka. Juga tidak mampu mengobati luka itu. Tapi orang bilang, cuma coklat dan es krim yang sanggup mengobati luka hati wanita. So, try them."
Mulut perempuan itu menganga, matanya membelalak tak percaya, dipukulnya d**a sahabatnya yang masih menunggu jawaban atas permintaan maaf yang baru saja dilakukannya. "Gombal kamu, Kris! Sandra kenyang digombalin kamu terus kali ya?"
"Nope! Dia nggak mempan digombalin, justru aku yang jadi b***k cintanya dia. So, forgive me?'
Danisa memeriksa isi tas belanjaan Kristo, tiga buah Haagen Dazs pint cup dan dua bars Hershey, Cookies n Creame dan Milk Chocolate. "Ini banyak banget, Kris? Kamu ngerusak dietku!"
"Nggak apa-apa, yang penting hati kamu udah melting, kan?" Kristo mengulurkan tangannya keluar jendela, memberi tip untuk petugas parkir. "Cepet dimakan, nanti es krimnya ikutan melting," lanjutnya nyengir.
"Ini lagi aku buka. Trims ya, Kris. Sering-sering aja kamu nraktir begini." Danisa memilih rasa Macadamia Nuts untuk disantap pertama. "Ugh, yum yum!"
Kristo merasa lega, mudahnya membuat hati perempuan di sampingnya itu lumer. Cukup disogok pakai es krim yang lagi promo beli dua gratis satu.
Keren kamu, Kris. Selalu bisa berpikir cepat mencari solusi, pujinya pada diri sendiri.
Suasana yang telah mencair membuat pikiran jernih dan hati menjadi seluas semesta. Keduanya kembali terlibat obrolan ringan, bersenandung, menikmati kepadatan lalu lintas sore di sepanjang jalan raya Sunset Road hingga masuk di kawasan Central Parkir Kuta yang lengang, menyusuri jalan Blambangan, dan kembali merayap di jalan Kartika Plaza.
"Kita seharian cuma jalan-jalan, makan-makan, begitu sampai kantor sudah jam enam sore, waktunya pulang. Aku cepet gendut kalau kerja model gini terus," cerocos Danisa. Moodnya sudah berbalik seratus delapan puluh derajat.
"Kamu mau pulang? Ngapain di kos? Mending nemenin aku ngelembur di kantor." Kristo membunyikan klakson agar Iman membuka pagar.
"Lagi nggak mood gambar. Lagi pula aku kan tunggu daftar revisi dari kamu dulu, baru bisa nerusin kerjaanku. Lupa?"
"Hmm, baru diajak jalan sehari aja sudah malas kerja. Ya sudah, pulang deh, mandi trus tidur, supaya besok pagi sudah fresh lagi."
"Jiaahh, ngambek! City tour yuk, Kris! Jalan-jalan malam..." rayu Danisa.
Kristo mengerutkan dahinya, "mau kemana?"
"Kemana aja boleh."
"Tapi aku mau buat laporan hari ini dulu ke Big Boss. Kamu mandi dulu aja. Pulang sendiri atau minta antar Iman. Nanti jam delapanan aku jemput, oke?"
"Humm, oke deh. Aku beres-beres meja dulu. Tadi masih berantakan waktu aku tinggal."
"Alright!"
Dasar perempuan! rutuk Kris dalam hati.
*****