Mataku membeliak tidak percaya ketika melihat Mas Akmal berdiri meringis kesakitan di atas serpihan-serpihan kaca.
"Tolong, Efita, sakit!" ujarnya pelan, terlihat sekali dia sedang menahan sakit yang teramat sangat.
Aku bergeming. Kaki ini rasanya sulit sekali di gerakkan. Tidak lama kemudian muncul Papa yang entah sudah sejak kapan dan dari mana dia muncul. Laki-laki satu ini memang misterius, tiba-tiba datang lalu menghilang.
Papa mengangkat tubuh Mas Akmal dan membawanya masuk ke dalam rumah. Air mata berduyun-duyun keluar dari pelupuk mataku. Kini pipiku telah basah di aliri sungai air mata.
"Tolong panggil ambulance, Fit!" titah papa terlihat khawatir.
Aku masih berdiri mematung di depan dua orang yang amat aku hormati itu. Ingin rasanya aku memaki suamiku, namun melihat luka yang menganga di kakinya membuat diri ini tidak tega.
"Papa kan bisa nyetir, kenapa nggak langsung di bawa pake mobil Mas Akmal saja, Pap!" ujarku dengan suara bergetar, antara tidak tega dan sakit hati.
Kupandangi darah yang menggenang di lantai marmer rumahku. Mungkin jika luka di hatiku bisa terlihat dan mengeluarkan darah, mungkin lebih banyak dari darah yang keluar dari tubuhnya Mas Akmal.
"Ada apa, Mas Akmal kenapa?" pekik Dewi ketika melihat suamiku yang sudah terlihat pucat pasi.
Hening. Hanya erangan Mas Akmal yang terdengar.
"Ayo buruan, Om. Bawa Mas Akmal ke rumah sakit!" titah Dewi dan langsung di iyakan oleh mertuaku.
Sepanjang perjalanan aku hanya diam membisu tanpa bisa berucap sepatah katapun. Teramat sakit rasanya hati ini menerima kenyataan kalau ternyata misteri laki-laki yang keluar melalui jendela Dewi itu terkuak, dan pelakunya adalah suamiku sendiri.
Setelah menempuh perjalanan lebih dari tiga puluh menit, akhirnya mobil yang membawa kami sampai juga di rumah sakit terdekat. Aku mengusap kepala Mas Akmal yang sejak tadi berada di pangkuanku. Memanggil namanya walaupun terasa menyesakkan d**a. Sepertinya laki-laki yang telah memporak-porandakan hatiku ini sudah tidak sadarkan diri.
"Buruan, Sus, bantu anak saya keluar dari mobil!" Terdengar suara panik Papa mulai mendekat ke arah kami.
Dua orang perawat dan satpam menghampiri kami kemudian menggotong tubuh Mas Akmal lalu merebahkannya di atas brankar. Dengan sigap para perempuan berseragam hijau batik itu mendorong brankar tersebut masuk ke ruang unit gawat darurat kemudian menutup pintu dan menyuruh kami menunggu di depan ruangan.
"Pasien butuh transfusi darah, kami butuh golongan darah AB!" teriak seorang dokter berkacamata yang menangani Mas Akmal.
"Fit, golongan darah kamu AB juga, bukan?" tanya Papa sembari menatapaku.
Aku hanya mengangguk pelan. Rasanya enggan sekali diri ini memberikan walau hanya setetes darahku. Namun, untuk saat ini ada nyawa manusia yang harus aku selamatkan. Aku tidak boleh mementingkan egoku. Diriku harus menolong Mas Akmal, meskipun dia telah menorehkan luka di sanubari.
Setelah dua jam tidak sadarkan diri, akhirnya Mas Akmal membuka mata dan langsung menatapku.
"Fit," panggilnya pelan. Aku membuang muka menyembunyikan air mataku.
"Efita." Kini dia berusaha bangkit dan meraih tangan ini.
"Kamu sudah sadar, Mas? Kalau begitu aku pamit pulang. Biar nanti Dewi yang menemani kamu di sini!" Aku beranjak dari tempat kursi dan keluar dari ruangan tempat dimana suamiku sedang dirawat akibat perbuatan terhinanya.
Kusapu air mata yang terus berlomba-lomba tumpah dari pelupuknya dengan ujung jari-jariku sambil berjalan menunduk menyusuri koridor rumah sakit.
***
"Dewi, Dewi!" teriakku sambil mengetuk kasar pintu kamarnya.
"Ada apa, kak?" Seraut wajah menjijikan muncul dari balik pintu.
