Laura menatap Banyu yang tengah bercengkrama dengan Miranda sesaat setelah mereka sampai di rumah, sesekali ia ikut tertawa ketika ada hal yang menurutnya lucu.
"Abang sayang banget sama Mama, Abang pasti akan berpikir ribuan kali untuk menjadi seorang penghianat. Karena Abang tau, bukan hanya aku yang akan terluka karena hak itu tetapi juga Mama." Laura bersenandika, ia tahu betapa Banyu adalah seorang lelaki yang setia, selalu bisa memegang teguh sebuah komitmen, terlebih lagi ia memilik cinta yang sungguh luar biasa.
Sebenarnya ingin sekali Laura menanyakan hal itu pada Miranda, siapa tahu dia mengenal wanita yang terlihat dekat dengan Banyu itu, tetapi tentu saja itu bukan hal yang baik. Miranda juga pasti akan merasa sedih bahkan mungkin sakit hati jika melihat foto itu maka Laura putuskan untuk menutup rapat hal itu.
Menyembunyikan masalah ini dari siapa pun terutama Miranda sebelum semuanya menjadi jelas, bahkan kepada Banyu pun ia tidak berkata apa-apa.
Ada dua kemungkinan yang Laura pikirkan, pertama jika Banyu benar-benar selingkuh pasti dia akan segera berusaha menutupinya jika tahu Laura sudah mencium kebusukan yang ia sembunyikan.
Yang kedua adalah kemungkinan jika orang itu hanya berencana menghancurkan rumah tangganya, maka dia tidak akan dengan mudah masuk ke dalam perangkap yang ia tebarkan.
Tetapi tetap saja ada bibit-bibit keraguan yang mau tidak mau muncul seiring dengan beberapa foto yang telah ia terima dari nomor yang tidak dikenalnya.
Berkali-kali pula Laura berusaha bertanya siapa dan apa maksud dari pengirim foto itu, tetapi belum juga ada jawaban yang ia terima.
Laura mengambil ponsel dalam tas yang ada di sampingnya lalu mengetik pesan untuk seseorang.
[Besok di rumah enggak? Aku pengen ketemu.]
Tidak begitu lama sebuah balasan Laura terima.
[Ke kantor aja, agak siangan.]
Laura tersenyum tipis lalu kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas.
"Sayang, makan dulu, Mama udah bikin ayam kremes sama sambel bawang," ujar Miranda pada menantunya itu, Banyu yang duduk di samping sang Mama turut menatapnya.
"Nanti, deh, Ma. Aku mau mandi dulu, badan aku lengket ini," jawab Laura seraya bangun dari sofa dan berjalan meninggalkan mereka berdua.
"Kamu enggak mandi?"
"Entar aja, deh, Ma kalau mau tidur."
Laura yang sedang meniti anak tangga masih bisa mendengar perbincangan Miranda dan sang putra.
.
"Gimana resort-resort dan semua bisnis kamu, Sayang?" tanya Laura yang sudah selesai mandi, mengganti pakaiannya dengan sebuah setelan piyama berbahan rayon lembut bergambar bunga matahari.
"Sejauh ini, semuanya berjalan baik, Ma. Semua sektor menunjukkan perkembangan yang signifikan, kita akan mengunduh hasil yang bagus," jawab Laura berbinar-binar, dengan bersemangat ia mengisi piring Banyu dengan nasi dan aneka lauk pauk yang tersedia di atas meja.
"Wah, hebat. Selamat, ya, Sayang. Semoga semuanya selalu dan semakin diberikan kemudahan," jawab Miranda yang merasa senang melihat Laura yang begitu bahagia.
"Aamiin, terima kasih, Mama. Aku tau dari doa Mama semuanya bisa sebaik ini," jawab Laura yang kini tengah mengisi piringnya.
"Ini juga karena kamu yang hebat, Sayang. Iya, 'kan, Banyu. Banyu aja sampe enggak berhenti puji-puji kamu lho," ujar Miranda seraya melirik sang putra yang tengah menahan senyumnya.
"Ih, Abang, mah. Bikin aku malu aja," gerutu Laura sebelum menyuap nasi dengan ayam geprek sambel bawang buatan sang Mama mertua dengan tangannya, dalam diam wanita itu mengunyah lalu mengernyitkan dahi merasakan sesuatu yang aneh.
Melihatnya Miranda juga ikut mengernyit, dan bertanya, "kenapa, Sayang? Enggak enak?"
"Enak, kok, Ma. Seperti biasanya," jawab Laura dengan mulut yang masih dipenuhi makanan lalu kembali mengunyah.
Mereka melanjutkan makan, hanya sesekali berbincang ringan dengan Laura yang lebih banyak diam.
* Dita Andriyani *
"Sayang, kamu kenapa?" tanya Banyu yang melihat Laura berjalan cepat menuju kamar mandi begitu Banyu membuka pintu kamar mereka, tidak ada jawaban yang Laura berikan ia meninggalkan sang suami yang masih berdiri mematung menatapnya.
Banyu menyusul Laura ke kamar mandi, takut jika terjadi hal yang tidak diinginkan meski ia melihat jika Laura masih segar bugar seperti biasa, tidak ada tanda-tanda wanita itu sakit. Banyu menghela napas lega melihat sang istri yang tengah menggosok gigi.
"Abang, kupasin aku apel," pinta Laura dengan mulut yang masih dihiasi busa dari pasta giginya.
"Iya, Sayang. Segera!" jawab Banyu yang segera kembali turun ke bawah untuk mencari apel di kulkasnya.
.
Banyu kembali dengan sepiring kecil potongan buah apel yang sudah ia kupas dan potong kecil-kecil beserta buah kiwi dan pir menemani meskipun Laura tidak memintanya, ia membuka pintu kamar dan mendapati sang istri yang tengah meneguk air putih dari gelasnya.
"Ini, Sayang, apel yang kamu minta. Sengaja Abang kasih bonus pir dan kiwi," ujar Banyu seraya menyerahkan piring yang ia pegang.
"Terima kasih, Abang selalu memberi lebih dari apa yang aku minta dan aku butuhkan," jawab Laura seraya mulai memakan buah yang ia minta.
"Kamu kenapa tadi di meja makan?" tanya Banyu sambil menatap wajah sang istri.
"Enggak tau, Bang. Rasa bawang di sambel yang Mama bikin, tuh, bikin aku mual sama pusing," jawab Laura ringan sambil terus menyantap buah dengan tujuan untuk menghilangkan rasa bawang di mulut dan tenggorokannya.
"Terus kenapa kamu enggak bilang, malah diterusin makan?" tanya Banyu lembut seraya mengelus kepala sang istri.
"Aku enggak mau bikin Mama sedih, Mama, 'kan, udah bikin masakan itu dari sore, dan makanan itu, tuh, aku yang minta. Jadi tadi siang aku kirim pesen ke Mama minta bikinin ayam krispi yang digeprek pake sambel bawang biasanya enak banget, Bang," ujar Laura setengah berbisik takut jika tiba-tiba Miranda mendengarnya.
"Eh, tapi, tadi juga enak. Masakan Mama selalu enak tapi kayak mulut aku aja yang enggak bisa nerimanya," keluh Laura kemudian.
"Enggak apa-apa, Sayang, Abang ngerti. Nanti Abang bilang sama Mama buat bikinin lagi besok tapi bawangnya jangan banyak-banyak," ujar Banyu.
"Jangan, nanti Mama sedih." Laura melarang rencana Banyu karena tidak ingin membuat Miranda kecewa, ia masih saja memikirkan perasaan sang ibu mertua meski harus menahan rasa tidak enaknya sendiri.
"Enggak, Mama enggak akan sedih, justru Mama akan tambah sedih kalau tau kamu menahan rasa tidak nyaman kamu hanya demi menjaga perasaan Mama. Lain kali jangan begitu lagi, ya," pinta Banyu, Laura mengangguk pelan.
"Sini Abang peluk," pinta Banyu seraya mengulurkan tangannya.
"Enggak mau, aku lagi makan buah!" jawab Laura enteng tanpa sedikitpun melirik Banyu yang tersenyum geli menertawakan diri sendiri, setelah seharian ia dibuat pegal kerena Laura yang tidak mau melepas pelukannya kini malah ia mendapat penolakan saat ingin memeluknya.
Banyu tetap menatap sang istri yang sedang menikmati buahnya yang hanya sedikit tersisa, ia merasa bahagia dengan sebuah harap yang menyelusupi sanubari jika apa yang Laura rasakan itu adalah gejala dari sebuah kehamilan, tetapi Banyu tidak ingin mengatakannya pada sang istri karena ia takut jika hal itu tidak benar dan hanya akan membuat Laura kembali bersedih karena rasa kecewa.
"Terakhir buat Abang!" ucap Laura seraya menyuapkan potongan terakhir buah kiwi pada sang suami lalu memeluk lelaki yang mengunyah buah itu seraya mengulum senyum bahagianya.
* Dita Andriyani *
Hari sudah menjelang siang saat Laura menjalankan mobil mewahnya membelah keramaian kota Jakarta, di bawah teriknya sinar matahari dan pekatnya aroma polusi kendaraan yang berlalu lalang bagai iringan koloni semut yang sedang beriringan mencari makan.
Wanita cantik itu membelokkan mobilnya ke arah sebuah gedung pencakar langit langsung memasuki area parkir yang ada di basemen, mencari tempat parkir yang tidak begitu jauh dari lift agar ia tidak terlalu jauh berjalan. Setelah mendapatkan tempat yang ia inginkan Laura segara turun dari belakang kemudi memasang kembali tas selempang yang tadi ia lepaskan, kacamata hitam besar yang hampir separuh menutup wajahnya tidak ia buka, tetapi tetap saja tidak bisa menutupi kecantikan wajahnya yang membuat setiap lelaki yang berpapasan dengannya akan mencuri pandang dengan kekaguman.
Celana jeans panjang berpadu dengan sebuah kaus yang memiliki potongan leher melebar menampakkan sebagian bahu mulusnya, rambut panjang lurusnya ia biarkan tergerai membuat usia mudanya tidak tertutupi oleh gaya berdandannya.
Ia terus melangkah setelah sampai di lantai tiga puluh dua yang ia tuju, terus berjalan tertuju pada dengan pandangan lurus hanya sesekali ia melempar senyum pada seseorang yang tersenyum padanya, dan ia seorang wanita tentunya.
Sampai di sebuah pintu yang tertutup setelah melewati beberapa kubikel di mana penghuninya sedang fokus pada pekerjaan masing-masing, dan seorang wanita cantik menyapanya.
"Selamat siang, Bu. Bapak ada di dalam sudah menunggu."