Rachel berjalan pelan sambil bersenandung kecil. Ia menyanyikan lagu You are My Everything-nya Gummy. Pagi ini Seung-Hun tidak datang ke apartemennya, ia juga tidak menelepon. Mungkin Seung-Hun akan berangkat siang nanti. Lagipula jarak rumah Seung-Hun dan apartemennya cukup jauh. Jadi wajar saja jika Seung-Hun tidak bisa datang setiap hari.
Sebuah mobil hitam berhenti di depan pintu gerbang utama kampus Rachel. Kalau tidak salah mobil itu seperti mobilnya Ji-Yeon. Rachel menyipitkan mata untuk memastikan. Benar! Itu memang mobil Ji-Yeon.
Il Ji-Yeon terlihat keluar dari pintu depan. Berbicara pada seseorang di balik kemudi sebentar lalu pergi. Rachel melangkah cepat untuk menyusul Ji-Yeon. Semalam ia lupa tidak memberitahukan padanya kalau Karin sudah mengirim foto sewaktu di Namsan.
Tiba-tiba pintu mobil terbuka ketika Rachel tak jauh dari mobil itu. Rachel terkkejut sampai berhenti berjalan. Seorang laki-laki berpakaian rapi keluar dengan wajah kesal. Wajahnya agak mirip dengan Ji-Yeon. Oh, pasti dia adalah kakak Ji-Yeon.
Laki-laki itu menoleh menatap Rachel. Rachel tertegun, sebaiknya ia cepat pergi jika tidak ingin dianggap aneh karena memperhatikan orang yang tidak dikenal.
“Hime?”
Langkah Rachel melambat. Apa orang itu, maksudnya kakak Ji-Yeon memanggilnya? Tanya Rachel dalam hati.
“Maaf, tunggu,” Il Woo-Sung berlari mengejarnya dan berhenti tepat di depan Rachel.
Mata Rachel melebar memandang laki-laki itu. Dia memang sangat tampan seperti Ji-Yeon, tapi dia terlihat lebih dewasa dan membuat jantung Rachel berdegup lebih cepat dari biasa. Astaga, tentu ini hal yang wajar. Perempuan mana yang tidak gugup ketika tiba-tiba dihadang oleh laki-laki yang sangat tampan? Oke, penggunaan kata dihadang itu memang kurang tepat. Apapun itu yang intinya sama dengan yang Rachel alami sekarang.
“Kau Hime, bukan?”
Rachel memutar otak. Hime? Kenapa kakak Ji-Yeon memanggilnya Hime? Apa Ji-Yeon mengenalkan Rachel padanya sebagai Hime?
“Namamu bukan Hime? Apa aku salah orang?” kata Woo-Sung lebih pada dirinya sendiri. “Apa kau mengenal Ji-Yeon?”
Rachel mengangguk.
“Lalu kenapa Ji-Yeon memanggilmu Hime?” sudah ia duga, ia memang tidak salah orang. Woo-Sung kembali memusatkan perhatiannya pada gadis berambut pendek yang terlihat bingung di hadapannya.
Rachel mengerjap. Ia jadi semakin gugup ditatap begitu. “Um... itu karena...” Rachel mengalihkan pandangannya sebentar lalu kembali menatap sepasang mata sipit yang menunggu jawabannya. “Itu karena aku dan Ji-Yeon teman dekat,” Rachel sangat bingung. Tentu ia tidak mungkin menceritakan tentang Ji-Yeon yang menyukai anime dan manga sampai ia memanggilnya Hime.
Woo-Sung tersenyum, tentu ia memaklumi jika pacar Ji-Yeon yang baru pertama kali bertemu dengannya ini tidak mau mengakui hubungannya dengan Ji-Yeon. Selain itu mungkin saja gadis itu belum mengenali dirinya sebagai kakak Ji-Yeon. “Kalau begitu apa aku boleh meminta tolong padamu?” Woo-Sung mengulurkan ponsel Ji-Yeon padanya. “Ponsel Ji-Yeon tertinggal, aku tidak bisa mengantarkannya ke dalam karena aku hampir terlamabat,” Woo-Sung memikirkan ulang perkataannya, mungkin ia tidak perlu menjelaskan alasannya tidak bisa mengantarkan ponsel itu sendiri.
Rachel mengangguk mengerti. “Baiklah.”
Woo-Sung tersenyum cerah dan memberikan ponsel Ji-Yeon pada Rachel. “Terima kasih, kau baik sekali,” katanya ringan.
“Sama-sama, saya pergi dulu,” Rachel membungkuk singkat lalu pergi.
Tubuh Woo-Sung berputar mengikuti langkah Rachel yang menjauh. Sebelah tangannya terangkat memijit pelipis. Ia lupa menanyakan nama asli gadis itu. Tak apa. Nanti –cepat atau lambat- ia juga akan mengetahui tentang gadis itu.
* * *
Rachel kembali berjalan pelan sambil bersenandung kecil. Matanya menyipit begitu melihat Ji-Yeon berjalan –setengah berlari- ke arahnya. Wajahnya terlihat cemas. Ji-Yeon berhenti di hadapannya. Rachel juga ikut berhenti.
“Hime, apa kau melihat mobil kakakku masih di depan?”
“Kurasa dia sudah pergi.”
Wajah Ji-Yeon terlihat semakin cemas.
“Tadi aku bertemu dengan kakakmu...”
“Apa?”
Seolah tidak peduli dengan kekagetan Ji-Yeon, Rachel kembali melanjutkan. “Lalu dia menitipkan ini padaku,” Rachel memberikan ponsel itu pada Ji-Yeon.
“Kau bertemu dengan kakak? Apa yang dia katakan?” kata Ji-Yeon dengan nada mendesak.
“Tidak ada.”
“Tidak ada? Sungguh?”
Rachel mengangguk.
Ji-Yeon terlihat sedikit lega. “Kau tidak melihat isi ponselku, kan?” tanyanya hati-hati.
Kening Rachel berkerut samar. “Tidak. Memangnya kenapa?” ia memandang Ji-Yeon curiga.
Ji-Yeon tersenyum dan menggeleng. “Tidak apa-apa.”
Rachel menyipitkan mata memandangnya. “Pasti ada rahasianya.”
Senyum Ji-Yeon bertambah lebar dan wajahnya berubah lega. Sangat lega. Tidak ada kecemasan sedikitpun di sana.
“Oh ya, Karin sudah mengirim foto-foto sewaktu di Namsan.”
“Baiklah, aku akan melihatnya nanti setelah jam kuliahku selesai. Aku akan datang ke apartemenmu, bagaimana?”
“Um, sebenarnya nanti aku akan pergi ke toko buku...”
“Kalau begitu sekalian saja aku ikut denganmu,” sela Ji-Yeon cepat.
“Oke. Nanti kita pergi bertiga bersama Seung-Hun juga.”
“Oke,” sahut Ji-Yeon ringan.
* * *
Sebuah pesan masuk bersamaan di ponsel Ji-Yeon dan Seung-Hun, serempak mereka mengambil ponsel di saku jaket masing-masing dan membukanya.
“Rachel menunggu di taman.”
“Hime menunggu di taman.”
Kata mereka bersamaan. Keduanya lalu saling pandang dan tertawa.
“Sepertinya kita mendapat pesan yang sama,” Seung-Hun menjatuhkan pandangan ke ponselnya lagi sebelum akhirnya memasukkan benda itu kembali ke dalam saku jaket.
Ji-Yeon mengangguk-anggukkan kepala. “Sebaiknya kita cepat. Kasihan Hime menunggu sendirian.”
Mereka berjalan bersama menuju taman kampus yang tidak terlalu jauh dari temapt mereka sekarang. di sebuah kursi taman terlihat seorang gadis sedang duduk sambil menumpukan tangannya di atas lutut. Mereka sangat mengenali gadis itu adalah Rachel.
“Hime.”
“Rachel.”
Panggil Ji-Yeon dan Seung-Hun bersamaan. Lagi-lagi kedua laki-laki itu saling pandang lalu tertawa. Rachel menoleh dan tersenyum.
“Sekarang kita akan ke apartemenku dulu atau ke toko buku?” Rachel memandang Ji-Yeon dan Seung-Hun bergantian.
“Kurasa kita akan makan siang dulu,” Seung-Hun memandang Rachel seakan tahu ia belum makan siang. Ya, dugaan Seung-Hun memang selalu benar.
“Baiklah, kita akan makan di mana?” Rachel beranjak dari duduknya.
“Di kafe dekat sini saja,” usul Ji-Yeon cepat. Sebenarnya ia juga merasa agak lapar jadi ingin cepat-cepat makan sebelum ia kelaparan.
Satu-satunya kafe yang dekat dengan kampus mereka adalah kafe itu. Kafe yang kemarin Rachel melihat Seung-Hun bersama seorang perempuan.
Seung-Hun menggoyangkan tangannya di depan wajah Rachel. “Kenapa melamun?” tanyanya sambil tersenyum.
Gara-gara teringat perempuan itu membuat Rachel ingin meninju Seung-Hun jika melihatnya tersenyum. Ah, tidak-tidak! Sama sekali bukan salah perempuan itu atau Seung-Hun. Otaknya saja yang suka berpikir aneh tanpa di perintah.
Rachel mendongak memandang Seung-Hun dan memaksakan seulas senyum. “Sudahlah, sebaiknya kita cepat. Aku ingin makan buku baru.”
Dua temannya tidak protes, mereka mengikuti langkah Rachel yang cepat sampai posisi mereka berdampingan. Tiga menit yang terasa lama bagi Rachel berlalu dan kini mereka sampai di kafe itu.
Untungnya Rachel tidak berpikir aneh –seperti kemarin- selama ia berada di kafe itu. Jika tidak sudah pasti ia akan membuat Seung-Hun dan Ji-Yeon kebingungan. Saat ini mereka sedang berjalan menuju toko buku, dengan posisi Rachel di tengah tentunya. Seperti biasa.
Tiba-tiba ponselnya berdenting. Rachel mengeluarkan ponselnya dari saku sweater. Keningnya berkerut ketika melihat rangkain nomor yang tertera di layar ponsel. Langkah Rachel semakin lambat. “Nomor ini lagi...” suaranya terdengar seperti bisikan. Ibu jarinya bergerak mengusap layar lalu sebelah tangannya terangkat menempelkan ponsel ke telinga. Hening sesaat. Seolah waktu berhenti ketika itu.
“Bagaimana kabarmu?”
Rachel tertegun. Tubuhnya membeku. Bahkan suara napasnya pun tidak terdengar.
Suara ini...
“Bagaimana kabarmu? Kau baik-baik saja, kan?”
“Hime,” suara Ji-Yeon menyadarkannya.
Sebelah tangan Rachel yang bebas terangkat menepuk pipinya sendiri. Ia ingin menanyakan siapa orang ini sebenarnya. Tapi tidak bisa. Lehernya terasa sakit seperti dicekik. Mungkin karena suara ini mirip dengan seseorang. Sewaktu di Namsan ia juga merasa begitu. Namun kali ini suaranya terdengar lebih jelas. Sungguh! Sangat mirip dengan seseorang.
Kendalikan dirimu Rachel! Teriaknya dalam hati. Ia memandang Seung-Hun dan Ji-Yeon yang mulai berjalan ke arahnya dengan tatapan bertanya-tanya.
“Maaf, Anda ini siapa?” Rachel berusaha keras agar suaranya terdengar biasa.
Seung-Hun membuat isyarat bertanya dengan gerakan tangannya.
Rachel mengangkat bahu.
“Dari siapa Hime?”
Pandangan Rachel beralih pada Ji-Yeon. Tepat saat itu tanpa sengaja, ia melihat seseorang di seberang jalan. Postur tubuhnya sangat mirip dengan...
“Onisan.”
“Siapa?” Ji-Yeon menatapnya bingung.
Tanpa sadar ponsel di genggamannya jatuh menghantam trotoar. “Onisan!” teriakannya tertaha. Ia tidak bisa berteriak karena lehernya terasa semakin sakit. Jangankan berteriak untuk bicara saja terasa sulit sekali.
Laki-laki di seberang jalan itu terlihat memasukkan sesuatu ke dalam saku jaket hitamnya. Ia berbalik. Tepat saat itu tubuh Ji-Yeon menutup pandangannya. Rachel langsung mendorong lengan Ji-Yeon agar menyingkir dari hadapannya. Ia tidak mendengar apa yang Ji-Yeon katakan.
Laki-laki itu mulai melangkah pergi. Rachel gagal melihat wajahnya. Walaupun begitu Rachel sangat yakin jika orang itu adalah Yamaken. “Onisan...” Rachel mendapati suaranya terdengar parau. Apa yang harus ia lakukan? Apa ia harus mengejarnya? Tapi bagaimana jika kemungkinan buruk yang paling ia takuti terjadi? Ah, tidak. Ia tidak bisa diam saja!
Langkahnya mulai terbuka melewati Ji-Yeon. Pandangannya hanya tertuju pada orang itu, seseorang yang langkahnya terus menjauh. Langkah Rachel semakin cepat. Semakin cepat bersamaan dengan rasa sakit yang menghujam hatinya.
“HIME!”
Tiba-tiba Ji-Yeon menarik tangannya. Rachel mengerjap berusaha menyingkirkan air mata yang mulai menghalangi pandangannya.
“Hime, apa yang kau lakukan? Kau hampir terserempet mobil!” Ji-Yeon mengguncangkan lengan Rachel.
“Astaga apa yang aku lakukan...” kata Rachel pada dirinya sendiri. Ia bingung. Ia kalut. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan... jantungnya sakit. Sakit sekali...