"Buruan ke rumah sakit. Temani Masmu di rumah sakit. Jangan mau enaknya saja kamu. Giliran sakit, kakak yang harus ngurusin dia!" ucapku dengan suara meninggi.
Dewi memutar badan hendak masuk ke dalam kamar.
Ya Allah, bertambah sesak d**a ini melihat beberapa tanda merah di tengkuk wanita berusia tujuh belas tahun itu. Seperti ada yang teremas-remas dalam d**a ini.
Andai saja melenyapkan manusia tidak berdosa, sudah barang tentu akan aku habisi dia saat ini juga.
"Dasar adik tidak tahu di untung, kamu benar-benar menjijikkan, Dewi. Saya tidak menyangka kamu bisa berbuat curang kepada kakak kandungmu sendiri!" Entah apa yang merasukiku, tiba-tiba aku kalap dan menarik rambut Dewi, menariknya keluar dari rumah hingga sela-sela jariku dipenuhi rambut yang terbawa.
"Ampun, Kak. Sakit!" pekiknya sambil menangis.
"Sakitan mana sama hati kakak, Dewi. Kamu kakak urus dari kecil, kakak rela kerja banting tulang membantu Emak buat nyekolahin kamu biar kamu nggak putus sekolah kaya kakak. Tapi, kamu malah menusuk kakak dari belakang. Kamu malah tidur dengan laki-laki, yang jelas-jelas dia adalah suami kakak kamu. Dasar tidak bermoral, nggak punya hati kamu, Dewi. Tega kamu!!" Aku menoyor kepala adikku yang sedang bersimpuh di lantai.
"Dewi nggak tahu apa-apa, kak. Demi Allah!" Dia terus berkilah, membuat diri ini bertambah muntab.
"Ini apa, hah!" Mencubit leher Dewi yang dipenuhi tanda merah. "Saya yakin kamu tidak bodoh, Dewi. Kamu tahu tanda merah ini apa, 'kan. Benar-benar menjijikkan kamu ini, Dewi!"
Aku mengusap air mata yang mengalir deras membasahi pipi. Ketika menoleh ke pagar rumahku, aku melihat seperti ada seseorang sedang mengintip dari luar pagar sana. Kutinggalkan Dewi yang sedang terisak di teras, membanting pintu hingga kaca jendela rumahku bergetar saking kerasnya.
Ini benar-benar sebuah mimpi buruk. Aku tidak menyangka kalau adik semata wayangku yang teramat aku sayangi ternyata bisa berbuat curang seperti ini. Apa kurangnya diriku kepadanya. Semua yang dia minta selalu aku turuti. Bahkan, aku langsung mengiyakan ketika gadis polosku meminta untuk ikut pindah ke Jakarta dan melanjutkan pendidikan di kota ini.
Ternyata, dia berniat mengambil suamiku. Andai saja aku tahu semuanya akan seperti ini, aku tidak akan sudi mengajak dia tinggal satu atap denganku juga Mas Akmal.
Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahim, kuatkanlah hati ini untuk menerima cobaan yang Kau beri.
Kubentangkan sajah, bertafakur diri, berzikir serta berdoa semoga aku bisa menerima semua ujian ini.
Ting!
Sebuah notifikasi pesan, masuk ke gawaiku. Dari Teh Icha.
[Mba Fit, coba buka f*******:, deh. Kok ada Video Mba Fita lagi marah-marahin si Dewi di teras. Itu bener, apa hoax? maaf loh, ya. cuma mau nanya, tidak bermaksud khepo.] isi pesan dari Teh Icha.
Karena penasaran, bergegas diri ini berselancar ke sosial media berlogo F itu. Dan benar saja, ada yang sengaja menyebar Video itu dan sudah di lihat oleh lebih dari seribu orang. Siap-siap saja besok, aku pasti diwawancarai oleh ibu-ibu komplek.
Aku menjadi penasaran, sebenarnya, siapa yang mengambil video itu dan menyebarkannya. Karena setelah aku telusuri, ternyata akun yang mengunggah video tersebut adalah akun fake.
***
Aku duduk sofa sambil memijat kepala yang terasa seperti mau pecah saja. Mas Akmal berkali-kali menghubungiku, tetapi aku abaikan. Malas rasanya berurusan lagi sama laki-laki mata keranjang itu.
"Brak! Tiba-tiba pintu terbuka lebar. Dewi berdiri sambil mengepalkan tangan. Dadanya naik turun tidak beraturan, sepertinya dia sangat marah.
Ada apa dengan bocah ganjen itu?