Sudah tiga hari berselang sejak makan malam di restoran milik Erik, dan sudah dua hari Kristo kembali ke Jakarta. Danisa sendirian mengatur jadwal kerjanya, sambil menanti kedatangan calon Project Manager yang seharusnya tiba hari ini. Kristo atau staf kantor pusat belum memberinya kabar perihal calon pimpinan proyek The Premier itu.
Pagi itu berjalan seperti biasa. Danisa tiba di kantor pukul delapan tepat, satu jam lebih awal dari jadwal yang telah disepakatinya dengan Kristo. Perempuan itu terbiasa sibuk beraktivitas sejak sebelum subuh. Dia tidak pernah melewatkan paginya terlalu lama meringkuk di atas kasur, walau tidur larut di malam sebelumnya. Melakukan gerakan-gerakan yoga dasar, sarapan dengan semangkuk sereal dan s**u, atau roti dan jus kemasan yang dibelinya di supermarket. Setelah mandi dan merias diri, dia langsung berangkat ke kantor yang hanya berjarak lima menit dengan jalan kaki santai.
Pintu ruangan sengaja dibiarkan terbuka, agar tidak terganggu ketukan Iman. Toh hanya mereka berdua saja penghuni kantor itu. Dinyalakan laptopnya, membuka folder email, dan meneliti satu per satu surat elektronik yang masuk. Headset terpasang menutupi telinga.
Hatiku kini berada di antara puing-puing berkarat. Namun kupaksakan diri untuk terus melangkah, berlari hingga terjatuh. Aku membutuhkan lapisan cat baru untuk mengubah tampilan tubuhku. Untuk aku bisa bertahan dan melalui setiap hambatan yang menghadang. Agar aku dapat melihat diriku yang sebenarnya. Memikirkan langkah berikutnya dan melampaui pikiran-pikiran itu sendiri. Aku bukan orang suci, dengan mukjizat dan keajaiban. Aku pun tak akan mampu meniadakan luka dan rasa sakit. Namun aku sanggup melalui semua itu. Lagi dan lagi.
Danisa bersenandung pelan mengikuti lirik syahdu dari suara hangat Chris Martin. Matanya terpaku pada layar monitor 15 inch, jemari kiri di atas tuts keyboard, jemari kanan di atas mouse, bergerak samar, mengetuk perlahan saat kursor mencapai tujuan yang diinginkan.
Mudah saja bagiku untuk memusnahkan semuanya. Namun tidak akan kulakukan. Di sini, aku belajar memahami. Mencoba mengerti intisari buku panduan kehidupan. Manusia mungkin berdiam di bumi yang sama, di bawah naungan langit yang sama, juga bermimpi menggapai bintang atau bulan yang sama. Meski begitu, kini aku tahu, masing-masing kita akan punya cara yang berbeda dalam melakukannya. Juga alasan dan pemahaman yang berbeda. Dan perbedaan itu bukan masalah. Kita semua akan baik-baik saja. Setelah tangis, akan ada pekik tawa dan sorak bahagia, Lagi dan Lagi.
Jujur aku ungkap kenyataan bahwa aku terhipnotis. Benar, aku terhipnotis oleh tatapanmu yang memesonaku. Sorot matamu bagai aliran sungai, menghanyutkan dan membawaku ke hilir. Ketika aku berusaha mengembalikan sadarku, lagi dan lagi, kau melesakkan aku dalam pesonamu.
Bait terakhir tadi mendapat suara tambahan dari luar speaker headset, Danisa segera menengadahkan kepalanya. Seorang laki-laki berdiri di ambang pintu ruangan, menenteng tas laptop hitam, berkacamata, tersenyum ke arahnya, masih terus melantunkan sisa lirik Hypnotised.
“Erik?” Danisa beranjak dari kursinya, matanya terbelalak, bingung dengan kedatangan laki-laki itu tanpa memberitahunya terlebih dahulu.
Laki-laki itu berjalan mendekati Danisa yang tampak kebingungan. Telunjuknya melintang di bibirnya, menyelesaikan lirik hingga akhir.
Lagi dan lagi, aku masuk dalam perangkap pesonamu. Aku berada di puncak keindahan setelah menembus ruang kegelapan. Aku terhipnotis, pada sinar matahari yang terpancar melalui sorot matamu.
“Untuk siapa saja yang mendengarkan lagu ini, apapun yang telah melukai hatinya, atau bila kalian sedang berjuang demi hal-hal yang jauh lebih baik di depan sana. Jangan pernah merasa sendiri.” Wajah Erik begitu dekat, matanya lurus menatap mata Danisa, membuat perempuan itu tercekat dan menahan napas. “Keluarlah, jangan tutup pintu hati kalian. Banyak orang di luar sana yang menyayangi kalian. Aku selalu berharap dan berdoa untuk kebahagiaan kalian. It was dark, but now it’s sunrise,” lanjutnya.
Kedua pasang mata bersirobok, menatap ke kedalaman masing-masing. Satu, dua, tiga, lima, sepuluh detik. Sampai keduanya tidak lagi melanjutkan hitungan. Ada daya magnet yang membuat mereka tidak beranjak melepaskan pandangan satu dengan lainnya. Terpaku, diam, bergeming di tempat masing-masing.
“Selamat pagi, Bu Danisa,” sapa Erik memecahkan kebekuan yang cukup lama hadir.
“Eh, pagi. Kamu ada perlu apa datang ke sini? Kristo lagi di Jakarta, lho.” Danisa mengalihkan pandangannya, menutupi kecanggungan atas detik-detik yang menurutnya tidak wajar terjadi. Ia merasa malu pada dirinya sendiri. Begitu mudah larut dan masuk ke dalam tatapan mata Erik. Terhipnotis. Seperti lagu yang didengarnya tadi.
Erik mengulurkan tangan kanannya, dan karena Danisa tampak bingung dengan sikapnya, maka dengan cepat lelaki itu mengambil tangan kanan Danisa yang masih terperangah dengan mata kecilnya dipaksa membulat lebar.
Keduanya berjabat erat. “Kenalkan, your new Project Manager. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik di masa depan, Bu Danisa,” ucapnya tegas dengan senyum menyeringai lebar.
“Hah? Sejak kapan kamu gabung lagi dengan PMK? Kok kemarin nggak cerita? Kok Kristo nggak ngomong apa-apa?”
“Cos I’m the surprised menu.” Laki-laki itu mengerling, lalu berjalan ke meja di sebelah Danisa. “Ini mejaku, kan?” tanyanya.
“Hm, bukan. Itu punya Kristo. Meja PM yang di seberangnya.”
Erik berjalan ke meja yang ditunjukkan. Meletakkan tas di atasnya, lalu duduk di balik meja yang posisinya merupakan sudut diagonal meja Danisa. “Oh, I'm blessed. I'm so blessed!” pekiknya senang.
“Kenapa, Rik?”
“Posisi meja di sini menguntungkan aku banget, Sa.”
Danisa mengernyitkan dahinya, “Aku nggak ngerti.”
“Aku bisa dengan mudah mandangin kamu dari arah sini.”
Dug! Jantung Danisa berhenti berdetak sepersekian nano detik. Ada sesuatu yang menghantamnya. Pecah tepat di jantungnya, mengeluarkan cairan hangat yang mengalir ke seluruh tubuhnya.
"Ehm,” Danisa berdehem. “Ada yang bisa saya bantu, Pak PM?”
Erik tertawa.
Keberuntungan bagi Danisa yang dilanda kecanggungan dengan masuknya Iman. “Silakan, Pak Erik.” Iman menyuguhkan kopi panas dan air putih dalam gelas besar yang dibawanya untuk bos baru.
“Makasih, Man.”
“Lho, kalian sudah kenal sebelumnya?” tanya Danisa.
“Sudah, Bu. Tadi di pos satpam, sebelum Pak Erik masuk.”
“Oh.” Danisa mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia lalu kembali menghadap laptopnya, menekuni kembali pekerjaannya yang sempat terhenti dengan kedatangan Erik.
Erik menghirup aroma kopi panas dan menyesapnya, lalu menghela napas panjang dan beranjak dari kursinya. Berjalan ke meja Kristo, menarik kursi di sana, berhenti di depan meja Danisa dan duduk di hadapan perempuan itu.
“Dalam struktur, PM juga atasanku. Panggil saja kalau butuh sesuatu, Rik.”
“Ah, kenapa harus kaku dengan aturan birokrasi? Kita kan, rekan kerja yang harus saling membantu. Yang penting pekerjaan lancar, tercapai semua target. Bos senang, klien senang, dapat bayaran, kita dapat bonus liburan.”
“Semoga semuanya berjalan semudah ucapanmu, ya?”
“Benar, kan? Eh, kamu sudah sarapan?”
“Sudah. Kenapa?”
Erik menarik napasnya panjang lalu menahan sebentar sebelum mengembuskannya kembali. Kedua tangannya terjalin, menjadi penyangga di belakang kepala. Satu kakinya menopang di atas kaki yang lain, d**a dan perut dibusungkan ke depan. “Besok-besok, sarapan bareng, ya. Aku nggak nafsu makan kalau nggak ada temannya.”
Perempuan di depannya tergelak. “Badanmu lebih padat berisi dibanding Kristo yang kurus kering. Jadi nggak mungkin kalau kamu nggak punya nafsu makan.”
Laki-laki itu menyeringai, “Kan aku tadi bilang, nggak nafsu makan kalau tidak ada temannya.”
“Nah berarti, tinggal kamu ajak temanmu itu supaya nemenin kamu makan tiap hari,” cetus Danisa cepat.
“Beda rasanya kalau yang jadi teman makan adalah Head Architect-nya The premier!”
“Halah, halah! Pagi-pagi kok, menebar gombal. Nggak laku buatku, Rik!” keduanya tertawa.
“Oke, kalau nggak mau digombalin, berarti deal, ya. Kita makan bareng terus, dari mulai sarapan, makan siang, makan malam juga.”
“Makanku banyak, lho!”
“Nggak masalah, aku senang sama perempuan yang nggak jaim kalau diajak makan.” Erik tidak mau menerima penolakan Danisa.
Danisa akhirnya menyerah, ia tersenyum. “Kamu tadi belum jawab pertanyaanku, kapan tepatnya kamu balik, gabung lagi di PMK?”
Laki-laki itu menyeringai, kemudian dia berdiri dan mendekati meja Danisa. Satu tangannya mengulur, mengisyaratkan agar perempuan itu menyambut dan menggenggamnya. Namun Danisa bergeming di tempatnya. Dengan cepat dia meraih tangan Danisa, sedikit menariknya, agar perempuan itu berdiri mengikutinya. “Ayo, aku ceritakan kronologisnya sambil sarapan.”
“Tapi aku su—”
“Shh, temani saja, nggak perlu makan kalau kamu nggak mau.”
*****