PERKENALKAN, 7 ABANG GUE!

1025 Kata
"Ri, bangun. Jangan sampai gayung pink gue melayang! Lima belas menit lagi Lo harus ke kampus. Lihat abang-abang Lo, kita semua udah siap buat sarapan. Tinggal Lo doang, nih. Gadis sendiri, tapi paling lambat!" Itu Bang Jun. Dia selalu ngomel setiap pagi kalau aku telat bangun. Kalian tetap ingin punya kakak begini? Jujur, seandainya aku tahu dimana rumah keluarga asliku, pasti aku lebih memilih untuk tinggal bersama mereka. Bang Jun itu kakak tertua di keluarga kami. Usianya sudah tiga puluh satu tahun. Eits, pasti kalian berpikir kalau Bang Jun berkumis, bibirnya hitam, atau perutnya gendut. No! Bang Jun tidak terlihat separah itu. Bahkan, banyak temanku yang mengira kalau aku sama Bang Jun itu seumuran. Bisa dibayangin 'kan, bagaimana imutnya abangku yang satu ini? Dia memang baby face, sayangnya cerewet. Kalau sudah mengomel, seharian juga betah. Enaknya Bang Jun, dia orangnya tidak pelit. Kalau pas gajian, sering banget traktir kita semua para adiknya. Dia juga jago banget masak, dan rasa masakan Bang Jun ini, jangan diragukan lagi. Enak banget. Top-lah pokoknya. "Iya Bang, Riri bangun." ucapku sambil berusaha duduk. Semalam aku habis nonton Drama Korea hampir semalaman, rasanya mataku susah untuk terbuka. "Bagus. Cepat bersih-bersih, abang tunggu di meja makan." katanya. "Iya," sahutku malas. Aku mendengar langkah sepatu Bang Jun menjauh dari pintu kamarku. Tanpa menunggu lebih lama, aku bergegas turun dari tempat tidur dan melangkah gontai ke kamar mandi untuk bersih-bersih. Soal berpakaian, aku tidak bisa sembarangan pakai baju di rumah ini. Isi lemari ku dipenuhi dengan jeans dan kaos lengan panjang. Ada beberapa dress dan semuanya panjang tertutup. Abang-abang ku bilang, semua untuk kebaikanku. Ya, aku mau bilang apa lagi? Toh yang beli semua baju itu mereka. Hidupku juga yang membiayai mereka. Masih beruntung aku dipertemukan oleh keluarga angkat yang sebaik mereka. Hari ini aku memakai celana jeans putih dan kaos berbahan wol dengan warna peach sebagai atasannya. Di tengah kaos tersebut ada ornamen love putih yang terbentuk dari susunan manik-manik. Jangan harap kaosku pas badan, yang ada justru over size. Aku memoles wajahku dengan riasan tipis. Hanya menggunakan lipglos, perona pipi, dan bedak. Sama dengan pakaian, aku juga tidak bisa sembarangan memakai riasan. Hidupku memang serba diatur. Itulah kenapa aku heran, mengapa kalian begitu mengidamkan kakak laki-laki? "Selamat pagi abang-abangku yang ganteng. Maaf, aku tadi malam nonton Drakor jadi .... aku ... terlambat bangun, hihi." Aku tertawa kecil sambil duduk di kursi makan yang memang sudah di siapkan untukku. "Nggak sekalian bangun besok?" Itu suara Bang Bagus. Kakak tertua kedua yang sok cool. Usianya dua puluh sembilan tahun. Herannya, cowok yang jarang senyum seperti dia malah menjadi incaran teman-temanku. Astaga! Apa coba yang disukai dari sosok abangku yang satu itu? Tidak salah juga sih, walaupun memiliki kepribadian yang dingin dan susah tersentuh, tetapi Bang Bagus memang tampan. Dia jarang tersenyum, tetapi aku berani menjamin kalau ... sekali saja kalian melihat Bang Bagus tersenyum pasti langsung jatuh cinta. Manis banget, gula saja sih ... lewat. Bang Bagus memang kalau bicara agak sedikit menyakiti hati nurani, tetapi aslinya dia baik. Dia rela tidak tidur semalaman saat aku sakit, dia juga tidak pernah nolak saat aku meminta ini dan itu. Mungkin dia hanya mengomel dalam hati. "Kalau gue bangun besok, yakin boleh, Bang?" ledekku yang langsung menyambar segelas s**u hangat yang sudah di sediakan oleh Bang Jun. "Boleh. Ntar sekalian gue buatin peti mati buat Lo," sahut Bang Bagus seenaknya. Rasanya aku ingin melempar dia dengan telur rebus yang sudah terkupas di hadapanku. Bukan takut mubazir makanan, tetapi tentu saja aku tidak berani melakukan itu. "Bagus!" tegur Bang Jun. Aku langsung memeletkan lidahku ke arah Bang Bagus. Dia hanya membalas dengan senyuman miring. "Hari ini siapa yang mengantar Jaka dan Riri?" Nah, yang ini suara Bang Robi. Kakak tertua keempat. Usianya dua puluh lima tahun. Dari semua kakak-kakakku, dia orang yang hampir tidak pernah marah. Kesehariannya selalu ceria dan bersenandung. Patah hati juga tidak berhasil membuat dia sedih. Pokoknya dia memiliki kepribadian yang menyenangkan. "Itu tugas gue, Bang." sahut Bang Jimi. Bang Jimi merupakan kakak tertua kelima di keluarga kami. Usianya dua puluh tiga tahun. Dia orangnya jahil dan susah untuk diajak serius. Selain itu, Bang Jimi lumayan playboy. Pacarnya sering ganti-ganti. Bahkan aku lupa berapa jumlah mantan pacarnya karena terlalu banyak. "Hati-hati di jalan, Jim. Jangan terlalu banyak tebar pesona, ingat ... keselamatan mereka ada di tangan Lo." Yang bicara kali ini Bang Nam. Kakak tertua ketiga. Usianya dua puluh tujuh tahun. Cewek-cewek di kampusku selalu histeris saat melihat dia karena badannya yang bongsor dan berotot. Kakakku satu ini memang sering olahraga, jadi ya wajar kalau tubuhnya menggoda iman. "Tenang aja, Bang. Gue nggak mungkin ngebiarin bahaya ngancem adek-adek kita." sahut Bang Jimi sambil cengar-cengir. "Gue numpang sekalian, ya. Males bawa mobil sendiri. Kebetulan jadwal gue sama jamnya sama mereka berdua," Bang Vino, kakak keenam aku ikut nimbrung pembicaraan kami. Bang Vino masih dua puluh satu tahun. Dia kuliah semester empat. Kakakku yang satu ini gantengnya luar biasa. Jangankan orang lain, aku yang satu rumah sama dia saja masih sering bengong tanpa berkedip pas lihat Bang Vino di waktu-waktu tertentu. Dia memang spesial. Bang Vino bukan cuma diberi kelebihan wajah yang tampan, dia juga baiknya kelewatan. Orangnya mudah baperan. Pernah di satu hari aku jatuh di kamar mandi, tiba-tiba saja dia memelukku dan menangis heboh. Padahal kepalaku hanya benjol sedikit. Lebay memang. "Bang Vino kalau sopirnya Bang Jimi pasti ikut. Gue tau alasannya, pasti mau godain para cewek di kampus kita 'kan?" Bang Jaka yang sudah hapal dengan kebiasaan Bang Vino langsung menyahut. Bang Jaka seusia denganku, sembilan belas tahun. Kami sama-sama kuliah semester dua, jurusan sastra dan satu kelas. Karena dia termasuk adik terakhir di klan pria, manjanya suka berlebihan. Banyak maunya dan harus dituruti. Kalau tidak, dia bisa mengurung diri seharian di kamar, dan mogok makan. Bayangkan saja kalian menjadi aku. Dikelilingi oleh para lelaki dengan berbagai kepribadian. Aku beritahukan pada kalian, bahwa ini tidak menyenangkan sepenuhnya. Kadang aku berpikir untuk pindah ke kutub utara seorang diri hanya untuk hidup tenang dalam sehari. Mereka bertujuh selalu saja membuat kekacauan yang tidak terpikirkan oleh kalian. Jangan pernah bermimpi untuk memiliki tujuh kakak sepertiku. Sekali saja pun jangan. Karena aku tidak yakin, kalian akan kuat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN