Bab 1

983 Kata
Krieeet .... Pelan-pelan membuka pintu kamar adikku karena jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka delapan pagi dan dia belum terlihat batang hidungnya. "Wi, Dewi!" panggilku seraya melongok ke dalam kamar bernuansa violet itu. Tidak ada jawaban. Aku menggeleng melihat kamar Dewi yang begitu berantakan serta acak-acakan. 'Kamar anak gadis, kok, berantakan banget', gumamku dalam hati. Aku meraba tembok, mencari saklar dan menyalakan lampu hingga kamar tersebut menjadi terang benderang. Kupunguti baju-baju Dewi yang berserakan di lantai lalu merapikan tempat tidurnya yang begitu berantakan. Seprai tidak terpasang, pun dengan sarung bantal yang sudah lepas semua. Mataku membeliak ketika melihat bungkus kontrasepsi tergeletak di lantai. Kenapa ada benda seperti ini di kamar Dewi? dia kan masih gadis, masih kelas dua SMA. Sedang aku saja tidak pernah menggunakan benda seperti itu. Aku memasukkan bungkus kontrasepsi tersebut ke dalam tong sampah. Mataku kembali membulat ketika melihat benda persis balon berisi cairan putih. Ya Allah, hatiku tiba-tiba diselimuti rasa gelisah. Apa Dewi melakukan hal sejauh itu? Tapi, dengan siapa? Aku menarik nafas panjang, mencoba menata perasaan yang teramat kacau. Aku takut kalau adik semata wayangku melakukan hal tidak bermoral seperti yang aku bayangkan. "Ada apa, Fit?" tanyanya Mas Akmal saat aku keluar dari kamar Dewi. "Enggak, Mas." Aku merahasiakan semuanya dari suamiku, karena takut dia marah dan mengusir Dewi dari rumah ini. "Kirain ada apaan. Soalnya wajah kamu pucat banget." "Enggak, Mas!" Aku berusaha mengulas senyum. "Kamu masak apa, Fit?" "Nasi goreng kesukaan kamu, Mas. Kok tumben kamu kamu keramas? Kan kita semalam nggak ngapa-ngapain?" Dahiku mengernyit menatap rambut suami yang basah serta klimis. Akhir-akhir ini memang dia sering sekali keramas pagi-pagi, padahal kami tidak melakukan ritual malam hari karena diri ini sedang kedatangan tamu bulanan. "Emang harus begitu-begituan dulu baru keramas?" Mas Akmal tersenyum nakal kepadaku. "Enggak sih, Mas. Ya sudah, sarapan dulu. Sudah siang!" Aku menyendok nasi dan menyodorkannya kepada Mas Akmal. "Terimakasih, Fita!" ucapnya sembari menyuap nasi goreng petai kesukaannya. Selesai sarapan, seperti biasanya Mas Akmal segera berangkat ke pasar. Suamiku memiliki sebuah toko elektronik di depan pasar dan buka setiap jam sembilan pagi. Aku terus memikirkan benda yang aku temukan di kamar Dewi, karena aku memiliki tanggung jawab penuh kepada adikku itu. Aku tidak mau mengecewakan Emak di kampung. "Mba Efita, si Dewi itu cantik ya. Apa Mba Efita nggak takut suaminya kepincut sama si Dewi? Sekarang ini musti hati-hati, loh. Banyak suami-suami yang doyan sama adik sendiri!" ucap Bu Hilma tetangga depan rumahku, ketika aku membeli sayur pagi itu. "Insya Allah Mas Akmal bukan tipe laki-laki seperti itu, Bu," sahutku seraya mengulas senyum. "Tapi tetep harus waspada loh, Mba!" sambung Teh Icha. Aku segera menyuruh mamang sayur menghitung belanjaanku dan segera menarik diri dari kerumunan ibu-ibu yang sedang berbelanja sayur-mayur. Hatiku kembali didera rasa gelisah dan semakin penasaran dengan kontrasepsi yang aku temukan di dalam kamar adikku. Apa Dewi melakukannya dengan Mas Akmal? Astaghfirullah, aku tidak boleh berprasangka buruk terhadap suami serta adikku. Aku akan menyelidiki dan mengungkap kasus ini secepatnya supaya bisa mencari solusi. Jika Dewi benar-benar melakukan hal tidak bermoral itu, aku akan segera menikahkannya walaupun dia masih duduk di kelas dua SMA. **** "Assalamualaikum!" Terdengar suara Dewi mengucap salam. Aku segera membuka pintu dan menatap adikku yang terlihat kelelahan setelah pulang sekolah. Dewi langsung masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu dari dalam. Sebenarnya aku ingin sekali menanyakan masalah kontrasepsi yang aku temukan di kamar gadis berusia tujuh belas tahun itu. "Wi, Dewi!" Tok! Tok! Tok! Memberanikan diri mengetuk pintu kamar adikku, namun, tidak ada jawaban dari dalam sana. Sekali lagi mengetuk pintu kamar gadis itu dan tidak lama kemudian pintu terbuka lebar. "Ada apa, Kak?" tanya Dewi seraya menguap. Kini mataku tertuju pada tanda merah di lehernya. Astaghfirullah, aku semakin gelisah memikirkannya. Kutarik tangan Dewi masuk ke dalam kamar, mengajak dia berbicara dari hati kehati, menanyakan siapa laki-laki yang sudah melakukan itu dengannya. "Siapa, Wi. Tolong jawab dengan jujur, supaya kakak bisa meminta pertanggungjawaban sama dia. Kamu itu masih sekolah, Dewi. Kamu juga masih kecil. Apa kamu nggak memikirkan perasaan Emak juga kakak saat melakukan itu, Wi?" tanyaku sambil berusaha menata perasaan, supaya tidak meledak-ledak dan membuat Dewi ketakutan. "Aku nggak pernah melakukannya, Kak!" elaknya. "Terus, kontrasepsi yang kakak temukan di kamar kamu itu milik siapa? Tadi pagi kakak nemu bungkus serta ko**om bekas pakai di tong sampah!" Aku masih berusaha mengontrol emosi. "Tapi, aku benar-benar tidak pernah melakukannya, Kak!" Kini Dewi menangis sesunggukan. Membuat aku tidak tega melihatnya. "Sudahlah, Wi. Kamu jujur saja sama kakak. Jangan bikin kakak bingung. Kakak merasa sangat berdosa sama Emak, karena sudah lalai menjaga kamu!" Aku mulai meninggikan nada bicaraku. "Demi Tuhan, Kakak. Aku tidak pernah melakukannya!" "Nggak usah bawa-bawa nama Tuhan, Dewi. Tolong kamu jujur sama kakak!" Tangis Dewi semakin pecah. Aku menyentak nafas kasar kemudian keluar dari kamar Dewi. Kali ini aku benar-benar dibuat stres oleh adik Perempuanku itu. *** Jarum jam sudah menunjuk ke angka sembilan malam. Mas Akmal belum juga pulang ke rumah, padahal biasanya dia sudah pulang sebelum adzan maghrib. Entahlah akhir-akhir ini suamiku sering sekali pulang telat dengan alasan ada barang masuk dan bertemu teman lama. [Mas, pulang jam berapa, aku sudah ngantuk.] Segera kukirim pesan w******p kepada suami. Centang dua, tetapi belum dibaca. Lima menit kemudian, terdengar suara notifikasi pesan masuk ke gawaiku. Dari Mas Akmal. [Kamu tidur saja, Fit. Mas mungkin pulang agak malaman. Maaf ya.] Balasnya di sertai emotikon menangis. [Ya sudah, aku tidur dulu ya, Mas. Kamu hati-hati di jalan.] Balasku lagi kemudian lekas merebahkan bobot ini di atas kasur. Entah sudah berapa lama aku terlelap, hingga mendengar suara aneh di kamar Dewi. Aku menggerakkan tangan ke sebelah, mencari keberadaan suamiku, tetapi Mas Akmal belum juga pulang. Aku menengok jam dinding yang menggantung di tembok, dan ternyata sudah pukul dua belas malam. Penasaran, aku turun dari tempat tidur lalu mendekati kamar adikku. Terdengar suara desahan saling bersahut-sahutan di dalam sana. Aku semakin penasaran dan ingin mencari tahu siapa yang bersama Dewi sekarang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN