Lima

1329 Kata
Hari ini tiba juga saat yang di tunggu-tunggu. Perasaan senang, perasaan nervous, bercampur menjadi satu. Ya Allah, bismillah. Aktifitas pagi ini dimulai dari mendatangi dokter kecantikan. Mba Milka mengantarku menemui dokter langganannya. Saat tiba di kelinik Embun, aku sangat terkejut ketika yang akan menangani masalahku seorang dokter handshome alias dokter tampan. Haduwh … seneng-seneng gimana gitu. Tapi aku hanya sebatas mengagumi dokter tampan yang memperkenalkan diri bernama Dokter Adit. "Ra, Mba nunggunya sambil shoping ya. Jenuh kalau nunggu kamu di sini, pasti proses ngerombak wajah kamu ini bakal lama," ucap Mba Milka. "Tapi, Mba …." Aku tidak melanjutkan ucapanku. Namun, mata ini melirik ke arah Dokter tampan. Sepertinya Mba Milka mengerti arti lirikanku. "Gak apa-apa, dia gak gigit kok. Baik orangnya. Kalau macam-macam, kamu hubungi, Mba. Tenang, Adit ini bukan cuma Dokter langganan Mba, tapi dia juga sahabatku, Ra," ucapnya tersenyum seraya melirik pada Dokter Adit. Aduh Kakak iparku ini memang manis. "Iya, kamu tenang aja. Saya ini, selain Dokter yang tampan juga baik kok," celotehnya penuh tawa. Deretan gigi yang putih dan rapi menambah nilai ketampanannya. "Dit, aku pergi dulu. Tolong bikin adik gue cantik ya," selorohnya lalu pergi meninggalkan kami. Tanpa ada Mba Milka di sisiku, jantung ini berdebar sangat kencang. Apa-apaan aku ini. Haduh, sadar Tiara, kamu ini siapa dia siapa. "Hey, jangan bengong. Bisa kita mulai?" tanyanya membuatku tersadar dari lamunan tentangnya. Di klinik Dokter Adit ini, semua serba ada. Bukan hanya untuk mempercantik wajah. Tapi khusus perawatan tubuh dan rambut juga ada. Kliniknya bertingkat. Ada banyak pegawainya tapi kenapa dia harus turun tangan sendiri untuk menanganiku. Apa mungkin karena aku ini adik Mba Milka. Entahlah …. "Kita mulai dari mencuci rambut?" tawarnya. "Boleh, Dok. Tapi apa Dokter tidak sibuk? Bukankah akan ada yang konsultasi juga?" tanyaku bingung. Aku mengikuti dia menuju tempat mencuci rambut. "Jangan kaget, Milka sudah memintaku untuk menanganimu. Demi nama persahabatan, aku turuti. Coba kamu lihat jam yang ada di dinding," tunjuknya ke arah jam itu. Oooowww … ternyata masih pukul delapan pagi. Dan ini masih sangat pagi … sedangkan Mba Milka kemaren cerita kalau beliau akan menangani pasien pukul 11.00 pagi. Ada waktu tiga jam. Ya aku paham maksud Mba Milka, supaya aku ditangani langsung oleh ahlinya. "Rambut yang bagus. Panjang dan sehat, sayang terlalu sering di ikat jadi tidak menampakan keindahannya," pujinya membuatku malu. Setelah melahirkan hingga sekarang, baru kali ini kembali di puji seperti saat gadis dulu. "Dokter bisa saja. Iyakah, Dok? Apa masih ada keindahan yang tersimpan dari diriku yang buruk rupa ini?" tanyaku berharap mendapat jawaban yang jujur. Hening! Tidak ada Jawaban atas pertanyaanku setelah menunggu kurang lebih sepuluh menit. **** "Sudah, kita keringkan rambut dulu." Kami kembali ke tempat pertama, di mana semua proses akan dilakukan. "Dok, kenapa gak jawab pertanyaan-ku?" Kembali ku-ulang pertanyaan yang belum mendapat jawaban. "Ada asal kamu mau berubah, banyak kecantikan yang tersembunyi di balik penampilanmu ini. Contohnya rambutmu, sangat indah bukan? Coba sebagai perempuan, meski sibuk mengurus rumah tangga, luangkan sedikit waktu untuk mengurus diri. Setidaknya mandi, berpakaian yang rapi. Hilangkan pikiran, Agh udah laku ini. Bukankah tampil cantik di depan suami itu juga bagus?" terangnya. "Tapi suamiku lain daripada yang lain. Dulu, awal menikah suamiku sangat sayang dan perhatian. Saat itu aku masih bekerja sendiri, hingga mau apapun aku bisa memenuhinya bukan cuma perawatan kecantikan. Mertuaku juga sangat baik dan bijak. Walaupun aku bekerja, aku juga mengerjakan semua pekerjaan rumah layaknya istri dan menantu yang baik. Namun, seiring berjalannya waktu, aku tidak lagi bekerja karena hamil. Dalam fase kehamilan, tubuhku seperti melar, berat badan kian bertambah. Mungkin karena efek hamil pikirku. Di sisi yang bersamaan, mertuaku menjadi sedikit cuek dia tidak lagi membantu pekerjaan rumah, semua aku yang mengerjakan. Tidak ada waktu santai, hingga aku melahirkan, tubuhku semakin membesar. Aku memiliki dua putri kembar, Dok. Mereka sangat rewel, suami, mertua, serta iparku, tidak ada yang mau membantu, semua kukerjakan sendiri seminggu setelah aku melahirkan. Akhirnya, aku terbiasa untuk tidak memikirkan penampilan karena sibuk memikirkan pekerjaan rumah dan kerepotan memiliki anak kembar. Dan kelebihan tubuh yang aku miliki ini, menjadi makanan sehari-hari untuk mereka membully serta merendahkanku," ungkapku membuat Dokter Adit terdiam sejenak. Tidak terasa air mata menetes membasahi pipiku mengingat semua itu. "Kamu lulur dulu dengan Mela, setelah itu kita lanjutkan pada tahap rangakaian berikutnya. Jangan kau pikirkan masalah kelebihan berat badanmu. Aku akan membantu. Mulai besok akan kubuatkan jadwal kursus program dietmu. Dalam tiga bulan aku yakin kamu dapat memiliki tubuh ideal. Semangat Tiara!" Aku tersenyum penuh haru mendengar ucapannya. Tidak lama, aku berlalu ke ruangan khusus untuk lulur dengan Mela. ***** Satu jam berlalu tubuhku sudah merasa fresh. Aku merasa kulitku lebih cerah setelah dilulur. Banyak yang aku tanyakan tentang Dokter Adit. Seperti kode dan semangat tersendiri, Mela menceritakan kalau Dokter Adit itu tidak punya pasangan. Namun, mungkinkah …. Dasar aku, terlalu banyak berkhayal. "Mba Tiara, senyum-senyum sendiri," cetus Mela cekikikan. "Agh, enggak kok. Emmm… ngomong-ngomong udah selesai belum nih?" "Udah kok, Mba. Silahkan di pakai bajunya. Biar saya keluar," ucapnya sambil berlalu. Huftt … tubuhku terasa enteng. Enak sekali rasanya. Nikmat sekali …. Siap sudah kukenakan kembali pakaianku. Kini tinggal menunggu tahap selanjutnya. Sudah tidak sabar untuk tampil cantik seperti impian kebanyakan wanita. **** "Bagaimana? Rilexs?" tanya Dokter Adit membuka obrolan setelah aku duduk di ruangannya. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum lalu melirik jam dinding. "Masih ada waktu dua jam," cetusnya seperti mampu membaca isi kepalaku. Aku yang pemalu ini tidak banyak berbicara, mengingat lawan bicaraku pria tampan seperti dirinya. Dokter pula. Semua peralatan sudah siap di ruangannya, seperti ketiban duren Montong, sampai segininya, aku kan jadi GR. Bagaimana tidak GR, kalau perlakuannya sesepesial ini. Tahan diri Tiara, jangan over Kepedean merasa di sepesial-kan. Dokter Adit mulai memakai sarung tangan lalu, dia mulai memegang wajahku. Memeriksanya dengan detail. Aku merasa tidak enak karena jerawat di wajahku cukup parah. Tubuhku seperti hendak keluar keringat dingin di sentuh olehnya. Dag … Dig … dug … tidak jelas. Grogi, tegang, campur aduk, tidak karuan. Apalagi saat wajah tampannya berada tidak terlalu jauh dariku, seneng-seneng gimana gitu. Ini si debaran seperti pertama kali jatuh cinta. Haduh … Tiara apaan si. "Jangan grogi, Tiara." Aduh, aku tidak menjawab hanya melirik ke arahnya yang sedang sibuk memencet jerawat menggunakan sebuah alat yang tidak kuketahui namanya. 'Ya Allah, manis sekali ciptaanmu' "Jangan terlalu menatapku, aku tahu memang wajahku tampan," celetuknya penuh tawa. Ya Allah … ini manusia wajahnya terbuat dari gula-kah? Kenapa semanis dan setampan ini. "Dokter dari tadi memuji diri sendiri," kilahku meski ucapannya benar. Dia tertawa renyah, mebuatku ikut tertawa. "Tiara …," panggilnya pelan. "Saya, Dok." "Berteman?" tawarnya tersenyum sambil memberikan jari kelingkingnya. Wajahnya semakin dekat denganku. Bukan apa, karena dia sedang membersihkan krikil yang bersemedi di hidungku. Mungkin bukan krikil, tapi pasir … iya, pasir hidung alias komedo. Cckkckck. "Dokter, kok dekat sekali dengan Tiara, memang tidak mencium bau badanku? Sebab kata Suamiku yang akan menjadi mantan, badanku sangat bau, bahkan meski berjarak satu meter," ucapku meski sakit ketika mengucapkannya. "Bau wangi kok. Kan abis lulur, apalagi rambutnya, hemmm, seger sekali." Dia menghirup nafas dalam-dalam seperti menghirup aroma segar yang menenangkan. "Bagaimana tawaranku tadi?" Wah aku kamu? Aih … jadi enak … senengnya hati ini. "Aku mau jadi teman Dokter. Apa Dokter gak malu berteman sama saya?" Mau ngomong aku lagi, tapi kok seperti ada yang mengganjal. "Jangan panggil Dokter. Panggil Adit aja. Kan gak ada orang," jawabnya sambil kembali memberikan kelingkingnya. "Siap, Dokter Adit. Maaf, Dok … aku belum bisa memanggilmu nama untuk sekarang, mungkin cepat atau lambat akan terbiasa. Aku tersenyum renyah sambil meraih kelingkingnya. Klingking persahabatan kami telah bersatu. Awalnya dalam sekejap suasana berubah kaku, tapi kelamaan kami menjadi cocok dan menyatu dalam persahabatan. Aku juga tidak berharap lebih, aku tahu diri, dia siapa dan aku siapa. Perbedaannya bagaikan bumi dan langit, meski berhadapan, tapi tidak bersatu. ***** Sekarang mataku mengantuk, sedang Adit masih sibuk mengeluarkan krikil dan pasir di wajahku. "Tidurlah, jika sudah selesai, akan kubangunkan nanti," ucapnya. Tanpa menjawab, aku memejamkan mata. Aneh, aku merasa nyaman berada di dekatnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN