Malam ini Vano mengajak Kala ke sebuah kafe klasik yang ada di tengah kota, tetapi sebelum itu dia sudah ambil alat penyangga Kala di mobil Biru.
Kala menikmati alunan musik andante yang mengalun dengan tempo lambat, menambah kesan romantis. Kalau dilihat ke sekeliling ruangan kafe ini dipenuhi oleh muda-mudi yang sedang kasmaran atau yang nongkrong bersama teman-temannya.
Sebenarnya Kala masih bingung, kenapa Vano megajaknya ke sini, padahal kalau untuk makan bisa di rumah tanpa harus ke kafe.
"La, sebentar lagi kan aku wisuda." Vano menggantungkan ucapannya beberapa detik. "Kalau aku ngajak kamu serius, kamu mau enggak?"
Kala yang sedang meneguk lemon tea langsung tersedak karena mendengar ucapan Vano. "Maksud Abang?"
"Aku udah sayang sama kamu sejak kamu masih bayi, aku kira itu hanya perasaan abang ke adiknya, ternyata makin ke sini aku makin yakin kalau rasa yang aku miliki adalah perasaan cinta."
Kala tidak menyangka bahwa Vano memandangnya sebagai seorang perempuan yang ia cinta, ia kira perhatian dan kepedulian Vano selama ini karena saudara.
Kala masih bergeming, karena dia menganggap Vano hanya sebatas sepupu.
"La, jangan karena kita sepupu kamu nolak aku ya, kita enggak kandung, jadi sah-sah aja nikah."
Kala menggeleng. "Bukan, Bang. Tapi aku emang anggap Abang sebatas kakak, enggak lebih, dan Abang bisa dapatin perempuan yang lebih baik dari aku, aku cuma cewek SMA yang cacat, enggak ada apa-apanya dibanding Abang yang calon dokter."
Vano tertegun mendengar ucapan Kala yang menolaknya, ia tidak pernah membayangkan bahwa Kala akan menolaknya seperti ini. Padahal ia sudah punya planning setelah Kala tamat SMA, ia akan melamar.
"Lagian, aku masih jauh mikir ke arah yang serius, Bang, aku baru 17 tahun, enggak mau nikah muda kayak bunda."
Vano menghela napas, ternyata ditolak orang yang kita sukai sesakit ini. Vano tidak pernah pacaran karena ia hanya menyukai Kala selama ini. Kala cinta pertama yang ia harapakan menjadi cinta terakhirnya.
"La, izinkan aku masuk ke hatimu, beri aku kesempatan."
Kala menggeleng. "Kalau untuk orang yang aku anggap lebih dari saudara enggak, Bang."
Vano meraih jemari Kala lalu menatapnya dengan lembut. "Gini deh, kita coba sebulan berlaku layaknya orang pacaran, kalau dalam waktu sebulan rasa kamu masih sama. Aku bakal mundur."
Kala masih bergeming, karena ia teringat ucapan Biru yang mengatakan bahwa dirinya adalah milik saudara kembarnya itu.
Mana mungkin saudara sedarah bersatu, rasa gue ke Biru akan berakhir sia-sia, mungkin dengan gue menerima abang akan membuat hati gue berpaling.
"Please, La," mohon Vano.
Akhirnya Kala mengangguk. "I will try."
Sebuah senyuman lebar pun terukir dari bibir Vano, sebulan ini ia akan melakukan yang terbaik, agar Kala bisa jatuh cinta kepadanya.
***
Biru menemui orangtuanya yang sedang melakukan penyatuan bibir di sofa ruang tengah, kemudian ia duduk di samping Kejora yang langsung melepaskan aksinya.
"Eh, Biru. Ayah belum marahin kamu, ya, karena kamu ajak Kala naik motor," ujar Kennard dengan tatapan tajam andalannya saat memarahi Biru.
Biru mengendikkan bahunya. "Tapi kan Kala baik-baik aja." Biru langsung mengganti topkik. "Bibir Bunda sampai bengkak, gila Ayah good kisser banget ya," ujar Biru yang membuat pipi Kejora memerah malu, ia langsung menyeka bibirnyaa.
Kennard mengangguk dengan Bangga. "Oh iya dong, makanya kamu dulu cepat jadi, made in paris."
"Kalau Kala?"
Kejora dan Kennard langsung terdiam mendengar pertanyaan Biru, seakan mereka kehabisan kata-kata untuk menjawab pertanyaan Biru.
Biru terkekeh pelan. "Aku tahu kok kalau Kala itu anak angkat."
Kejora membulatkan matanya. "Sejak kapan?"
"Setahun yang lalu, aku enggak sengaja dengar pembicaraan kalian."
Kennard memyeringai jahil. "Karena kamu tahu itu, makanya kamu berani suka sama dia?"
Biru menggeleng. "Idih, sejak kapan?"
"Kamu itu copy-annya Ayah, gengsi tinggi."
Biru terkekeh, buah tidak jatuh jauh dari pohonnya. "Waktu Kala kecil, aku suka bikin dia nangis, pas remaja aku ngerasa ada yang salah sama perasaanku, tapi aku coba tepis, ya karena menurutku, masa aku suka ke saudara aku sendiri, tapi setelah tahu bukan kandunga, aku senang berarti ada peluang."
Kejora mengernyit. "Definisi sayang kamu itu gimana, sih? Setiap kali disuruh antar Kala ke rumah sakit harus ancam dulu, baru mau."
"Kan enggak antar ke rumah sakit bukan berarti enggak sayang, Bun."
"Terus bareng Kala ke sekolah harus diancam juga," tambah Kennard.
"Kan itu udah jelas alasannya," bela Biru.
"Nanti jangan nangis kalau kamu kalah dari Vano, dia ajak Kala kencan malam ini, paling kamu diserobot duluan." Kejora memanas-manasi Biru hingga laki-laki itu langsung beranjak dari tempatnya.
Biru langsung menerobos jalanan Jakarta dengan kecepatan tinggi, setelah ia Kala chat Kala untuk menanyakan tempat kencannya malam ini.
Setelah sampai, Biru langsung masuk ke dalam kafe, kepalanya clingak-clinguk mencari dua manusia yang membuatnya kesal malam ini.
Terlihat Kala dan Vano sedang duduk di meja dekat jendela sembari tertawa, entah apa kekonyolan yang mereka bicarakan sehingga Kala begitu lepas malam ini. Hal itu semakin mambuat Biru kesal.
Ia pun langsung ke arah mereka, dan duduk di sebelah Kala, yang membuat keduanya terkejut.
"Kok jahat banget, enggak ajak-ajak gue, kan gue juga pengin jalan," kesal Biru yang seperti dibuat-buat.
Vano juga kesal dengan kedatangan Biru, rasanya Biru memang sengaja ingin mengacaukan kencannya malam ini.
"Biru, kenapa lo ke sini?" tanya Vano yang rasanya ingin menonjok wajah tampan sepupunya itu.
"Ya, ketemu kalian lah, emangnya apa lagi?"
Biru mengambil minumannya Kala, kemudian dengan sengaja siram ke bajunya Vano.
"Ups, sorry, Bang Vano, enggak sengaja."
Vano menghela napas kesal, ia tahu Biru sengaja, ia pun mengambil tisu untuk membersihkan noda di kemejanya yang berwarna terang itu.
"Bang, mending ke toilet deh, kalau pakai tisu doang enggak bisa hilang," ujar Biru, lalu menatap Kala. "Iya kan, La?"
"Iya, Bang."
Vano pun beranjak. "Oke, aku ke toilet dulu."
Setelah memastikan punggung Vano sudah menghilang dari pandangannnya, buru-buru Biru langsung menggendong Kala dan meninggalkan alat penyangga begitunsaja. "Lo harus dihukum karena enggak nurut!"
"Ru, itu alat penyangganya!"
"Nanti, dibawa pulang Bang Vano."
Ini adalah kali kedua Biru mengajak Kala naik motor, kalau sebelumnya Kala masih canggung untuk memeluk Biru, tetapi sekarang dia sudah berani mengeratkanya pelukannya ke perut laki-laki itu.
"Ru, gue enggak pakai helm, engga ada polisi?"
"Aman, tenang aja."
"Kita mau ke mana?"
"Mau hukum lo."
Kala tidak lagi menanggapi, dia langsung menyenderkan kepalanya ke punggung Biru, masih dengan rasa yang sama, yaitu nyaman.
Ternyata Biru membawa Kala pulang ke rumah, ia langsung menggendong Kala ke kamarnya.
"Ini apa, La?" tanya Biru setelah menurunkan Kala ke kasur.
"Oh itu kado dari Bang Vano, isinya novel."
"Ini gue jual aja, gue beliin buat lo yang lebih banyak dari ini."
Kala mendelik. "Jangan, Ru, itu harganya mahal, gue baca yang itu aja."
"Biru enggak suka dibantah sama Kala," ujarnya.
Biru menutup pintu kamar Kala, lalu ia membaringkan tubuhnya di samping gadis itu, lalu memeluk gadis itu dengan erat. "Mending lo tidur."
"Mau ganti baju dulu."
Biru pun langsung beranjak untuk membuka baju Kala, gadis itu tidak menolak.
Dan sial, saat baju Kala terlepas, yang menjadi pembungkus hanya bra berwarna hitam. Biru menelah salivanya saat menatap tubuh mulus Kala sedekat ini.
"Kenapa, Ru?"
"Enggak apa-apa."
"Sekalian bantu lepasin celana, Ru."
Walaupun sekarang status mereka adalah saudara, tetap saja Biru adalah laki-laki normal.
Biru pun langsung melepas celana Kala, dan telihat pembukusnya hanya celana dalam yang berwarna senada dengan atasannya.
"Sekalian ambil baju baby doll di lemari, Ru."
Biru pun langsung turun dari kasur, dan beranjak ke lemari, ia membantu Kala untuk mengenakan pakaian itu.
Setelah selesai ia langsung berlari keluar.
"Biru, kenapa lari-lari?" tanya Kejora.
"Gerah, mau mandi."
Kennard tersenyum tipis. "Ayahnya banget dia itu."
"Iya lah, hobi mandi malam, enggak takut masuk angin."
"Daripada masuk yang lain kan bahaya!"
Kennard mesumnya dari zaman baheula, sampai sekarang enggak hilang-hilang, pantas saja sifat Kennard itu melekat sekai pada anaknya.
Setelah sampai di kamarnya, Biru langsung masuk ke kamar mandi.
"Ah gila, kotor sekali pikiran lo, Biru."
Tujuan dari mandi malam ini adalah melemaskan apa yang tegang.
***