Bagian 4. Berbicara dengan Rumaisha

1276 Kata
Tidak ada pilihan lain, Agung akhirnya pasrah dengan rencana kedua orangtuanya. Dia harus menikahi Rumaisha demi Naira. Semata-mata hanya karena Naira. Malam ini, Fauzan dan Nurmala mengajaknya bicara pada gadis itu. Agung menatap sekilas pada Rumaisha yang duduk sambil menunduk di salah satu sudut sofa ruang tamu kedua orang tuanya itu. Hanya sekilas, setelah itu ia mengalihkan pandangan kembali. Tidak ada yang menarik baginya dari gadis yang mengenakan gamis berwarna marun polos dan hijab senada itu. Semua tampak terlalu sederhana. Sangat berbeda dengan Maharani, yang pada pandangan pertama saja, semua kaum Adam pasti akan berdecak kagum. "Nak Rumaisha, kenalkan ini Agung, anak Bapak, ayahnya Naira." Fauzan membuka pembicaraan. "Agung, ini Rumaisha," lanjutnya beralih pada Agung. Rumaisha mengangkat kepala, menatap sebentar laki-laki yang dikenalkan Fauzan sebagai putranya itu. Sosok yang sejatinya sudah sangat ia tahu, walaupun belum pernah bertegur sapa. Tentu saja Rumaisha tahu. Pertama kali ia menginjakkan kaki dan memutuskan kos di rumah ini, ia sudah mengenal sosok Agung untuk hatinya sendiri. Hatinya bergetar saat pertama kali melihat laki-laki itu. Jantungnya berdegup tidak karuan. Rasa yang kemudian ia terjemahkan mungkin sebagai cinta, sebab setiap benaknya mengingat nama Agung, pipinya seketika terasa hangat. Ia malu dan tersipu sendiri. Senyum-senyum sendiri. Meskipun akhirnya semua rasa itu harus ia simpan dalam-dalam. Tidak mungkin ia ungkapkan terlebih saat itu Agung sudah memiliki Maharani dan tidak pernah sekalipun menoleh padanya. Seperti saat ini, tidak sedikit pun laki-laki itu menatapnya ketika Fauzan mengenalkan mereka. "Nak Rumaisha, Bapak mohon maaf jika apa yang akan Bapak sampaikan selanjutnya ini mungkin akan menyinggung perasaan Nak Rumaisha. Tetapi, begitulah adanya. Kami sekeluarga sudah membicarakan ini sebelumnya. Walaupun harus merendahkan diri, Bapak mewakili keluarga ingin meminta bantuan kepada Nak Rumaisha." Fauzan menjeda kalimatnya beberapa jenak. Sementara Rumaisha menyimak dengan alis bertaut. Gadis itu heran, mengapa tiba-tiba Fauzan berbicara demikian formal. "Apakah Nak Rumaisha mau membantu kami?" lanjut Fauzan. Ia menatap gadis itu penuh harap. "Apa yang bisa saya bantu. Jika saya mampu, Insya Allah akan saya lakukan," sahut Rumaisha santun. "Bapak mohon Nak Rumaisha ..., menikahlah dengan Agung," ujar Fauzan penuh harap. "Apa?" Rumaisha terpekik kaget. Meskipun dulu ia pernah bermimpi untuk dilamar oleh seorang Agung Wibowo, tetapi lamaran yang disampaikan Fauzan kali ini tak pelak membuatnya terkejut. Pasalnya, ia tahu Agung telah menikah. Ia memang tahu masalah yang menerpa rumah tangga laki-laki itu. Akan tetapi, tidak secepat ini pula untuk memutuskan menikah lagi. "Iya, Nak Rumaisha. Menikahlah dengan Agung," ulang Fauzan. "Tapi ...." Rumaisha melirik laki-laki yang menjadi objek pembicaraan Fauzan itu. Tak sedikit pun perhatiannya tercurah pada Rumaisha. Alih-alih, justru ia sedang memalingkan mukanya. Seolah enggan menatap pada Rumaisha. Hati gadis itu menjadi kerdil. "Apa Mas Agung sendiri mau menikah dengan saya?" lanjutnya. Sejenak kemudian ia mengutuk dirinya sendiri atas pertanyaan yang terlontar begitu saja itu. Tidak semestinya ia balik bertanya, yang menunjukkan seolah dia memang sangat mengharapkan pernikahan ini terjadi. Walaupun jujur, memang begitu adanya. "Tentu saja mau. Agung sangat membutuhkan pernikahan ini." "Membutuhkan pernikahan ini?" Rumaisha bertanya tidak mengerti. "Iya, Nak Rumaisha." Kali ini Nurmala yang angkat bicara. "Agung membutuhkan pernikahan ini demi Naira," lanjut wanita paruh baya itu. "Demi Naira?" gumam Rumaisha pelan. Ada yang teriris dari relung hatinya mengetahui alasan dibalik lamaran itu. Seharusnya dari sikap yang ditunjukkan Agung, ia sudah paham bahwa tidak mungkin laki-laki itu menginginkan pernikahan dengannya, jika bukan karena terpaksa. "Nak Rumaisha sudah tahu kondisi Naira. Dia terlahir tidak sempurna dan butuh seorang ibu untuk merawat dan menyayanginya, mendampingi tumbuh kembangnya. Sementara ibu kandungnya sendiri meninggalkannya. Karena itu kami berharap Nak Rumaisha mau menikah dengan Agung dan menjadi ibu sambung untuk Naira," mohon Nurmala. "Tetapi, mengapa saya?" sahut Rumaisha tersendat. Bagaimanapun, ia kecewa atas alasan di balik lamaran itu. "Karena Ibu melihat ada ketulusan di hati Nak Rumaisha saat bersama Naira. Dan lagi, dua tahun kami mengenal Nak Rumaisha selama kos di sini, kami sangat menginginkan Nak Rumaisha menjadi menantu kami," jawab Nurmala lembut. Tangannya meraih jemari halus gadis itu, kemudian menggenggamnya hangat. Memang sudah lama ia menginginkan Rumaisha menikah dengan Agung. Bahkan sebelum putranya itu menikah dengan Maharani. Akan tetapi, ia tidak bisa berbuat banyak karena Agung begitu mencintai Maharani. Nurmala lebih menyukai Rumaisha karena ia sosok gadis yang shalihah, santun, dan bertata Krama baik. "Menikahlah dengan Agung, jadilah menantu Ibu," pintanya lagi. Rumaisha menghela napas panjang. Lamaran itu telak membuatnya berada pada titik dilema. Satu sisi, dia begitu terenyuh atas nasib Naira, bidadari mungil yang telah mencuri hatinya. Sejak kedua tangannya menangkap tubuh kecil itu di udara, ada cinta yang tulus mengalir dari hatinya. Ketika dia menatap wajah Naira yang menggemaskan, senyum bahagia buncah begitu saja menghias bibirnya. Ketika dia teringat nasib bayi itu yang ditinggalkan ibunya, apa lagi kejadian yang nyaris mencelakainya, air mata pun luruh di pipinya. Di sisi lain, Rumaisha punya impian. Ia ingin mengabdikan ilmu yang ia peroleh di bangku kuliah sebagai guru, dan meraih cita-citanya menjadi PNS demi mewujudkan mimpi kedua orangtuanya. Jika dia menerima lamaran Agung dan Naira menjadi alasan di balik lamaran itu, maka dapat dipastikan bahwa dia harus melepas kariernya, memberikan full waktunya untuk merawat Naira. Semua itu berarti dia harus rela mengubur dalam-dalam mimpinya, serta harapan mendiang kedua orangtuanya. “Beri saya waktu tiga hari, Pak, Bu,” ucapnya setelah beberapa lama. Bagaimanapun ia ragu, takut salah memilih. Oleh karena itu, meminta pertimbangan Allah SWT dalam istikharah adalah pilihan yang tepat. Apa yang dipilihkan Allah untuknya, pastilah yang terbaik. Sebab Allah yang menciptakan dia. Allah pasti tahu yang terbaik untuknya. *** "Bagaimana, Nak Rumaisha?" Setelah tiga hari berlalu, baik Nurmala maupun Fauzan sudah tidak sabar mendengar jawaban Rumaisha. Selama tiga hari Rumaisha meminta petunjuk dari Allah SWT, tiga hari itu pula keduanya menyebut nama gadis itu dalam doa untuk putranya. “Mintalah saya kepada wali saya, Pak,” sahut Rumaisha sembari menyembunyikan senyum tersipunya dalam wajah yang menunduk. Gadis itu akhirnya memantapkan hati menikah dengan Agung. Mengabdikan ilmu tidak harus dengan menjadi guru di sekolah, justru rumahlah sebagai tempat madrasah pertama dan utama yang harus dilakoni seorang Ibu. Jika hadir dirinya sangat dibutuhkan untuk kehidupan satu jiwa, maka mewujudkan mimpi orang yang sudah meninggal baginya tidak lagi lebih penting. Lagi pula, dia telah lelah dengan kesendirian. Hidup sebagai yatim piatu, sementara saudara-saudaranya sibuk dengan keluarga masing-masing kerap membuatnya bermimpi untuk segera berumah tangga. Barangkali, lamaran orang tua Agung adalah jawaban atas semua doa dan mimpinya itu. "Alhamdulillah." Fauzan dan Nurmala kompak berucap syukur, berseru bahagia atas jawaban yang disampaikan Rumaisha. Itu adalah sinyal bahwa gadis itu bersedia menikah dengan putranya. “Di mana walimu?” tanya Fauzan tidak sabar. “Kakak dan Abang saya tinggal di kampung." "Kampung?" "Iya." "Di mana? Jauh?" "Jika cuaca bagus, perjalanan tiga jam dari sini dengan menggunakan sepeda motor." “Kalau pakai mobil?” “Tidak semua mobil bisa masuk. Hanya Truk, Strada atau Hilux double gardan yang bisa menembus ke sana. Jalannya masih berupa tanah kuning atau tanah merah, banyak tanjakan dan turunan, dan kalau hujan sangat licin. Jadi, mobil biasa tidak akan kuat melewati Medan di sana.” "Itu jalan perkebunan sawit?" "Iya, Pak." Rumaisha mengangguk. “Wah, sepertinya Bapak tidak akan kuat, Nak Rumaisha. Maklum kondisi Bapak seperti ini. Agung saja, ya, yang menemui walimu,” ujar Fauzan sambil terkekeh malu. “Saya dan Mas Agung? Berdua ke sana?” tanya gadis itu ragu. “Iya. Tapi kamu tenang saja. Agung tidak akan berani berlaku kurang ajar sama kamu. Kalau nanti dia berani macam-macam, kamu lapor saja sama Bapak." Rumaisha meringis. Berdua, berboncengan dengan laki-laki asing menempuh perjalanan sejauh itu? Gadis itu mengusap wajah. Saat ini saja jantungnya berdebar tidak karuan. Lalu, bagaimana nanti dia mengendalikan hatinya saat berkendara berdua? Namun, sepertinya tidak ada pilihan lain. Dia tidak berani mengendarai sepeda motor sendiri untuk medan perjalanan menuju kampungnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN