"Si Putri kok aneh banget ya?" tanyaku ke Nisa pagi itu.
Sudah 2 minggu ini dia tak balik ke rumah dan selama itu juga dia tak pernah mau nerima video callku.
Aku mulai curiga yang nggak-nggak lagi nih sama si doi.
Jangan-jangan kejadian lagi deh kasus tempo hari, Putri jalan sama cowok lain. Dadaku mulai terasa sedikit sesak juga.
Tapi, chat atau voice call masih lancar kok. Meskipun aku bisa menangkap kalau Putri berusaha menyembunyikan sesuatu.
"Annisa nyobain video call juga direject sama dia Mas," jawab Nisa.
Nisa terdiam sebentar dan terlihat berpikir.
"Tapi, Annisa yakin kalau Putri nggak bakalan macem-macem lagi. Jangan suudzon sama Putri, Mas," lanjutnya.
"Aku nggak suudzon Nis, takutnya kenapa-kenapa. Waktu dia pulang kemarin kan sakit dianya tuh," jawabku.
Wajah Putri masih saja membayang di kepalaku saat aku sedang bekerja. Entah kenapa, kok aku pengen banget ketemu dia sekarang.
Dua minggu memang sebentar. Tapi, kek ada yang bisikin dalam hati kalau aku seharusnya ada di samping si Cantik sekarang.
Nisa masuk ke belakang, entah mau ngapain, ketika sebuah mobil yang sangat kukenal tiba-tiba saja berhenti di depan bengkel kecilku.
Aku langsung tersenyum sumringah.
Mobil Putri.
Ni anak kok ngerti banget sih kalau aku lagi kangen, gumamku dalam hati sambil berdiri dan meninggalkan motor yang sedang kugarap. Masih bisa dilanjut lagi nanti. Yang penting ketemu dulu sama si Cantik.
Tapi,
Sosok yang keluar dari dalam mobil membuatku tertegun. Seorang wanita yang terlihat agak sepuh tapi wajahnya mirip banget dengan Putri berdiri di depan mobil itu dan aku mengenalnya.
Mamanya Putri.
Aku mencuci tanganku lalu berjalan mendekati Mama.
Aku mengambil tangannya dan menciumnya. Salim sama camer dulu. Mamanya Putri memang tak seperti Papanya yang memang on fire setiap ngelihat aku. Kalau Papa, setiap kali ngelihat aku, bawaannya pengen nonjok dan ngambilin parang. Kalau Mama, dia sebenernya masih bisa nerima aku. Asalkan aku nggak bikin anak gadisnya sakit hati.
Nisa keluar dari belakang bengkel dan juga tertegun di tempatnya.
Aku melirik ke arahnya dan menganggukkan kepala, isyarat pada Nisa supaya ikut mendekat.
Nisa berjalan ke depan bengkel dan juga mencium tangan Mama. Mama tersenyum pahit saat Nisa melakukan itu.
"Kok bisa si Putri cinta mati sama cowok b******k kayak kamu sih Han?" tanya Mama yang mirip sebuah kalimat penyesalan.
Aku meringis kecut.
"Masuk dulu Ma, maaf kalau agak rusuh, namanya juga bengkel," kataku sambil mengajak Mama masuk.
Kami bertiga masuk ke dalam bengkelku, untung aja tak ada pelanggan nungguin motor mereka.
Nisa mempersilahkan Mama duduk di sofa satu-satunya yang ada di dalam bengkel. Sedangkan aku mengambil kursi plastik dan duduk di depan Mama.
"Mau minum apa Ma?" tanya Nisa.
Eh ni anak? Ngikut pula dia manggil pake Mama. Wkwkwkwkwk.
"Nggak usah repot-repot. Apa yang ada saja. Ini Annisa atau Ira?" tanya Mama.
"Annisa Ma, Mbak Ira kan kuliah di Semarang. Balik seminggu sekali," jawab Nisa.
"Saya buatin Teh dulu ya Ma," kata Nisa sambil pamit ke belakang.
Sekarang tinggal kami berdua di sini.
"Kamu tu serius mau punya 3 istri Han?" tanya Mama.
Aku terdiam. Aku tahu kalau sesuai keyakinan keluarga Putri hal itu tak mungkin kulakukan.
Tapi aku menganggukkan kepalaku sebagai jawaban.
Mama menarik napas panjang.
"Yang paling kamu sayangi siapa?" tanya Mama.
Aku tersenyum kecut, "Aku sayang mereka," jawabku.
"Apa itu nggak berarti kamu egois? Menyayangi diri sendiri dan pengen cari enak sendiri?" tanya Mama yang langsung bikin aku merasa mual, seperti terkena tonjokan di perut.
"Mungkin orang lain ngelihatnya gitu Ma. Tapi aku sayang mereka. Dan nggak mau bikin mereka kecewa. Makanya aku nggak pernah maksa dan milih. Kalau toh salah satu dari mereka merasa kalau aku nggak layak untuk mereka, aku tak akan pernah memaksa mereka untuk jadi istriku," jawabku.
"Pinter banget kamu tu ngelesnya. Seolah-olah yang pengen dimadu tu cewek-cewekmu kan kalau gitu?" sungut Mama.