Agung mengusap keringat yang terus membanjir di dahinya. Ia merasa sangat gugup setelah sholat Zuhur dan makan siang, seluruh keluarga Rumaisha--Hanafi dan istri beserta Ardiyanti dan suami--berkumpul di ruang tamu rumah Hanafi. Padahal sebelumnya ia merasa sangat santai. Sama sekali tidak ada apapun yang membebani hatinya.
Misinya datang ke desa ini memang untuk melamar Rumaisha. Akan tetapi, sebelumnya dia tidak mempermasalahkan apakah lamarannya itu akan diterima atau tidak. Diterima syukur, tidak diterima pun syukur. Sebab, ia memang tidak menginginkan pernikahan ini.
Namun, itu tadi. Sekarang semua jadi berbeda setelah ia tersetrum jemari Rumaisha. Laki-laki itu mendengkus kesal. Hanya jemari, mengapa bisa mempengaruhi perasaannya hingga sedahsyat ini?
Agung melirik Rumaisha yang duduk menunduk di pojok ruang tamu. Wajah halus, bersih, dan natural itu bagai bersinar di matanya. Tiba-tiba ia merasa tidak rela jika wajah itu lepas dari genggamannya. Ia takut jika keluarga besar Rumaisha menolak rencananya.
"Ehem!" Hanafi berdeham ketika laki-laki di depannya tiba-tiba tampak canggung. Padahal sebelumnya, saat makan siang semua terasa hangat.
Mereka makan dengan lahap walaupun dengan menu seadanya. Sayur bening, ikan asin, sambal terasi dan telur dadar. Menu itu bagi masyarakat di sana sudahlah mewah.
Di sela waktu makan, mereka bercengkrama seolah sudah lama akrab. Bahkan sesekali saling melempar kelakar. Namun, sekarang Agung tampak kikuk.
"Berapa kali jatuh tadi?" tanya Hanafi berbasa basi. Sedikit disertai tawa untuk mencairkan suasana.
Agung terkekeh malu, "Tidak terhitung, Bang," sahutnya. Setelah itu dia menunduk lagi, jantungnya berdegup tidak karuan lagi.
"Iya, wajar karena kamu baru pertama kali ke sini. Belum mengenal Medan. Belum paham bagaimana triknya. Nanti kalau sudah beberapa kali ke sini, akan terbiasa."
"Iya, Bang."
"Jadi lain kali mau ke sini lagi?" kejar Hanafi.
"Eh?" Agung terperangah. Ia terjebak oleh statement sendiri, "Insya Allah. Mau, Bang. Kalau ada yang menemani," jawabnya salah tingkah. Gugup, matanya melirik Rumaisha.
Hanafi menangkap semua gelagatnya itu. Ia tertawa lepas.
“Jadi, sekarang apa sebenarnya yang ingin disampaikan?” Hanafi mulai mengarahkan pembicaraan pada topik utama
"Sepertinya ada sesuatu hal yang penting, semoga ini berita bahagia," lanjutnya. Kedua alisnya digerakkan, sengaja menggoda demi mencairkan wajah yang tampak begitu gugup itu.
Agung menunduk sambil menarik napas dalam. Tangannya kembali menyeka keringat yang lagi-lagi banjir di dahinya. Ia berusaha menetralkan jantungnya yang seketika berdegup kencang, membesarkan nyalinya yang tiba-tiba menciut. Setelah mengumpulkan keberanian yang tersisa, perlahan dia mengangkat wajah.
“Tujuan saya ke sini, hendak melamar Rumaisha,” ucapnya terbata, "Saya ingin meminta ijin kepada Abang dan Kakak, untuk mempersunting Rumaisha menjadi istri saya."
Agung mengembuskan napas. Ia sedikit lega karena sudah menyampaikan maksudnya. Sekarang tinggal pasrah, apakah lamarannya diterima atau tidak. Laki-laki itu melirik Rumaisha sekali lagi, mencoba mencari penguatan di sana. Berharap gadis itu kelak mau bicara untuk mendukungnya.
“Oh. Sudah lama kenal Rumaisha?” selidik Hanafi. Dia harus banyak bicara untuk mencari tahu, sebab dalam hal ini perannya sangat penting. Setelah orang tuanya meninggal, tanggung jawab Rumaisha sepenuhnya terletak di tangannya.
"Mmm ... Belum, Bang. Baru beberapa hari. Orang tua saya yang sudah mengenal Rumaisha cukup lama. Kurang lebih sudah dua tahun," jawab Agung jujur. Ia semakin gugup. Perasaannya menjadi ketar ketir. Apakah lamanya mengenal juga akan menjadi bahan pertimbangan? Gawat!
"Baru kenal beberapa hari sudah berani melamar?" Hanafi menautkan kedua alisnya, "Apa tidak terlalu terburu-buru?" tanyanya.
"Mmm ... saya percaya pada penilaian orang tua saya, bahwa Rumaisha dapat menjadi istri yang shalihah dan ibu yang baik untuk anak saya."
“Semudah itu percaya? Apa kamu tidak merasa perlu untuk mengenal Rumaisha lebih lama?”
Agung kembali menarik napas dalam, menimbang apakah akan menceritakan keadaan sebenarnya pada keluarga besar Rumaisha atau tidak.
Lagi-lagi ia mengusap keringat yang terus membanjir di dahinya. Jika diceritakan, besar kemungkinan lamaran ini akan gagal. Namun, jika tidak diceritakan, dia tidak ingin keluarga besar ini mengetahui semuanya dari orang lain. Dia takut justru akan menimbulkan masalah di kemudian hari.
“Rumaisha adik bungsu kami, amanat kedua orang tua kami. Tanggung jawab kami sangat besar padanya. Jadi kami tidak bisa asal melepasnya begitu saja." Kalimat terakhir Hanafi membuat hatinya semakin ketar ketir.
Ia kembali melirik Rumaisha. Wajah yang menunduk itu tampak begitu menyejukkan. Hatinya sedikit tenang.
"Sebenarnya saya sudah pernah menikah, Bang," ucapnya sedikit terbata, "Istri saya baru melahirkan beberapa Minggu lalu." Agung mengusap wajah, merasa berat untuk menceritakan hal sebenarnya.
Sementara dahi Hanafi seketika mengernyit, air mukanya berubah keruh.
"Apa maksud kamu? Kamu ingin menikahi adik saya, poligami karena istrimu sedang tidak bisa melayani kamu, begitu?" tudingnya murka. Intonasi suaranya meningkat beberapa oktaf, membuat nyali Agung kian menciut.
"Eh, mana bisa begitu!"
"Kurang ajar!"
Kaum perempuan, istri Hanafi dan Ardiyanti spontan menyeletuk, bicara dengan emosi. Mereka masih melanjutkan kalimat-kalimat cercaan, mencicit panjang lebar, membuat suasana menjadi seperti dengungan lebah.
"Bu ... bukan begitu, Bang," sahut Agung semakin gugup, "Anak saya itu terlahir tidak sempurna. Dia spesial, berkebutuhan khusus. Istri saya menolak kehadirannya dan pergi. Jadi saya butuh seseorang untuk menemani saya membersamai putri saya."
“Jadi kamu menikahi adik saya hanya untuk merawat anak kamu? Kamu tidak mencintainya?" cecar Hanafi lagi. Ia sangat kecewa. Sebelumnya ia sangat menyukai Agung dan menangkapnya sebagai laki-laki yang baik. Namun, sekarang pandangannya berubah.
Agung melirik Rumaisha sekali lagi. Kali ini ia menatap wajah itu cukup lama. Sebelumnya ia yakin bahwa tujuannya menikahi Rumaisha hanya untuk merawat Naira. Namun, sekarang hatinya ragu.
Degupan-degupan aneh jantungnya, perasaan senang saat Rumaisha duduk di dekatnya, apakah boleh dikatakan bahwa ia juga menginginkan Rumaisha untuk dirinya sendiri? Bukan sekadar untuk putrinya? Namun, bagaimana bisa secepat itu?
"Iya." Agung mengangguk dan menjawab lemah. Biarlah ia menempuh kemungkinan terburuk.
"Hah!" Hanafi menghela napas kecewa, "Kamu anggap apa adik saya?" Napasnya memburu karena menahan kesal.
“Dan kamu mau, Rum?” Kali ini Hanafi mengalihkan pertanyaan pada Rumaisha. Pun dengan penuh rasa kecewa. Bagaimana mungkin adik yang dia banggakan sebagai gadis yang cerdas, bisa mengambil keputusan yang merendahkan dirinya seperti itu? Apa dia sudah dibutakan oleh cinta? Oleh fisik yang sempurna?
"Iya." Rumaisha mengangguk.
“Kamu yakin? Apa yang kamu cari? Ini pernikahan, Rumaisha. Seumur hidup! Bukan permainan!” cecar Hanafi kesal.
“Saya tahu, Bang. Tapi, saya sudah istikharah, sudah meminta petunjuk Allah Subhana wa taala. Saya yakin, apa yang Allah pilihkan, itu adalah yang terbaik," terang Rumaisha lembut, begitu menyejukkan.
Emosi Hanafi berangsur menurun. Wajah yang merah padam perlahan tenang kembali. Laki-laki itu menghela napas panjang.
Demikian pula omelan yang mendengung dari istri dan kakaknya, mulai reda.
“Ya, sudah jika begitu. Saya tidak bisa menghalangi atau mencegah. Kalian sudah dewasa." Hanafi berucap pasrah.
"Hanya pesan saya, Agung, meskipun pernikahan ini demi anak kamu, tolong jaga adik saya. Jangan pernah sakiti dia. Saya percaya kamu orang baik."
"Jadi, lamaran saya diterima, Bang?" sahut Agung cepat.
"Yah, mau bagaimana lagi?"
Hati Agung berlonjak girang. Tanpa sadar senyum tercipta lebar dari bibirnya. Jiwanya buncah bahagia. Ia menoleh pada Rumaisha. Ingin rasanya dia berlari pada gadis itu dan memeluknya. Jika dia tidak ingat untuk menahan diri.
"Terima kasih," sahutnya bahagia.
“Bang," ucapnya lagi. Namun, rautnya tampak ragu untuk melanjutkan.
"Apa lagi?"
"Mmm ... saya ingin pernikahan segera dilangsungkan," sahutnya terbata.
"Kapan?"
“Saya mohon Abang berkenan membicarakan dengan Bapak dan Ibu di Ngabang. Sebab Bapak saya berhalang hadir ke sini. Kondisi kesehatan beliau sedang tidak baik. Dan ibu saya harus menjaga beliau, adik, dan putri saya."
“Baik, satu atau dua hari saya akan ke sana."
"Terima kasih, Bang." Lagi-lagi, Agung berseru girang.
"Katanya kamu tidak mencintai adik saya, kenapa girang sekali?" Hanafi menatap Agung dengan sorot jahil. Sebagai laki-laki, dia paham gelagat yang diperlihatkan Agung.
"Mmm ...." Agung cengengesan. Ia jadi salah tingkah, menggaruk kepalanya yang tiba-tiba terasa gatal.
"Kalau cinta bilang saja. Tidak usah malu. Saya tahu adik saya itu manis. Semakin dipandang semakin menggemaskan," goda Hanafi lagi. Agung semakin salah tingkah.
"Hari ini kalian menginap?" lanjutnya setelah puas melihat wajah malu-malu dari Agung dan Rumaisha.
“Mmm, sepertinya langsung pulang, Bang. Saya harus bekerja besok. Tidak dapat ijin dari kantor," balas Agung. Walaupun sebenarnya ia sangat ingin menginap. Badannya terasa remuk karena perjalanan tadi.
"Tidak tahu mungkin Rumaisha mau menginap,” lanjutnya sambil menatap Rumaisha sendu. Hatinya berharap gadis itu tidak menginap, melainkan ikut pulang bersamanya.
Rumaisha menggeleng, “Saya besok harus ke sekolah. Ada banyak yang harus saya selesaikan. Karena setelah menikah saya akan resign," ucapnya tak pelak membuat hati Agung berbunga-bunga.
Hanafi mengangguk paham, memaklumi keputusan adik bungsunya itu walaupun sebenarnya ia pribadi ingin Rumaisha menginap. Ia dan keluarga yang lain masih sangat rindu. Sudah lama Rumaisha tidak pulang.
Rumaisha, meskipun bungsu, dia mandiri sejak kecil. Dia bukan tipe anak manja. Setiap keputusan yang dia ambil selalu melalui pertimbangan yang matang. Karena itu, Hanafi percaya bahwa pilihan Rumaisha untuk menikah telah ia pikirkan masak-masak.
"Kami pamit, Bang, Kak."
Setelah pembicaraan selesai, Agung dan Rumaisha segera pamit untuk kembali pulang. Beruntung hari itu cuaca cerah, sehingga cukup untuk mengeringkan tanah yang basah. Menurut Hanafi, perjalanan pulang akan lebih ringan karena turunan lebih banyak dari tanjakan.
"Hati-hati." Seluruh keluarga melepas keduanya.
Agung menstarter sepeda motornya. Setelah itu, Rumaisha naik di jok belakang.
"Pegangan." Agung memberanikan diri meraih tangan Rumaisha, dan melingkarkan di pinggangnya.