Ungkapan Hati 2

1769 Kata
Sebenarnya, Belva bukan tipe gadis yang cengeng, tidak seperti Selva yang sering menangis sendirian di dalam kamar. Jadi, jika Belva sampai mengeluarkan air mata, artinya dia sudah tidak sanggup menahan rasa sakit hatinya. Selva mengusap air matanya sebelum melangkah mendekati Satya—yang berdiri membelakanginya—yang masih terpaku menatap daun pintu yang baru saja dibanting Belva. Mata mereka bersirobok ketika Satya membalikkan badan. Satya tersentak. Lekas dia menyusut sudut mata yang berair, lalu tersenyum pada putri sulungnya. "Sel, Papa—," Satya yang ingin menjelaskan langsung mengatupkan bibir saat tangan Selva terangkat, mengisyaratkan untuk diam. "Izinkan Selva bicara, Pa." Suara lembut, tetapi mampu menusuk relung hati Satya hingga membuatnya sesak. Gadis itu menatap lekat wajah pria yang menghadirkannya ke dunia sebelum berbicara. Ada jejak air mata di wajah yang menampilkan raut penyesalan itu. "Papa pasti nggak tau umur berapa kami bisa membaca dengan lancar dan lagu apa yang pertama kali kami hafal. Karena sejak kecil Tante Desti dan Mbak Tari yang mengasuh kami, bukan Papa. Sejak Mbak Tari berhenti dan kita pindah ke rumah ini, kami benar-benar kehilangan kasih sayang dan perhatian, Pa. Kami kehilangan tempat mengadu," ucap Selva sendu. Gadis itu menjeda ucapannya sejenak. Menghela nafas panjang untuk melonggarkan rongga d**a yang mulai terasa sempit. Sedang Satya hanya bisa termangu mendengar penuturan Selva. Benar, dia jarang ikut mengambil peran dalam pengasuhan si Kembar. Bahkan, ketika dia masih bersama Sinta. "Papa tau kenapa Belva selalu tidur dengan lampu menyala?" Kali ini suaranya mulai tercekat, pelupuknya sudah dipenuhi dengan cairan bening yang siap merebak. "Bukan karena kebiasaan, Pah. Tapi karena dia takut gelap. Saat kelas empat SD dia pernah dikunciin di gudang sekolah sama kakak kelas. Hari itu, Belva pengen banget ngadu, tapi Papa malah pergi ke Bandung nemenin Tante Yunda.” Mata sendu Satya seketika melebar saat mendengar penuturan Selva. Jantungnya seakan berhenti berdetak saat ingatan tentang kejadian itu muncul. Saat itu hari Jumat dan mereka baru sebulan pindah ke rumah baru. “Papa … hiks,” Belva yang baru turun dari mobil langsung menghampiri Satya yang akan masuk ke mobil Ayunda. “Kamu kenapa?” Satya bertanya dan mengurungkan niatnya untuk duduk di balik kemudi. Belum sempat Belva menjawab, Ayunda sudah lebih dulu menginterupsi. “Ayo, Sat! Kita bisa kemalaman sampai Bandung.” Satya menoleh sejenak ke arah Ayunda yang duduk di kursi penumpang, lalu kembali menatap Belva. “Papa mau antar Tante Yunda ke Bandung dulu. Baik-baik di rumah." Setelah mengatakan itu, Satya langsung masuk dan melajukan mobil itu. Dari kaca spion dia dapat melihat tatapan kecewa Belva dan tatapan benci dari Selva—yang berdiri di samping mobil mereka— yang baru saja dia lewati. “Papa ingat, waktu papa ngajak kami liburan ke Jogja?” tanya Selva dengan suara bergetar. Air matanya perlahan menetes. Satya ingat. Liburan itu sebagai bentuk permintaan maaf karena meninggalkan kedua putrinya ke Bandung. “Saat malam terakhir, Belva ketakutan dan sesak nafas karena tiba-tiba mati lampu. Aku panik, Pah. Aku takut …” Suara Belva melirih dengan linangan air mata yang semakin deras. “A–aku nggak tahu harus minta tolong sama siapa. Hiks … Yang bisa aku lakukan saat itu hanya memeluk Belva sambil menangis. Sedangkan Papa asik jalan sama Tante Yunda." Selva semakin terisak, dia bahkan menunduk dan menutup wajahnya dengan tangan. Rasa takut dan sakitnya masih sama, tidak berkurang sedikitpun setiap kali teringat peristiwa mengerikan itu. Selva yang saat itu masih berusia sepuluh tahun panik dan ketakutan. Dia membongkar tas ransel mini milik Belva. Memaksimalkan penglihatan untuk mencari Inhaler dalam kegelapan. "Ya Tuhan, kenyataan apalagi ini. Putrinya hampir meregang nyawa sedangkan dia malah sibuk menemani sahabatnya menikmati malam di kota orang. Dasar g****k!" batin Satya memaki dirinya sendiri. Pikiran Satya menerawang. Saat itu, atas permintaan Ayunda dia tega meninggalkan kedua putrinya di hotel dengan alasan ingin menghabiskan waktu berdua. Padahal, selama liburan Satya lebih banyak jalan dengan wanita itu. Kalaupun anak-anaknya ikut, mereka malah terlihat seperti penguntit. Satya menyesal. Harusnya saat itu dia menolak Ayunda yang memaksa ingin ikut. "Papa … hiks ... ingat waktu kami ngajak ke kebun binatang, dan papa bilang sibuk. Hiks …." Selva melanjutkan meski terbata-bata. Bahunya bergetar dengan nafas yang kian terasa berat. Sekelebat bayangan tentang kejadian yang disebutkan Selva melintas di benak Satya. Saat itu dia sudah terlanjur berjanji untuk menemani Ayunda berbelanja. "Waktu itu Tante Desti ngajak kami main ke Mall sebagai gantinya, dan di sana kami nggak sengaja lihat Papa masuk ke bioskop. Dan lagi-lagi sama Tante Yunda. Sejak saat itu kami berhenti merengek dan memohon karena kami sadar kami nggak lebih penting dari dia." Deg! Dada Satya seperti dihantam dengan palu besar. Dia menggeleng menyangkal pernyataan putrinya. "Bukan begitu, Sel. Kamu tau kan kalau Tante Yunda nggak punya siapa-siapa di sini. Jadi Papa—" Satya berusaha menjelaskan dengan suara tercekat, tetapi sekali lagi di sela oleh putrinya. "Menemani dia yang nggak punya siapa-siapa dan meninggalkan kami sampai kami merasa kalau kamilah yang nggak punya siapa-siapa. Papa selalu mengutamakan dia. Papa rela keluar tengah malam hanya karena dia sakit perut, padahal saat itu aku juga sedang demam, Pa. Papa melupakan acara makan malam ulang tahun kami, karena dia minta ditemani ke pesta. Papa melewatkan pertandingan basket Belva, demi nemenin dia belanja. Setiap akhir pekan papa jalan-jalan sama dia, liburan rame-rame, makan malam berdua. Papa selalu punya waktu untuk dia, tapi selalu sibuk jika itu tentang kami." Panjang lebar Selva menjabarkan fakta untuk memperkuat tuduhannya. Satya kembali tertohok dengan ungkapan isi hati putrinya. Meski tidak seperti Belva yang berteriak dan menggebu-gebu, cara pengucapan dan nada bicara Selva lebih menyakitkan. Satya sedang dilucuti oleh putrinya sendiri. Satu persatu tindakan yang membuat anak-anaknya kecewa dijabarkan Di mana dia meletakkan logikanya saat itu, hingga bisa begitu tega mengabaikan anak-anaknya, darah dagingnya demi Ayunda. Dia tidak mudah luluh dengan bujukan wanita, kecuali Ayunda. Wanita itu yang mendukungan dan membantunya bangkit dari keterpurukan. Selain karena balas budi, Satya merasa kasihan karena sahabatnya itu sebatang kara di kota ini "Papa nggak tahu, kan, kalau kami pernah dikatain anak pungut, anak haram, anak pembantu, karena Papa nggak pernah hadir di acara sekolah kami. Di sini sakit, Pa. Sakit." Kalimat terakhir Selva ucapkan dengan suara tercekat dan sambil menunjuk-nunjuk dadanya. Satya tidak sanggup lagi membendung air matanya. Setiap kebenaran yang diungkapkan Selva benar-benar menusuk, mengoyak dan mencabik-cabik hatinya. Debaran jantungnya semakin cepat dan rasanya seperti akan meledak. Sangat menyakitkan, bahkan lebih sakit daripada saat mengetahui Sinta berselingkuh. "Kami punya orang tua lengkap, tapi rasanya seperti yatim piatu. Mungkin mereka yang di panti asuhan lebih beruntung karena banyak yang menyayangi dan nggak kesepian.” Selva menyingkir dari hadapan Satya, tidak memberikan kesempatan pada sang papa untuk membela diri. Saat tangannya sudah memegang gagang pintu, Selva kembali mengatakan sesuatu yang semakin menambah kesakitan Satya. “Papa nggak usah sok peduli dan perhatian. Karena kami sudah terbiasa tanpa kehadiran Papa." Tepat setelah pintu kembali tertutup, Satya limbung. Dia memegang pinggiran meja untuk menopang tubuhnya yang tiba-tiba kehilangan tenaga. Satya berjalan perlahan, merambat menuju kursinya. Tulang dan otot-otot kakinya seakan melunak dan membuatnya kesulitan berdiri. Dia duduk dengan kedua siku bertumpu pada meja. Meremas kuat rambut dengan tangan. Air mata berlinang, jatuh dan menggenang di permukaan meja. Dari sekian banyak perkara yang Selva ungkapan, tidak ada ada satupun yang berkaitan dengan kebahagiaan. Semuanya tentang kepayahan gadis kembar itu dalam menjalani hari-hari mereka. Mirisnya lagi, di setiap peristiwa yang menimpa keduanya Satya-lah sebagai penyumbang sebab terbesar dan dia baru menyadari itu setelah setelah mereka menganggapnya tidak ada. Terlalu banyak yang tidak dia ketahui tentang kedua putrinya. Satya menangis menyesali kebodohannya. Dia pikir dengan limpahan materi dan kebutuhan yang terpenuhi dengan baik, sudah cukup untuk mereka. Lupa jika kedua putrinya juga butuh kehadiran dan perhatiannya. Belum lagi reda rasa yang berkecamuk di d**a, tiba-tiba saja pintu kembali terbuka. "Sudah tau bagaimana menderitanya anak-anakmu selama ini?" Wanita yang melahirkannya itu langsung duduk di depan Satya. "Sadar siapa yang jadi penyebabnya?" Satya hanya bisa menunduk saat diberondong pertanyaan yang tidak sanggup dijawab. Risma, dia sudah berada di rumah ini sejak Belva berteriak mengungkapkan isi hatinya. Niatnya ke rumah ini adalah untuk meminta kepastian dari Satya tentang perjodohan. Sama seperti Satya, Risma pun terluka mendengar pengakuan menyakitkan dari cucu-cucunya. Dia pun sama menyesalnya dengan pria yang ada di hadapannya ini. Jika saja dia tidak terlalu keras dan tegas dalam mendidik cucu kembarnya, mungkin jarak mereka tidak akan selebar ini. Ketika sepasang Ibu dan anak itu sibuk merenungi kesalahan masing-masing, ponsel Satya Bergetar. Di sengaja masih memasang mode diam karena tahu jika orang yang berusaha menghubunginya semalam tidak akan menyerah. Netra Satya dan Risma sama-sama tertuju pada benda pipih yang berada di atas meja. Dari balik kaca matanya, Risma bisa melihat nama kontak si penelepon. Berhenti bergetar untuk beberapa detik karena pengabaian Satya, benda canggih itu kembali bergetar. "Angkat dan speaker!" titah Risma dingin. Satya mengembuskan nafas kasar sebelum menuruti perintah sang ibu. "Kamu ke mana aja, sih, Sat?" Kalimat pertama yang terdengar saat Satya menjawab panggilan itu. "Di rumah." Singkat. "Gimana, sih! Kemarin kamu kan sudah janji mau nemenin aku makan malam." Protes dari Ayunda membuat Risma tersenyum sinis. "Maaf aku sibuk." Terdengar decakan diseberang telepon. "Nggak usah bohong. Kamu kira aku nggak tau kalau kamu pulang lebih awal." Wanita ini pasti menelepon salah satu teman kantornya. "Pokoknya aku nggak mau tau, sore ini kamu harus ke rumah, temenin aku jalan-jalan ke mall." Satya melirik ibunya sekilas. "Maaf, aku nggak bisa. Aku harus mengurus pernikahanku." Ayunda tertawa. "Kamu beneran mau nikah sama bocah ingusan itu? Denger, ya, Sat, ini hidup kamu yang jalani kamu. Selama ini kamu baik-baik aja tanpa kehadiran istri. Lagian, ngapain nikah sama bocah pilihan ibumu kalau kamu aja nggak ada rasa. Kamu mau gagal lagi, terpuruk lagi? Sekali-kali membangkang nggak papa, Sat. Demi kebahagiaan kamu sendiri." Perkataan Ayunda membuat sesuatu di dalam d**a Risma bergemuruh. Ternyata begini cara dia mempengaruhi Satya. Risma menahan diri untuk tidak menyahuti perkataan wanita itu. "Pokoknya kamu harus temenin aku sore ini." Paksa Ayunda kemudian. "Maaf. Malam ini aku harus nemenin anak-anak nonton." Satya beralasan. "Astaga, Sat! Anak-anak kamu sudah besar, biarin mereka jalan sendiri sama teman-temannya. Anak remaja itu nggak suka jalan diikuti orang tuanya. Biarin mereka mandiri, jangan dimanja." "Maaf, Yun. Aku nggak bisa." Satya memutuskan sambungan telepon sepihak. Karena jika diteruskan, Ayunda akan terus mendesak dan mempengaruhinya dengan mengatakan hal-hal yang pasti akan membuat sang ibu semakin meradang. "Jadi … wanita seperti itu yang selalu kamu bela? Wanita yang membuatmu jauh dari keluarga terutama anak-anak." Risma menjeda, menunggu Satya menanggapi ucapannya. Namun, pria itu malah menunduk. "Beri ibu kepastian. Jika memang kamu memilih sahabatmu itu … tinggalkan anak-anak. Ibu ndak mau mereka terluka lebih dalam lagi." Risma beranjak dari duduknya. "pikirkan baik-baik."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN